Sekitar
20 tahun lalu, saat kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan berne gara kita
masih di bawah kekuasaan rezim Orde Baru, ‘pendapat’ masih merupakan hal yang
“rawan”. Ketika itu, pendapat (dianggap)
dapat mendatangkan bahaya, terutama jika isinya bersifat kritik terhadap pemerintah.
Para orang tua, guru, dosen, dan pemimpin memberikan nasihat agar kita tidak
sembarangan mengeluarkan pendapat yang terkait dengan kebijakan pemerintah
karena dapat menyebabkan pemerintah tersinggung, marah, dan bertindak keras. Di
luar itu, di kalangan masyarakat tertentu, para anak muda juga diwanti-wanti
agar lebih banyak menyimpan pendapat dan memilih diam untuk memperlihatkan
sikap santun dalam pergaulan.
Mengapa pendapat bisa dilihat
dalam sudut pandang semacam itu? Mengapa pendapat dihadapi dengan ketakutan dan
kekhawatiran? Apakah kenyataannya pendapat dapat menyebabkan terjadinya
kekacauan sosial dan kejatuhan pemerintah?
Persoalan pendapat sebenarnya
sederhana saja. Pendapat merupakan pikiran, gagasan, perasaan, atau aspirasi
yang penyampaiannya menjadi hak asasi setiap individu. Selama peraturan dan
hukum dijalankan dengan benar, pendapat
–– bagaimanapun isinya –– tidak akan menimbulkan masalah. Bahwa kemudian
pendapat ditakutkan atau dikhawatirkan dapat mendatangkan dampak negatif, hal
ini setidaknya disebabkan oleh tiga faktor; yakni, pertama, anggapan
salah kaprah masyarakat akibat tekanan yang terlalu lama dari rezim penguasa; kedua,
kebiasaan (atau bahkan barangkali budaya) yang mengutamakan harmoni dan
keseragaman; dan ketiga, ketakutan/kekhawatiran (fobia) berlebihan yang
cenderung bersifat patogenik (sudah menyerupai penyakit).
Sebelum datangnya era reformasi
pada tahun 1998, masyarakat kita dicekam rasa khawatir untuk mengeluarkan
pendapat, terutama jika pendapat itu isinya berbeda atau bertentangan dengan
pernyataan atau kebijakan pemerintah (Orde Baru). Pada masa pemerintahan Orde
Baru yang berkuasa selama sekitar 32 tahun, hanya orang-orang atau kalangan
tertentu yang berani mengeluarkan pendapat yang kritis. Mereka ini jumlahnya
sangat sedikit dan umumnya datang dari dunia perguruan tinggi dan komunitas
intelektual. Di luar itu, sebagian besar masyarakat cenderung menahan diri
untuk bersikap diam. Mayoritas masyarakat “pendiam” (silent majority)
inilah yang kemudian dihinggapi anggapan salah kaprah mengenai pendapat.
Kalangan masyarakat dengan tradisi atau budaya
tertentu di negara kita menempatkan keserasian (harmoni) dan keseragaman pada
posisi tinggi (atau bahkan tertinggi) dalam tata kehidupan sosial. Pada
masyarakat seperti ini, hanya orang-orang tertentu –– misalnya, para pemimpin
dan ketua adat –– yang (dianggap) berhak memiliki dan mengeluarkan pendapat
secara bebas. Masyarakat kebanyakan tidak atau sangat kurang mendapat kesempatan
dan kebebasan untuk menyampaikan pendapat. Pendapat masyarakat kebanyakan
dipandang dapat mengganggu harmoni terutama jika pendapat itu berbeda dengan
pendapat dan kebijakan para pemimpin atau ketua adat. Kekeluargaan dan kebersamaan
dipandang lebih penting daripada persoalan kebebasan berpendapat.
Sebagian masyarakat kita juga
mengalami alergi terhadap kebebasan berpendapat. Mereka ini khawatir atau takut
terhadap pendapat yang kritis. Koreksi dan kritik mereka rasakan dapat mengancam
kemapanan tatanan masyarakat atau membahayakan kekuasaan. Namun, alasan mereka
untuk takut dan khawatir terhadap kebebasan berpendapat sangat lemah sehingga ketakutan
atau kekhawatiran mereka sebenarnya lebih bersifat fobia dan patogenik. Mereka umumnya
berasal dari kalangan penguasa (pemerintah) yang karena terlalu lama mengenyam
nikmatnya kekuasaan menjadi mabuk dan lupa diri serta merasakan kebebasan
berpendapat dapat membahayakan kepentingan mereka.
Demikianlah, ketiga gejala
kurang sehat itu bercokol selama puluhan tahun dalam kehidupan masyarakat kita.
Ketiganya tumbuh dan berkembang hingga nyaris menjadi permanen akibat dukungan
situasai dan kondisi kehidupan yang kurang normal. Ketiganya secara umum memang
tumbuh subur pada masa pemerintahan Orde Baru. Karakter rezim Orde Baru yang
represif dan otoriter menanamkan dan menyuburkan sifat tertutup masyarakat
serta sebaliknya menjauhkan masyarakat dari kehidupan yang bebas dan
demokratis.
Namun, sekarang keadaannya sudah
berbeda. Kemenangan gerakan reformasi atas rezim Orde Baru menyebabkan
kekeliruan persepsi terhadap kebebasan berpendapat berangsur-angsur pudar.
Kalangan masyarakat yang sadar dan peduli akan pentingnya kebebasan berpendapat
–– yang umumnya kaum reformis dan pendukung gerakan reformasi –– berperan besar
dalam meluruskan persepsi yang keliru terhadap kebebasan berpendapat. Sejak kejatuhan Orde Baru, mereka makin gencar
menuntut dilakukannya pembaruan terhadap semua regulasi atau peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan masalah kebebasan menyampaikan pendapat.
Melalui perjuangan yang tak
kenal lelah, beberapa bulan setelah bergulirnya era reformasi lahir UU No.
9/1998 tentang Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum. Di dalam
undang-undang ini dijelaskan bahwa warga negara memiliki kebebasan menyampaikan
pendapat serta diatur pula tata cara menyampaikan pendapat di muka umum.
Melalui amendemen terhadap UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 1999–2002,
jaminan atas kebebasan mengemukakan pendapat juga dilakukan dengan lebih jelas
dan tegas. Hasil amendemen UUD 1945 Bab XA Pasal 28E Ayat (3) dengan tegas menerangkan
bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.
Upaya memperjuangkan terwujudnya kebebasan
berpendapat tidak hanya menghasilkan pembaruan peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan kegiatan penyampaian pendapat, melainkan juga membangkitkan
kesadaran dan kepedulian masyarakat mengenai pentingnya kebebasan berpendapat.
Sementara itu, kian tumbuhnya nilai-nilai demokrasi, publikasi luas melalui media
massa mengenai kegiatan-kegiatan penyampaian pendapat, serta gerakan penyadaran
oleh para aktivis hak asasi manusia makin menjadikan masyarakat sadar akan hak
kebebasan berpendapat yang mereka miliki serta berangsur-angsur menanggalkan
rasa takut dan khawatir untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi. Hasil yang
saat ini dapat kita saksikan memperlihatkan bahwa kesadaran dan kepedulian masyarakat
mengenai pentingnya kebebasan berpendapat sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan
masa pemerintahan Orde Baru dahulu. Hal
ini
dapat kita lihat dari kegiatan penyampaian pendapat dan aspirasi oleh
masyarakat di tanah air yang bertambah marak dan intensif dalam beberapa tahun
terakhir ini.
Pada saat ini kegiatan
penyampaian pendapat tidak lagi menjadi tabu. Secara umum, kebebasan berpendapat
telah diterima sebagai kewajaran dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara kita. Rasa takut dan khawatir terhadap kebebasan berpendapat telah
banyak berkurang. Di mata mereka yang sudah paham dan sadar akan nilai-nilai demokrasi
dan pluralisme (kemajemukan), kebebasan berpendapat bahkan telah diterima
sebagai keniscayaan yang wajib ada dan dipertahankan.
No comments:
Post a Comment