Wednesday, 21 December 2016

Tumbuhnya Kesadaran akan Kebebasan Berpendapat

       Sekitar 20 tahun lalu, saat kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan berne gara kita masih di bawah kekuasaan rezim Orde Baru, ‘pendapat’ masih merupakan hal yang “rawan”.  Ketika itu, pendapat (dianggap) dapat mendatangkan bahaya, terutama jika isinya bersifat kritik terhadap pemerintah. Para orang tua, guru, dosen, dan pemimpin memberikan nasihat agar kita tidak sembarangan mengeluarkan pendapat yang terkait dengan kebijakan pemerintah karena dapat menyebabkan pemerintah tersinggung, marah, dan bertindak keras. Di luar itu, di kalangan masyarakat tertentu, para anak muda juga diwanti-wanti agar lebih banyak menyimpan pendapat dan memilih diam untuk memperlihatkan sikap santun dalam pergaulan.

       Mengapa pendapat bisa dilihat dalam sudut pandang semacam itu? Mengapa pendapat dihadapi dengan ketakutan dan kekhawatiran? Apakah kenyataannya pendapat dapat menyebabkan terjadinya kekacauan sosial dan kejatuhan pemerintah?

       Persoalan pendapat sebenarnya sederhana saja. Pendapat merupakan pikiran, gagasan, perasaan, atau aspirasi yang penyampaiannya menjadi hak asasi setiap individu. Selama peraturan dan hukum dijalankan dengan benar, pendapat  –– bagaimanapun isinya –– tidak akan menimbulkan masalah. Bahwa kemudian pendapat ditakutkan atau dikhawatirkan dapat mendatangkan dampak negatif, hal ini setidaknya disebabkan oleh tiga faktor; yakni, pertama, anggapan salah kaprah masyarakat akibat tekanan yang terlalu lama dari rezim penguasa; kedua, kebiasaan (atau bahkan barangkali budaya) yang mengutamakan harmoni dan keseragaman; dan ketiga, ketakutan/kekhawatiran (fobia) berlebihan yang cenderung bersifat patogenik (sudah menyerupai penyakit).
  
       Sebelum datangnya era reformasi pada tahun 1998, masyarakat kita dicekam rasa khawatir untuk mengeluarkan pendapat, terutama jika pendapat itu isinya berbeda atau bertentangan dengan pernyataan atau kebijakan pemerintah (Orde Baru). Pada masa pemerintahan Orde Baru yang berkuasa selama sekitar 32 tahun, hanya orang-orang atau kalangan tertentu yang berani mengeluarkan pendapat yang kritis. Mereka ini jumlahnya sangat sedikit dan umumnya datang dari dunia perguruan tinggi dan komunitas intelektual. Di luar itu, sebagian besar masyarakat cenderung menahan diri untuk bersikap diam. Mayoritas masyarakat “pendiam” (silent majority) inilah yang kemudian dihinggapi anggapan salah kaprah mengenai pendapat.

       Kalangan masyarakat dengan tradisi atau budaya tertentu di negara kita menempatkan keserasian (harmoni) dan keseragaman pada posisi tinggi (atau bahkan tertinggi) dalam tata kehidupan sosial. Pada masyarakat seperti ini, hanya orang-orang tertentu –– misalnya, para pemimpin dan ketua adat –– yang (dianggap) berhak memiliki dan mengeluarkan pendapat secara bebas. Masyarakat kebanyakan tidak atau sangat kurang mendapat kesempatan dan kebebasan untuk menyampaikan pendapat. Pendapat masyarakat kebanyakan dipandang dapat mengganggu harmoni terutama jika pendapat itu berbeda dengan pendapat dan kebijakan para pemimpin atau ketua adat. Kekeluargaan dan kebersamaan dipandang lebih penting daripada persoalan kebebasan berpendapat.

       Sebagian masyarakat kita juga mengalami alergi terhadap kebebasan berpendapat. Mereka ini khawatir atau takut terhadap pendapat yang kritis. Koreksi dan kritik mereka rasakan dapat mengancam kemapanan tatanan masyarakat atau membahayakan kekuasaan. Namun, alasan mereka untuk takut dan khawatir terhadap kebebasan berpendapat sangat lemah sehingga ketakutan atau kekhawatiran mereka sebenarnya lebih bersifat fobia dan patogenik. Mereka umumnya berasal dari kalangan penguasa (pemerintah) yang karena terlalu lama mengenyam nikmatnya kekuasaan menjadi mabuk dan lupa diri serta merasakan kebebasan berpendapat dapat membahayakan kepentingan mereka.

       Demikianlah, ketiga gejala kurang sehat itu bercokol selama puluhan tahun dalam kehidupan masyarakat kita. Ketiganya tumbuh dan berkembang hingga nyaris menjadi permanen akibat dukungan situasai dan kondisi kehidupan yang kurang normal. Ketiganya secara umum memang tumbuh subur pada masa pemerintahan Orde Baru. Karakter rezim Orde Baru yang represif dan otoriter menanamkan dan menyuburkan sifat tertutup masyarakat serta sebaliknya menjauhkan masyarakat dari kehidupan yang bebas dan demokratis.

       Namun, sekarang keadaannya sudah berbeda. Kemenangan gerakan reformasi atas rezim Orde Baru menyebabkan kekeliruan persepsi terhadap kebebasan berpendapat berangsur-angsur pudar. Kalangan masyarakat yang sadar dan peduli akan pentingnya kebebasan berpendapat –– yang umumnya kaum reformis dan pendukung gerakan reformasi –– berperan besar dalam meluruskan persepsi yang keliru terhadap kebebasan berpendapat.  Sejak kejatuhan Orde Baru, mereka makin gencar menuntut dilakukannya pembaruan terhadap semua regulasi atau peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah kebebasan menyampaikan pendapat.

       Melalui perjuangan yang tak kenal lelah, beberapa bulan setelah bergulirnya era reformasi lahir UU No. 9/1998 tentang Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum. Di dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa warga negara memiliki kebebasan menyampaikan pendapat serta diatur pula tata cara menyampaikan pendapat di muka umum. Melalui amendemen terhadap UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 1999–2002, jaminan atas kebebasan mengemukakan pendapat juga dilakukan dengan lebih jelas dan tegas. Hasil amendemen UUD 1945 Bab XA Pasal 28E Ayat (3) dengan tegas menerangkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

       Upaya memperjuangkan terwujudnya kebebasan berpendapat tidak hanya menghasilkan pembaruan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kegiatan penyampaian pendapat, melainkan juga membangkitkan kesadaran dan kepedulian masyarakat mengenai pentingnya kebebasan berpendapat. Sementara itu, kian tumbuhnya nilai-nilai demokrasi, publikasi luas melalui media massa mengenai kegiatan-kegiatan penyampaian pendapat, serta gerakan penyadaran oleh para aktivis hak asasi manusia makin menjadikan masyarakat sadar akan hak kebebasan berpendapat yang mereka miliki serta berangsur-angsur menanggalkan rasa takut dan khawatir untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi. Hasil yang saat ini dapat kita saksikan memperlihatkan bahwa kesadaran dan kepedulian masyarakat mengenai pentingnya kebebasan berpendapat sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan masa pemerintahan Orde Baru dahulu. Hal
ini dapat kita lihat dari kegiatan penyampaian pendapat dan aspirasi oleh masyarakat di tanah air yang bertambah marak dan intensif dalam beberapa tahun terakhir ini.


       Pada saat ini kegiatan penyampaian pendapat tidak lagi menjadi tabu. Secara umum, kebebasan berpendapat telah diterima sebagai kewajaran dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kita. Rasa takut dan khawatir terhadap kebebasan berpendapat telah banyak berkurang. Di mata mereka yang sudah paham dan sadar akan nilai-nilai demokrasi dan pluralisme (kemajemukan), kebebasan berpendapat bahkan telah diterima sebagai keniscayaan yang wajib ada dan dipertahankan. 

No comments:

Post a Comment