KONTROVERSI hukuman
mati kembali mencuat menjelang dan sesudah pelaksanaan eksekusi mati terhadap
belasan terpidana kasus narkoba pada pertengahan tahun 2014 dan awal tahun 2015
lalu. Para aktivis HAM menentang hukuman mati karena hukuman ini dianggap
bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Akan tetapi, hasil survei
berbagai media menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia umumnya mendukung hukuman
mati bagi para ban-dar dan pengedar narkoba karena kejahatan mereka dirasakan
sangat membahayakan keselamatan dan kelangsungan hidup bangsa dan negara..
Terlepas dari pro
kontra yang mengiringinya, pemberlakuan hukuman mati bagi para pelaku kejahatan
tertentu, khususnya jenis kejahatan yang disebut sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary
crime), dinilai mengalami ketimpangan atau kesenjangan. Seperti kita
ketahui, dalam sistem hukum di Indonesia terdapat tiga jenis kejahatan yang
digolongkan sebagai kejahatan luar
biasa, yakni terorisme, penyalahgunaan narkoba, dan korupsi. Kejahatan luar
biasa merupakan kejahatan yang berdampak luas, mendalam, sistemik, dan dapat
membahayakan keberadaan dan kelangsungan bangsa dan negara sehingga para pelaku
kejahatan ini dikenai ancaman hukuman maksimal berupa hukuman mati. Namun,
biarpun terorisme, penyalahgunaan narkoba, dan korupsi sama-sama digolongkan
sebagai kejahatan luar biasa, faktanya baru pelaku kejahatan terorisme dan
penyalahgunaan narkoba saja yang mendapat vonis dan menjalani eksekusi hukuman
mati.
Pelaku kejahatan
korupsi alias para koruptor masih terbebas dari hukuman mati. Alih-alih divonis
dan dieksekusi mati, para koruptor umumnya justru mendapat hukuman yang relatif
ringan –– rata-rata jauh lebih ringan dibandingkan dengan para pelaku kejahatan
terorisme dan penyalahgunaan narkoba. Bahkan, dalam banyak kasus, para koruptor
mendapatkan hukuman yang lebih ringan daripada hukuman bagi para pelaku
kejahatan biasa, seperti pembunuhan, perampokan, dan pemerkosaan.
Ironi
Kejahatan Luar Biasa
Masih terbebasnya koruptor
dari hukuman mati menunjukkan bahwa nomenklatur kejahatan di Indonesia masih
sangat jauh dari implementasi yang konsisten dan berkeadilan. Nama yang
diberikan bagi jenis kejahatan –– dalam hal ini kejahatan luar biasa –– tidak
sesuai dengan hukuman yang dijatuhkan. Dalam konteks perlakuan terhadap
terorisme dan penyalahgunaan narkoba di sisi satu dan korupsi di sisi lain,
jelas sekali terjadi diskriminasi dan ketidakadilan: sebagian pelaku terorisme
dan penyalahgunaan narkoba dijatuhi hukuman maksimal (hukuman mati), sementara
pelaku korupsi tidak atau belum satu pun yang mendapatkan hukuman serupa.
Itulah ironi dalam
penanganan kejahatan luar biasa di
negara kita. Kejahatan luar biasa, suatu kejahatan yang di luar batas
kenormalan karena dapat menimbulkan dampak yang hebat dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, telah ditentukan jenis-jenisnya,
tetapi diperlakukan berbeda dalam penanganan hukumnya, terutama dalam
memberikan hukuman bagi para pelakunya. Khusus untuk korupsi, secara nomenklatur
digolongkan sebagai kejahatan luar biasa, tetapi dalam praktik dan implementasinya
tak lebih dari kejahatan biasa.
Saatnya
Hukuman Mati bagi Koruptor
Dari berbagai segi,
kejahatan korupsi di negara kita sudah lebih dari layak untuk mendapat ganjaran
hukuman mati. Para koruptor yang terbukti melakukan korupsi, layak untuk
dihukum mati seperti yang selama ini dialami para pelaku terorisme serta penyalahgunaan
narkoba. Dari segi hukum, sudah sangat jelas, korupsi dikelompokkan sebagai
kejahatan luar biasa sehingga hukuman bagi para pelakunya juga tidak bisa lagi
diberikan dalam bentuk hukuman yang biasa.
Kejahatan luar biasa
seperti korupsi haruslah diberantas dengan cara-cara luar biasa, di antaranya,
dengan pemberian hukuman yang luar biasa pula: eksekusi mati. UU No. 31/1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi –– Pasal 2 Ayat (2) –– sudah sangat
jelas dan eksplisit memberikan hukuman mati sebagai vonis maksimal kepada pelaku
korupsi. Di dalamnya, antara lain, disebutkan bahwa korupsi yang dilakukan saat
negara mengalami krisis ekonomi dan moneter, bencana alam nasional, dan
kerusuhan/krisis sosial, pelakunya dapat dijatuhi hukuman mati.
Dari segi ekonomi dan sosial, korupsi
juga terbukti menimbulkan dampak destruktif yang hebat sehingga pelakunya
pantas dihukum mati. Korupsi memicu terjadinya kesenjangan ekonomi serta krisis
ekonomi dan moneter yang dahsyat seperti yang terjadi pada tahun 1997/1998.
Korupsi juga menimbulkan terjadinya ketimpangan dan ketidakadilan sosial kronis
yang memicu ketidakpuasan, demonstrasi masif, konflik dan kerusuhan sosial,
serta disintegrasi bangsa seperti yang terjadi pada tahun 1998–2000.
No comments:
Post a Comment