Friday, 23 December 2016

Menunggu Hukuman Mati untuk Koruptor

      KONTROVERSI hukuman mati kembali mencuat menjelang dan sesudah pelaksanaan eksekusi mati terhadap belasan terpidana kasus narkoba pada pertengahan tahun 2014 dan awal tahun 2015 lalu. Para aktivis HAM menentang hukuman mati karena hukuman ini dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Akan tetapi, hasil survei berbagai media menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia umumnya mendukung hukuman mati bagi para ban-dar dan pengedar narkoba karena kejahatan mereka dirasakan sangat membahayakan keselamatan dan kelangsungan hidup bangsa dan negara..
       Terlepas dari pro kontra yang mengiringinya, pemberlakuan hukuman mati bagi para pelaku kejahatan tertentu, khususnya jenis kejahatan yang disebut sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), dinilai mengalami ketimpangan atau kesenjangan. Seperti kita ketahui, dalam sistem hukum di Indonesia terdapat tiga jenis kejahatan yang digolongkan sebagai  kejahatan luar biasa, yakni terorisme, penyalahgunaan narkoba, dan korupsi. Kejahatan luar biasa merupakan kejahatan yang berdampak luas, mendalam, sistemik, dan dapat membahayakan keberadaan dan kelangsungan bangsa dan negara sehingga para pelaku kejahatan ini dikenai ancaman hukuman maksimal berupa hukuman mati. Namun, biarpun terorisme, penyalahgunaan narkoba, dan korupsi sama-sama digolongkan sebagai kejahatan luar biasa, faktanya baru pelaku kejahatan terorisme dan penyalahgunaan narkoba saja yang mendapat vonis dan menjalani eksekusi hukuman mati.

       Pelaku kejahatan korupsi alias para koruptor masih terbebas dari hukuman mati. Alih-alih divonis dan dieksekusi mati, para koruptor umumnya justru mendapat hukuman yang relatif ringan –– rata-rata jauh lebih ringan dibandingkan dengan para pelaku kejahatan terorisme dan penyalahgunaan narkoba. Bahkan, dalam banyak kasus, para koruptor mendapatkan hukuman yang lebih ringan daripada hukuman bagi para pelaku kejahatan biasa, seperti pembunuhan, perampokan, dan pemerkosaan.
Ironi Kejahatan Luar Biasa
       Masih terbebasnya koruptor dari hukuman mati menunjukkan bahwa nomenklatur kejahatan di Indonesia masih sangat jauh dari implementasi yang konsisten dan berkeadilan. Nama yang diberikan bagi jenis kejahatan –– dalam hal ini kejahatan luar biasa –– tidak sesuai dengan hukuman yang dijatuhkan. Dalam konteks perlakuan terhadap terorisme dan penyalahgunaan narkoba di sisi satu dan korupsi di sisi lain, jelas sekali terjadi diskriminasi dan ketidakadilan: sebagian pelaku terorisme dan penyalahgunaan narkoba dijatuhi hukuman maksimal (hukuman mati), sementara pelaku korupsi tidak atau belum satu pun yang mendapatkan hukuman serupa.

       Itulah ironi dalam penanganan kejahatan  luar biasa di negara kita. Kejahatan luar biasa, suatu kejahatan yang di luar batas kenormalan karena dapat menimbulkan dampak yang hebat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, telah ditentukan jenis-jenisnya, tetapi diperlakukan berbeda dalam penanganan hukumnya, terutama dalam memberikan hukuman bagi para pelakunya. Khusus untuk korupsi, secara nomenklatur digolongkan sebagai kejahatan luar biasa, tetapi dalam praktik dan implementasinya tak lebih dari kejahatan biasa.
Saatnya Hukuman Mati bagi Koruptor
       Dari berbagai segi, kejahatan korupsi di negara kita sudah lebih dari layak untuk mendapat ganjaran hukuman mati. Para koruptor yang terbukti melakukan korupsi, layak untuk dihukum mati seperti yang selama ini dialami para pelaku terorisme serta penyalahgunaan narkoba. Dari segi hukum, sudah sangat jelas, korupsi dikelompokkan sebagai kejahatan luar biasa sehingga hukuman bagi para pelakunya juga tidak bisa lagi diberikan dalam bentuk hukuman yang biasa.
Kejahatan luar biasa seperti korupsi haruslah diberantas dengan cara-cara luar biasa, di antaranya, dengan pemberian hukuman yang luar biasa pula: eksekusi mati. UU No. 31/1999 tentang 

       Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi –– Pasal 2 Ayat (2) –– sudah sangat jelas dan eksplisit memberikan hukuman mati sebagai vonis maksimal kepada pelaku korupsi. Di dalamnya, antara lain, disebutkan bahwa korupsi yang dilakukan saat negara mengalami krisis ekonomi dan moneter, bencana alam nasional, dan kerusuhan/krisis sosial, pelakunya dapat dijatuhi hukuman mati.

Dari segi ekonomi dan sosial, korupsi juga terbukti menimbulkan dampak destruktif yang hebat sehingga pelakunya pantas dihukum mati. Korupsi memicu terjadinya kesenjangan ekonomi serta krisis ekonomi dan moneter yang dahsyat seperti yang terjadi pada tahun 1997/1998. Korupsi juga menimbulkan terjadinya ketimpangan dan ketidakadilan sosial kronis yang memicu ketidakpuasan, demonstrasi masif, konflik dan kerusuhan sosial, serta disintegrasi bangsa seperti yang terjadi pada tahun 1998–2000. 


No comments:

Post a Comment