Apa yang diidealkan memang tidak selalu terwujud secara konkret
dalam realitas kehidupan. Hukum sebagai pengatur utama kehidupan yang mampu
mendatangkan keadilan dan kebenaran di negara kita ternyata masih sebatas
idealisme yang sulit diwujudkan. Hukum sebagai panglima dalam mengatur tata
kehidupan kiranya masih sebatas kata-kata yang belum meresap dalam bentuk
tindakan nyata dalam praktik kehidupan sehari-hari kita.
Taat
dan tertib hukum belum menjadi sikap dan perilaku yang membudaya dan mengakar
kuat dalam kehidupan masyarakat kita. Sejak negara kita terbentuk melalui
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, pasang surut kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara kita masih lebih banyak diwarnai keengganan untuk
secara penuh tunduk dan melaksanakan hukum. Tidak kurang, hal ini terjadi di kalangan
pemerintah, para tokoh, para pemimpin, dan bahkan aparat penegak hukum sendiri.
Pada masa pemerintahan Orde Lama –– masa awal berdirinya negara Indonesia ––
pemerintahan dijalankan secara otoriter dan penuh pelanggaran terhadap
Pancasila dan UUD 1945, terutama setelah berlakunya Dekret Presiden 5 Juli
1959. Pada masa Orde Baru –– yang semula bertekad untuk mengoreksi kesalahan
rezim Orde Lama –– pemerintahan bahkan dijalankan dengan lebih otoriter serta
sarat dengan pelanggaran hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia. Dan kini,
pada era reformasi –– yang semula lagi-lagi dimaksudkan untuk mengoreksi
kesalahan rezim-rezim sebelumnya (Orde Lama dan Orde Baru) –– pelanggaran hukum
masih tetap saja menjadi peristiwa dan pemandangan yang sangat sering kita
jumpai.
Perkembangan
setelah reformasi bahkan memperlihatkan bahwa upaya penegakan hukum di negara
kita mengalami masalah yang sangat serius. Selama lebih dari satu dasawarsa (1999-2013)
upaya penegakan hukum seperti mengalami deadlock (jalan buntu). Banyak sekali
kasus pelanggaran hukum baik di daerah-daerah maupun di pusat tidak
diselesaikan sebagaimana mestinya.
Kecenderungan yang menonjol adalah banyak kasus pidana
diselesaikan secara diskriminatif atau tebang pilih. Tidak sedikit fakta
menunjukkan, hukum diberlakukan secara konsisten hanya pada kalangan masyarakat
lapisan bawah yang miskin, bodoh, dan tidak memiliki akses kekuasaan. Para
pelaku tindak pidana kecil-kecilan, yang melakukan kejahatan karena terpaksa
dan faktor kemiskinan –– seperti mencuri beberapa butir buah cokelat dan
semangka –– diproses hukum dan dijatuhi hukuman sesuai aturan, sementara para
pelaku tindak pidana besar, yang melakukan kejahatan karena sifat rakus dan
serakah –– seperti penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang (abuse of power)
dan korupsi miliaran atau triliunan rupiah –– banyak yang dibiarkan menghirup
udara bebas atau diproses dan dijatuhi hukuman di bawah standar (sangat
ringan).
Grafik upaya penegakan hukum dalam beberapa tahun ini makin
menunjukkan gejala kemerosotan yang parah dan “gila” setelah ditemukan
kasus-kasus pelanggaran hukum yang hampir-hampir tak masuk akal, yakni
banyaknya petinggi aparat penegak hukum –– hakim, jaksa, dan polisi –– yang
menjadi pelaku pelanggaran hukum yang serius (korupsi, manipulasi, penyalahgunaan
wewenang, penyalahgunaan narkoba, pungutan liar, dan sebagainya). Mencuatnya
kasus-kasus ini menimbulkan dugaan kuat bahwa upaya penegakan hukum di
Indonesia saat ini justru dikendalikan atau setidaknya dihambat oleh jaringan
yang disebut ‘mafia hukum’. Mereka yang masuk dan mengendalikan jaringan ini
bukan kalangan masyarakat awam biasa, melainkan justru para aparat penegak
hukum yang sangat paham akan hukum serta memiliki kedudukan yang penting dalam
jajaran korp aparat penegak hukum. Sementara itu, dalam bidang fiskal
(perpajakan) muncul pula dugaan kuat ihwal adanya ‘mafia pajak’ yang beroperasi
untuk mengeruk keuntungan dengan cara-cara ilegal.
Dugaan
kuat tentang keberadaan ‘mafia hukum’ kemudian menjadi makin menemukan kebenarannya
setelah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu silam membentuk
Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas Antimafia Hukum). Kebijakan SBY
ini secara langsung merupakan bentuk pengakuan akan ada, beroperasi, dan
merajalelanya mafia hukum dalam dunia hukum di Indonesia. Jika fenomena mafia
hukum baru menjadi dugaan atau gejala kecil, tentunya pembentukan Satgas
Antimafia Hukum tidak perlu dilakukan sebab upaya untuk mengatasinya cukup
dilakukan dengan pemberlakuan atau penegakan hukum secara normal/biasa saja.
Akan tetapi, bahwa Satgas Antimafia Hukum akhirnya dibentuk dengan kewenangan
yang besar, tentunya keberadaan dan sepak terjang mafia hukum memang sudah
riil, kuat, dan melembaga serta sudah pada taraf darurat dan dapat membahayakan
keselamatan negara (jauh lebih serius dari sekadar dugaan dan gejala kecil).
Dalam
pada itu, pembentukan lembaga dengan tugas khusus memberantas korupsi, yakni
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memperjelas fakta bahwa lembaga-lembaga
penegak hukum reguler –– kehakiman, kejaksaan, dan kepolisian –– memang sedang
didera persoalan yang serius. Pembentukan KPK dilakukan sebagai upaya darurat
yang dilatarbelakangi dua alasan atau pertimbangan pokok, yakni, pertama,
karena lembaga-lembaga penegak hukum reguler (dianggap) tidak berdaya dan gagal
melakukan upaya pemberantasan korupsi dan, kedua, karena korupsi (dianggap)
sudah menjelma menjadi kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Dengan demikian menjadi lebih jelas bahwa pembentukan Satgas Antimafia Hukum
dan KPK menjadi pertanda kian kerasnya bunyi alarm bahaya dalam upaya penegakan
hukum di Indonesia. Upaya penegakan hukum menjadi sangat terhambat dan bahkan
terasa berbalik menjadi penghancuran hukum akibat lembaga penegak hukum reguler
sendiri didera penyakit yang akut dan sulit disembuhkan.
Keadaannya
menjadi makin runyam karena perilaku kurang taat dan tertib hukum juga banyak
ditemui di luar lembaga penegak hukum dan para aparat penegak hukum. Tidak
hanya polisi, jaksa, dan hakim, pengacara, pejabat tinggi di pusat dan daerah,
serta para anggota DPR dan DPRD pun banyak yang tersangkut kasus hukum. Umumnya
mereka tersangkut kasus pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang/jabatan.
Pelanggaran hukum yang terjadi memperlihatkan keruwetan yang sulit diurai atau
lingkaran setan yang sulit diputus.
No comments:
Post a Comment