Di dalam UUD 1945 Pasal 1 Ayat (2)
disebutkan bahwa kedaulatan negara Indonesia berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Apakah makna yang terdapat dalam
rumusan kalimat tersebut? Rumusan itu
tidak lain menunjukkan bahwa negara Indonesia ialah negara demokrasi. Inti
demokrasi adalah “kedaulatan rakyat” sehingga negara yang menempatkan
kedaulatan di tangan rakyat –– seperti halnya negara kita, Indonesia –– dapat
dikatakan merupakan negara demokrasi.
Namun, sebagai negara demokrasi, sudahkah negara kita benar-benar
menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang sejati. Sudahkan demokrasi
dipraktikkan secara benar atau tepat dalam pemerintahan dan ketatanegaraan kita
selama ini? Apakah demokrasi sebagai sistem pemerintahan dan ketatanegaraan
sudah diterapkan sesuai dengan konsep dan prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita? Apakah negara kita sudah
memperlihatkan ciri-ciri yang sejati sebagai negara demokrasi?
Dengan menengok sejarah perjalanan kita sebagai bangsa dan
negara, kita tidak dapat membuat generalisasi yang mutlak mengenai sudah atau
belumnya negara kita menerapkan demokrasi dalam sistem ketatanegaraan. Sejak
ditetapkannya UUD 1945 sebagai konstitusi negara pada tanggal 18 Agustus 1945,
demokrasi jelas sudah menjadi sistem resmi yang dianut dalam ketatanegaraan
kita –– karena UUD 1945 Pasal 1 Ayat (2) sendiri memang menyebutkannya
demikian. Namun, dalam praktik berbangsa dan bernegara, penerapan demokrasi
mengalami gelombang pasang surut yang tak beraturan.
Pada masa-masa awal kemerdekaan (terutama dasawarsa tahun
1950-an), dapat dikatakan negara kita benar-benar menerapkan demokrasi secara
murni. Pada masa itu, kehidupan demokrasi dalam perpolitikan dan ketatanegaraan
kita berlangsung semarak dan penuh gairah. Namun, setelah keluarnya Dekret
Presiden 5 Juli 1959, demokrasi berangsur-angsur mengalami kemunduran hingga
kemudian lenyap dan digantikan dengan otoritarianisme. Hal ini berlangsung
sampai pemerintahan Presiden Soekarno –– seringkali disebut sebagai
pemerintahan Orde Lama –– jatuh pada akhir tahun 1960-an.
Pemerintahan Presiden Soeharto –– biasa disebut pemerintahan
Orde Baru –– yang mendapat giliran untuk memimpin kehidupan berbangsa dan bernegara
selanjutnya serta bertekad mengoreksi kesalahan pemerintahan pendahulunya,
ternyata malah lebih buruk lagi dalam memperlakukan dan memberlakukan demokrasi.
Di bawah pemerintahan Orde Baru, demokrasi hampir tidak pernah diberi kesempatan
bernapas dan hidup dengan leluasa. Selama masa kekuasaan Orde Baru yang panjang
–– sekitar 32 tahun –– rakyat Indonesia hanya dapat menikmati demokrasi dalam
waktu yang sangat singkat, mungkin 4 atau 5 tahun pada masa-masa awal rezim
Orde Baru memerintah.
Setelah rezim Soeharto tumbang akibat krisis serta kemarahan mahasiswa
dan rakyat yang puluhan tahun hidup tertekan di bawah kediktatoran dan
keotoriteran Orde Baru, muncul era reformasi (pada tahun 1998) yang
membersitkan harapan baru akan tumbuhnya demokrasi yang lebih sejati dan mencerahkan.
Namun, apakah kedatangan era reformasi menjadikan demokrasi bangkit dan tumbuh
kembali dengan “wajah” yang hakiki? Kedatangan era reformasi memang membawa
angin perubahan yang sangat berarti (signifikan), dengan salah satunya menyebabkan
terbukanya kembali keran-keran demokrasi yang sebelumnya tersumbat. Akan
tetapi, akibat euforia setelah lepas dari kekangan Orde Baru yang keras dan
otoriter –– serta oleh akibat-akibat sosiologis dan psikologis yang lain ––
demokrasi yang berkembang kemudian hampir tanpa kendali sehingga demokrasi pada
era reformasi seringkali dianggap sebagai demokrasi yang terlalu liberal atau
demokrasi yang kebablasan.
Demokrasi pada era reformasi muncul dan tumbuh bersama dengan
dibukanya keran atau saluran kebebasan. Era reformasi sendiri kerapkali
diidentikkan dengan era kebebasan dan demokrasi, yakni era dibukanya kebebasan
dan demokrasi yang seluas-luasnya bagi masyarakat. Pada era reformasi kebebasan
dan demokrasi menjadi idaman dan tuntutan kuat yang tidak dapat ditawar-tawar
lagi akibat (sebelumnya) selama sekitar 32 tahun rakyat hidup dalam kekangan
dan tekanan berat pemerintahan Orde Baru. Kebebasan dan demokrasi pada dasarnya
memang saling terkait, tetapi penggunaan kebebasan untuk menggerakkan demokrasi
pada era reformasi kiranya kurang dilakukan dengan proporsional dan elegan
sehingga demokrasi yang dijalankan seringkali diwarnai hal-hal negatif yang
destruktif, seperti intrik, konflik, dan kerusuhan.
Kebebasan dan demokrasi merupakan dua hal yang berkorelasi
secara resiprokal, yakni saling berbalasan. Kebebasan menjadi salah satu syarat
penting bagi demokrasi, sebaliknya demokrasi menjadi salah satu penentu bagi
kebebasan. Untuk mewujudkan demokrasi, kita memerlukan adanya kebebasan, sedangkan
untuk mendapatkan kebebasan itu sendiri kita membutuhkan adanya kehidupan yang
demokratis. Akan tetapi, jika kebebasan yang dimanfaatkan untuk menjalankan
demokrasi adalah kebebasan yang tanpa batas dan tak terkontrol, demokrasi yang
akan terwujud justru dapat bersifat kontraproduktif dan destruktif.
Penyelewengan hukum, penyalahgunaan wewenang, konflik antarkelompok, kerusuhan
sosial, dan perusakan fasilitas umum yang sering terjadi pada era reformasi
saat ini merupakan contoh beberapa akibat dari bentuk demokrasi yang dijalankan
dengan kebebasan yang tanpa batas dan tanpa kendali.
Terkait dengan pelaksanaan demokrasi dan kebebasan yang
seringkali menimbulkan ekses yang merugikan tersebut, kiranya kita perlu
melakukan peninjauan ulang terhadap demokrasi yang sedang kita jalankan saat
ini. Kita perlu menengok kembali pengertian dan hakikat demokrasi secara tepat
agar kita mendapatkan pemahaman yang tidak salah dan menyimpang tentang demokrasi.
Pemahaman yang benar atas demokrasi sangat menentukan dalam upaya penerapan
demokrasi sehingga demokrasi yang sesungguhnya memang sangat bagus bagi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kita benar-benar dapat memberikan
manfaat positif yang konkret.
HUBUNGAN SYARIAT DENGAN POLITIK TATA NEGARA
ReplyDeletehttps://bogotabb.blogspot.co.id/2017/09/hubungan-syariat-dengan-politik-tata.html