Saturday, 24 December 2016

Penyalahgunaan Fasilitas dan Keuangan Negara oleh Parpol


       Seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya, kampanye pemilu 2014 kembali diwarnai (dugaan) banyaknya penyalahgunaan fasilitas dan keuangan negara oleh partai politik (parpol) peserta pemilu. Hal serupa kelihatannya juga masih akan terjadi pada pemilu-pemilu yang akan datang. Di tengah kebingungan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) untuk bersikap dan bertindak, publik pun berteriak lantang menentang. Namun, tentu saja, dengan berbagai dalih, para petinggi parpol yang menjadi sasaran tuduhan cepat mengeluarkan bantahan.

       Pembuktian atas dugaan penyalahgunaan fasilitas dan keuangan negara untuk kampanye parpol tidak pernah tuntas dilakukan. Pemberian teguran dan sanksi oleh Bawaslu juga dilakukan setengah hati. Sementara itu, dengan logikanya sendiri, publik umumnya percaya bahwa penyalahgunaan fasilitas dan keuangan negara untuk kampanye parpol itu memang benar terjadi.

       Parpol, Bawaslu, dan publik pun terlibat dalam segitiga perselisihan. Publik menuduh parpol berlaku korup dan brengsek serta menganggap Bawaslu tak punya gigi dan tidak berlaku adil. Bawaslu meminta parpol tidak bertindak curang dan mengimbau publik tidak terburu-buru mengambil kesimpulan. Parpol tidak tinggal diam, mereka meminta Bawaslu berlaku sesuai aturan dan menganggap publik asal main tuduh.

       Keadaan menjadi kian runyam setelah undang-undang tentang pemilihan umum ternyata tidak memberikan larangan yang lengkap, jelas, tegas, dan pasti terkait dengan pelaksanaan kampanye. UU No. 8/2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD hanya melarang pelaksanaan kampanye dengan menggunakan fasilitas pemerintah (negara) (Pasal 86 Ayat  [1] ), tetapi tidak melarang penggunaan keuangan negara. Undang-undang ini juga menyebutkan, kampanye pemilu yang mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota tidak dibenarkan menggunakan fasilitas yang berkaitan dengan jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara.

       Celah-celah tersebut dimanfaatkan oleh parpol untuk berkelit. Muncul persepsi dan pembelaan, selama tidak menggunakan fasilitas  negara –– kecuali fasilitas pengamanan –– kampanye dapat dilakukan dengan berbagai cara, termasuk dengan menggunakan keuangan negara karena larangan terhadap hal terakhir ini memang tidak ada. Ketidaklengkapan ketentuan tentang larangan ini menjadi kian ruwet setelah berlaku juga anggapan bahwa jabatan-jabatan tertentu, seperti presiden dan menteri, senantiasa melekat pada person-person pemegangnya sehingga, jika dalam melakukan kampanye pemilu untuk kepentingan parpolnya masing-masing mereka menggunakan fasilitas dan keuangan negara, itu bukan merupakan pelanggaran atau bentuk pelanggarannya menjadi kabur.

       Di tengah kesimpangsiuran itu, akhirnya yang mencuat ke permukaan adalah subjektivitas. Untuk menepis dugaan dan tuduhan penyalahgunaan fasilitas dan keuangan negara, parpol ngotot berdalih dengan argumen ketidakjelasan undang-undang dan adanya “jabatan melekat”. Bawaslu, sambil terus kebingungan, tidak kunjung memberikan tindakan tegas dengan alasan belum menemukan aturan yang pasti. Dan publik, dengan nalurinya sebagai pemilik kepentingan terbesar, merasa berhak melindungi fasilitas dan keuangan negara dari segala penyalahgunaan oleh parpol.

       Dalam situasi tak menyenangkan itu, kita tidak dapat berbuat apa-apa, selain kembali pada akal sehat dan kepatutan dalam menjaga kepentingan rakyat dan negara serta hajatan demokrasi. Bagaimanapun juga, hal ini menjadi parameter yang dapat menghindarkan kita dari kesalahkaprahan berdemokrasi dan kegagalan upaya pemberantasan korupsi –– dua hal yang kini tengah gencar kita lakukan. Ihwal penyalahgunaan fasilitas dan keuangan negara dalam kampanye pemilu jelas bersentuhan langsung dengan substansi demokrasi dan tindak pidana korupsi.

       Lepas dari benar atau tidaknya penyalahgunaan fasilitas dan keuangan negara untuk kampanye parpol dalam pemilu kali ini, akal sehat dan kepatutan menyatakan, penggunaan fasilitas dan keuangan negara untuk keperluan apa pun selain untuk kepentingan rakyat dan negara adalah perbuatan yang tak pantas dan tak dapat dibenarkan. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikategorikan sebagai tindak kejahatan. Undang-undang di sisi satu serta akal sehat dan kepatutan di sisi lain adalah dua hal yang berbeda sehingga jikapun undang-undang tidak mengatur hal itu secara lengkap, jelas, tegas, dan pasti, akal sehat dan kepatutan akan menempuh jalannya sendiri untuk memberikan patokan dan penilaian.

       Undang-undang hanyalah produk legislasi manusia yang dapat memiliki kelemahan dan kemungkinan untuk berubah (direvisi), tetapi akal sehat dan kepatutan akan selalu abadi sebagai penjaga kepentingan bangsa dan negara. Kita memang negara hukum, tetapi jika undang-undang memiliki cacat dalam mengatur urusan tertentu, tidak bisa lain, kita harus kembali pada akal sehat dan kepatutan. Kelemahan undang-undang serta pelaksanaan pemilu dan kampanye kali ini harus menjadi pelajaran terakhir. Undang-undang pemilu harus segera diperbaiki dan dilengkapi. Dan dengan harapan semua pihak dapat menggunakan asas kepatutan dan akal sehat dengan semestinya, kebiasaan atau kecenderungan penyalahgunaan fasilitas dan keuangan negara oleh parpol dalam kampanye dapat dihentikan.


No comments:

Post a Comment