Seperti pada
pemilu-pemilu sebelumnya, kampanye pemilu 2014 kembali diwarnai (dugaan) banyaknya
penyalahgunaan fasilitas dan keuangan negara oleh partai politik (parpol)
peserta pemilu. Hal serupa kelihatannya juga masih akan terjadi pada
pemilu-pemilu yang akan datang. Di tengah kebingungan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) untuk
bersikap dan bertindak, publik pun berteriak lantang menentang. Namun, tentu
saja, dengan berbagai dalih, para petinggi parpol yang menjadi sasaran tuduhan
cepat mengeluarkan bantahan.
Pembuktian atas dugaan penyalahgunaan fasilitas dan keuangan
negara untuk kampanye parpol tidak pernah tuntas dilakukan. Pemberian teguran
dan sanksi oleh Bawaslu juga dilakukan setengah hati. Sementara itu, dengan
logikanya sendiri, publik umumnya percaya bahwa penyalahgunaan fasilitas dan
keuangan negara untuk kampanye parpol itu memang benar terjadi.
Parpol, Bawaslu, dan publik pun terlibat dalam segitiga
perselisihan. Publik menuduh parpol berlaku korup dan brengsek serta menganggap
Bawaslu tak punya gigi dan tidak berlaku adil. Bawaslu meminta parpol tidak
bertindak curang dan mengimbau publik tidak terburu-buru mengambil kesimpulan.
Parpol tidak tinggal diam, mereka meminta Bawaslu berlaku sesuai aturan dan
menganggap publik asal main tuduh.
Keadaan menjadi kian runyam setelah
undang-undang tentang pemilihan umum ternyata tidak memberikan larangan yang
lengkap, jelas, tegas, dan pasti terkait dengan pelaksanaan kampanye. UU No.
8/2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD hanya melarang pelaksanaan kampanye
dengan menggunakan fasilitas pemerintah (negara) (Pasal 86 Ayat [1] ), tetapi tidak melarang penggunaan keuangan
negara. Undang-undang ini juga menyebutkan, kampanye pemilu yang mengikutsertakan
presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil
bupati, walikota, dan wakil walikota tidak dibenarkan menggunakan fasilitas
yang berkaitan dengan jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi
pejabat negara.
Celah-celah tersebut dimanfaatkan oleh
parpol untuk berkelit. Muncul persepsi dan pembelaan, selama tidak menggunakan fasilitas negara –– kecuali fasilitas pengamanan
–– kampanye dapat dilakukan dengan berbagai cara, termasuk dengan menggunakan keuangan
negara karena larangan terhadap hal terakhir ini memang tidak ada.
Ketidaklengkapan ketentuan tentang larangan ini menjadi kian ruwet setelah
berlaku juga anggapan bahwa jabatan-jabatan tertentu, seperti presiden dan
menteri, senantiasa melekat pada person-person pemegangnya sehingga, jika dalam
melakukan kampanye pemilu untuk kepentingan parpolnya masing-masing mereka
menggunakan fasilitas dan keuangan negara, itu bukan merupakan pelanggaran atau
bentuk pelanggarannya menjadi kabur.
Di tengah kesimpangsiuran itu, akhirnya
yang mencuat ke permukaan adalah subjektivitas. Untuk menepis dugaan dan
tuduhan penyalahgunaan fasilitas dan keuangan negara, parpol ngotot berdalih
dengan argumen ketidakjelasan undang-undang dan adanya “jabatan melekat”.
Bawaslu, sambil terus kebingungan, tidak kunjung memberikan tindakan tegas
dengan alasan belum menemukan aturan yang pasti. Dan publik, dengan nalurinya
sebagai pemilik kepentingan terbesar, merasa berhak melindungi fasilitas dan
keuangan negara dari segala penyalahgunaan oleh parpol.
Dalam situasi tak menyenangkan itu, kita
tidak dapat berbuat apa-apa, selain kembali pada akal sehat dan kepatutan dalam
menjaga kepentingan rakyat dan negara serta hajatan demokrasi. Bagaimanapun
juga, hal ini menjadi parameter yang dapat menghindarkan kita dari
kesalahkaprahan berdemokrasi dan kegagalan upaya pemberantasan korupsi –– dua
hal yang kini tengah gencar kita lakukan. Ihwal penyalahgunaan fasilitas dan
keuangan negara dalam kampanye pemilu jelas bersentuhan langsung dengan
substansi demokrasi dan tindak pidana korupsi.
Lepas dari benar atau tidaknya penyalahgunaan fasilitas dan
keuangan negara untuk kampanye parpol dalam pemilu kali ini, akal sehat dan
kepatutan menyatakan, penggunaan fasilitas dan keuangan negara untuk keperluan
apa pun selain untuk kepentingan rakyat dan negara adalah perbuatan yang tak
pantas dan tak dapat dibenarkan. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat
dikategorikan sebagai tindak kejahatan. Undang-undang di sisi satu serta akal
sehat dan kepatutan di sisi lain adalah dua hal yang berbeda sehingga jikapun
undang-undang tidak mengatur hal itu secara lengkap, jelas, tegas, dan pasti,
akal sehat dan kepatutan akan menempuh jalannya sendiri untuk memberikan
patokan dan penilaian.
Undang-undang hanyalah produk legislasi manusia yang dapat
memiliki kelemahan dan kemungkinan untuk berubah (direvisi), tetapi akal sehat
dan kepatutan akan selalu abadi sebagai penjaga kepentingan bangsa dan negara.
Kita memang negara hukum, tetapi jika undang-undang memiliki cacat dalam
mengatur urusan tertentu, tidak bisa lain, kita harus kembali pada akal sehat
dan kepatutan. Kelemahan undang-undang serta pelaksanaan pemilu dan kampanye
kali ini harus menjadi pelajaran terakhir. Undang-undang pemilu harus segera
diperbaiki dan dilengkapi. Dan dengan harapan semua pihak dapat menggunakan
asas kepatutan dan akal sehat dengan semestinya, kebiasaan atau kecenderungan
penyalahgunaan fasilitas dan keuangan negara oleh parpol dalam kampanye dapat
dihentikan.
No comments:
Post a Comment