Setelah
kemerdekaan dapat diraih dan Indonesia secara resmi terbentuk menjadi negara,
demokrasi mengalami transformasi. Demokrasi yang sebelumnya menjadi sistem
kehidupan yang cenderung nonformal (tidak resmi) di kalangan masyarakat
pedesaan, selanjutnya menjadi sistem yang digunakan secara resmi dalam kehidupan
politik atau ketatanegaraan. Ditetapkan dan disahkannya UUD 1945 sehari setelah
proklamasi kemerdekaan menjadi tonggak paling tegas dan konkret dianutnya
sistem demokrasi secara resmi dan de jure dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Pernyataan UUD 1945 Pasal 1 bahwa
kedaulatan berada di tangan rakyat dengan jelas menunjukkan bahwa negara
Indonesia adalah negara demokrasi.
Setelah
sekitar lima tahun direpotkan oleh perang mempertahankan kemerdekaan serta
dikacaukan oleh bentuk negara federasi (Republik Indonesia Serikat –– RIS),
sejak tahun 1950 bangsa Indonesia memasuki era yang disebut demokrasi liberal
–– sebagian ahli menyebutnya demokrasi parlementer. Penolakan kuat terhadap
bentuk negara federasi menyebabkan dicabutnya Konstitusi RIS 1949 dan
digantikan dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950). Dengan
landasan UUDS 1950, Indonesia menjalankan sistem demokrasi liberal, sebuah
model demokrasi yang jauh sebelumnya sudah dipraktikkan di negara-negara Barat.
Ciri
yang menonjol dari sistem demokrasi liberal yang dijalankan ketika itu, antara
lain, berlakunya sistem parlementer, adanya oposisi, muncul dan terlibatnya
banyak partai politik (multipartai), serta tumbuh suburnya politik aliran. Di
tengah kehidupan sulit setelah lepas dari imperialisme panjang, para pemimpin
bangsa dan negara Indonesia melaksanakan demokrasi dengan antusiasme yang
tinggi. Demokrasi dijalankan dengan semangat kebebasan dan persamaan yang
meluap-luap.
Akibat
dalam waktu sangat lama hidup di bawah penindasan dan penjajahan bangsa asing,
kebebasan dan persamaan kiranya menjadi obsesi besar para tokoh dan masyarakat
Indonesia. Masa kemerdekaan dirasakan oleh berbagai komponen bangsa Indonesia
sebagai peluang besar untuk mengekspresikan semangat persamaan dan kebebasan.
Selama sekitar tiga setengah abad sebelumnya bangsa Indonesia praktis tidak
mendapatkan persamaan dan kebebasan sebagaimana mestinya akibat penjajahan bangsa
asing. Diproklamasikannya kemerdekaan di sisi satu serta dianutnya demokrasi
sebagai sistem ketatanegaraan di sisi lain menyebabkan bangsa Indonesia dapat
menikmati kembali prinsip-prinsip persamaan dan kebebasan.
Pelaksanaan
demokrasi di Indonesia pun kemudian tampak penuh dengan gairah dan
hingar-bingar. Demokrasi menjadi semacam euforia bagi bangsa Indonesia,
khususnya kalangan tokoh, pemimpin, dan politisi. Banyak kalangan seperti mabuk
demokrasi. Sebagai prinsip atau asas demokrasi, persamaan dan kebebasan
dijunjung dan ditempatkan pada posisi yang tinggi.
Akan
tetapi, rupanya Indonesia belum sepenuhnya siap untuk menjalankan demokrasi,
khususnya demokrasi liberal, dalam sistem ketatanegaraan. Ketika itu, Indonesia
masih memiliki banyak kelemahan mendasar untuk melaksanakan demokrasi dalam
sistem politik atau ketatanegaraan. Sebagai negara baru, Indonesia belum
berpengalaman menjalankan demokrasi dalam sistem ketatanegaraan, sementara
segala infrastruktur yang dimiliki dapat dikatakan belum memenuhi syarat
kesiapan dan kemantapan.
Oleh
sebab itulah, walaupun kehidupan ketatanegaraan ketika itu tampak dan terasa
demokratis, dampak-dampak negatif muncul tanpa dapat dicegah. Pelaksanaan demokrasi
liberal menyebabkan keadaan negara menjadi tidak stabil serta kabinet mengalami
jatuh bangun akibat rongrongan oposisi yang terlalu bebas (liberal). Adapun
para tokoh, pemimpin, dan masyarakat umum terbelah-belah ke dalam ideologi dan
politik aliran yang banyak di antaranya saling bertentangan serta muncul juga
ideologi tertentu yang bertentangan dengan kon-stitusi (UUD 1945) dan dasar
negara (Pancasila).
Sekitar
satu dasawarsa setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1955 diselenggarakan
pemilihan umum (pemilu). Pemilu pertama dalam sejarah Indonesia ini diadakan
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Konstituante
(badan pembuat undang-undang dasar). Sementara sistem demokrasi liberal terus
bergulir sebagai sistem ketatanegaraan, situasi dan kondisi negara terus dilanda
kemelut akibat kekacauan dalam tubuh Konstituante dan ketidakmampuan lembaga
ini untuk menghasilkan undang-undang dasar baru untuk menggantikan UUDS 1950.
Kekisruhan dan kegagalan Konstituante menghasilkan undang-undang dasar baru
terutama disebabkan oleh perbedaan tajam pandangan (akibat perbedaan aliran dan
ideologi) yang sangat sulit dicarikan titik temunya di antara para anggota dan
faksi di tubuh Konstituante.
Situasi
tersebut kemudian memicu lahirnya Dekret 5 Juli 1959 yang dikeluarkan oleh
Presiden Soekarno. Isi dekret ini adalah pembubaran Konstituante, pemberlakuan
kembali UUD 1945 (untuk menggatikan UUDS 1950), serta pembentukan MPRS (Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara) dan DPAS (Dewan Pertimbangan Agung Sementara).
Dalam perkembangan selanjutnya, Dekret 5 Juli 1959 menjadi penanda berakhirnya
demokrasi liberal dalam sistem ketatanegaraan atau sistem politik di Indonesia.
No comments:
Post a Comment