Saturday, 24 December 2016

Demokrasi Liberal di Indonesia

 Setelah kemerdekaan dapat diraih dan Indonesia secara resmi terbentuk menjadi negara, demokrasi mengalami transformasi. Demokrasi yang sebelumnya menjadi sistem kehidupan yang cenderung nonformal (tidak resmi) di kalangan masyarakat pedesaan, selanjutnya menjadi sistem yang digunakan secara resmi dalam kehidupan politik atau ketatanegaraan. Ditetapkan dan disahkannya UUD 1945 sehari setelah proklamasi kemerdekaan menjadi tonggak paling tegas dan konkret dianutnya sistem demokrasi secara resmi dan de jure dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Pernyataan UUD 1945 Pasal 1 bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dengan jelas menunjukkan bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi.

       Setelah sekitar lima tahun direpotkan oleh perang mempertahankan kemerdekaan serta dikacaukan oleh bentuk negara federasi (Republik Indonesia Serikat –– RIS), sejak tahun 1950 bangsa Indonesia memasuki era yang disebut demokrasi liberal –– sebagian ahli menyebutnya demokrasi parlementer. Penolakan kuat terhadap bentuk negara federasi menyebabkan dicabutnya Konstitusi RIS 1949 dan digantikan dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950). Dengan landasan UUDS 1950, Indonesia menjalankan sistem demokrasi liberal, sebuah model demokrasi yang jauh sebelumnya sudah dipraktikkan di negara-negara Barat.
       Ciri yang menonjol dari sistem demokrasi liberal yang dijalankan ketika itu, antara lain, berlakunya sistem parlementer, adanya oposisi, muncul dan terlibatnya banyak partai politik (multipartai), serta tumbuh suburnya politik aliran. Di tengah kehidupan sulit setelah lepas dari imperialisme panjang, para pemimpin bangsa dan negara Indonesia melaksanakan demokrasi dengan antusiasme yang tinggi. Demokrasi dijalankan dengan semangat kebebasan dan persamaan yang meluap-luap.
       Akibat dalam waktu sangat lama hidup di bawah penindasan dan penjajahan bangsa asing, kebebasan dan persamaan kiranya menjadi obsesi besar para tokoh dan masyarakat Indonesia. Masa kemerdekaan dirasakan oleh berbagai komponen bangsa Indonesia sebagai peluang besar untuk mengekspresikan semangat persamaan dan kebebasan. Selama sekitar tiga setengah abad sebelumnya bangsa Indonesia praktis tidak mendapatkan persamaan dan kebebasan sebagaimana mestinya akibat penjajahan bangsa asing. Diproklamasikannya kemerdekaan di sisi satu serta dianutnya demokrasi sebagai sistem ketatanegaraan di sisi lain menyebabkan bangsa Indonesia dapat menikmati kembali prinsip-prinsip persamaan dan kebebasan.
       Pelaksanaan demokrasi di Indonesia pun kemudian tampak penuh dengan gairah dan hingar-bingar. Demokrasi menjadi semacam euforia bagi bangsa Indonesia, khususnya kalangan tokoh, pemimpin, dan politisi. Banyak kalangan seperti mabuk demokrasi. Sebagai prinsip atau asas demokrasi, persamaan dan kebebasan dijunjung dan ditempatkan pada posisi yang tinggi.
       Akan tetapi, rupanya Indonesia belum sepenuhnya siap untuk menjalankan demokrasi, khususnya demokrasi liberal, dalam sistem ketatanegaraan. Ketika itu, Indonesia masih memiliki banyak kelemahan mendasar untuk melaksanakan demokrasi dalam sistem politik atau ketatanegaraan. Sebagai negara baru, Indonesia belum berpengalaman menjalankan demokrasi dalam sistem ketatanegaraan, sementara segala infrastruktur yang dimiliki dapat dikatakan belum memenuhi syarat kesiapan dan kemantapan.
       Oleh sebab itulah, walaupun kehidupan ketatanegaraan ketika itu tampak dan terasa demokratis, dampak-dampak negatif muncul tanpa dapat dicegah. Pelaksanaan demokrasi liberal menyebabkan keadaan negara menjadi tidak stabil serta kabinet mengalami jatuh bangun akibat rongrongan oposisi yang terlalu bebas (liberal). Adapun para tokoh, pemimpin, dan masyarakat umum terbelah-belah ke dalam ideologi dan politik aliran yang banyak di antaranya saling bertentangan serta muncul juga ideologi tertentu yang bertentangan dengan kon-stitusi (UUD 1945) dan dasar negara (Pancasila).
       Sekitar satu dasawarsa setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1955 diselenggarakan pemilihan umum (pemilu). Pemilu pertama dalam sejarah Indonesia ini diadakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Konstituante (badan pembuat undang-undang dasar). Sementara sistem demokrasi liberal terus bergulir sebagai sistem ketatanegaraan, situasi dan kondisi negara terus dilanda kemelut akibat kekacauan dalam tubuh Konstituante dan ketidakmampuan lembaga ini untuk menghasilkan undang-undang dasar baru untuk menggantikan UUDS 1950. Kekisruhan dan kegagalan Konstituante menghasilkan undang-undang dasar baru terutama disebabkan oleh perbedaan tajam pandangan (akibat perbedaan aliran dan ideologi) yang sangat sulit dicarikan titik temunya di antara para anggota dan faksi di tubuh Konstituante.

       Situasi tersebut kemudian memicu lahirnya Dekret 5 Juli 1959 yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno. Isi dekret ini adalah pembubaran Konstituante, pemberlakuan kembali UUD 1945 (untuk menggatikan UUDS 1950), serta pembentukan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) dan DPAS (Dewan Pertimbangan Agung Sementara). Dalam perkembangan selanjutnya, Dekret 5 Juli 1959 menjadi penanda berakhirnya demokrasi liberal dalam sistem ketatanegaraan atau sistem politik di Indonesia.

No comments:

Post a Comment