Saturday, 24 December 2016

Antara Demokrasi Pancasila dan Demokrasi Liberal

   
Indonesia mengklaim diri sebagai negara demokrasi. Secara ideologis-politis, demokrasi yang dianut di Indonesia adalah demokrasi Pancasila. Sebagai sistem politik, sistem pemerintahan, atau sistem ketatanegaraan, demokrasi Pancasila jelas sangat sesuai dengan nilai-nilai budaya, sosial, dan sejarah bangsa Indonesia. Demokrasi Pancasila juga sejalan dengan karakter bangsa Indonesia yang pada dasarnya lebih mengutamakan asas gotong royong, kekeluargaan, dan musyawarah.

       Jika demokrasi Pancasila benar-benar dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak diragukan lagi tujuan hidup bernegara kita akan dapat dicapai dengan baik. Namun, bagaimana pelaksanaan demokrasi Pancasila dalam sistem ketatanegaraan Indonesia selama pemerintahan Orde Baru memegang kendali kehidupan berbangsa dan bernegara? Apakah sistem demokrasi Pancasila benar-benar dijalankan pemerintahan Orde Baru secara nyata dan konsekuen sesuai dengan prinsip-prinsip dasarnya?
       Setali tiga uang dengan pemerintahan Orde Lama, pemerintahan Orde Baru memperlakukan demokrasi hanya sebagai slogan atau lip service demi kepentingan dirinya. Pelaksanaan demokrasi Pancasila –– yang secara konseptual sebenarnya sangat berbobot –– oleh rezim Orde Baru mengalami kemacetan dan penyimpangan. Bahkan dapat dikatakan, oleh rezim pimpinan Presiden Soeharto ini demokrasi Pancasila secara telak disalahgunakan untuk melanggengkan kekuasaan serta dijadikan tameng atau alat berlindung dari kritik dan tuntutan rakyat Indonesia.
       Di bawah rezim Orde Baru demokrasi Pancasila hanya dijalankan secara singkat pada masa-masa awal rezim ini berkuasa. Selebihnya, demokrasi Pancasila dimanfaatkan sebagai alat propaganda dan justifikasi (pembenaran). Dengan gencar Orde Baru mengkampanyekan demokrasi Pancasila sebagai program atau agenda nasional yang harus mendapat dukungan dari seluruh komponen bangsa. Namun di sisi lain, perilaku para pemimpin dan tokoh pemerintahan tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi Pancasila serta tidak pula memberi teladan nyata dalam melaksanakan demokrasi Pancasila dalam praktik pemerintahan. Kesan kuat yang mencuat adalah demokrasi Pancasila dipublikasikan secara luas dan mendalam hanya untuk membenarkan praktik kenegaraan yang dilakukan Orde Baru, sementara pelaksanaannya oleh para elite di pemerintahan sebenarnya sangatlah minim atau tidak ada sama sekali.
       Sama seperti pada era rezim Orde Lama, pada era rezim Orde Baru demokrasi mengalami manipulasi dan degradasi serta kedaulatan rakyat terisisihkan oleh sifat otoriter dan diktator penguasa (presiden dan pemerintah). Prinsip-prinsip kebebasan dan persamaan juga tidak mendapatkan tempat yang semestinya. Satu hal yang mungkin membedakan masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru adalah pada masa Orde Baru korupsi terjadi lebih hebat, pelanggaran berat hak asasi manusia berlangsung lebih masif, dan penyelewengan pemilihan umum (pemilu) berlangsung lebih sistematis. Khusus mengenai pemilu, Orde Baru menggunakannya bukan sebagai mekanisme demokrasi dan implementasi kedaulatan rakyat, melainkan menyalahgunakannya untuk melanggengkan kekuasaan.
       Penyimpangan demi peyimpangan yang dilakukan Orde Baru menyebabkan negara lambat tetapi pasti tergiring menuju krisis. Penyimpangan yang tak kunjung berakihir kemudian membawa negara pada puncak krisis multidimensi (moral, politik, hukum, ekonomi, dan sebagainya) yang tak tertahankan. Pada akhir dasawarsa 1990-an (tepatnya 1998), rezim Orde Baru akhirnya tumbang oleh gerakan reformasi yang (lagi-lagi) dipelopori oleh mahasiswa.
       Sepeninggal Orde Baru, Indonesia memasuki babakan baru, yakni era reformasi. Era ini menjadi era pembaruan (reformasi) terhadap semua sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, khususnya bidang politik, hukum, dan ekonomi, yang mengalami krisis berat akibat penyelewengan rezim Orde Baru. Dalam bidang politik, muncul harapan besar bagi tumbuhnya kembali demokrasi yang sejati di Indonesia setelah hampir empat dasawarsa –– sejak berkuasanya rezim Orde Lama hingga Orde Baru –– nyaris mati dan lenyap dari bumi Indonesia.
       Untuk menumbuhkan kembali demokrasi, langkah awal yang dilakukan adalah memperbarui perangkat regulasi (peraturan perundang-undangan, termasuk konstitusi). UUD 1945 diamendemen oleh MPR (sebanyak empat kali: tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002) serta berbagai undang-undang antidemokrasi peninggalan Orde Baru dicabut dan serangkaian undang-undang baru yang diharapkan dapat memperkuat pelaksanaan demokrasi dibuat dan diberlakukan. Melalui pembaruan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang terkait, keran kebebasan dibuka lebar-lebar dan semangat persamaan (kesederajatan) warga negara diperkuat. Dengan landasan undang-undang baru pula, pemilihan umum (1999, 2004, 2009) diselenggarakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
       Hasilnya, demokrasi kembali mekar dan tumbuh subur di tanah air. Sebagaimana era awal tahun 1950-an, demokrasi berdenyut kencang serta dipraktikkan dengan gairah yang tinggi. Demam dan euforia demokrasi pun kembali terjadi.
       Akan tetapi, demokrasi era reformasi kemudian menimbulkan banyak pertanyaan. Di tengah tetap relevannya demokrasi Pancasila memasuki abad XXI, demokrasi yang dijalankan pada era reformasi dipandang oleh banyak kalangan lebih mengarah pada demokrasi liberal seperti yang dipraktikkan di Indonesia pada awal tahun 1950-an. Tanda-tanda praktik demokrasi liberal pada era reformasi, di antaranya, tampak pada banyaknya partisipasi partai politik (multipartai) dalam pemilu serta adanya pembagian antara partai pemegang pemerintahan dan oposisi. Adapun dalam berbagai pengambilan keputusan, mekanisme pemungutan suara (voting) lebih sering menjadi pilihan daripada musyawarah untuk mencapai mufakat.
       Sementara itu, pendapat lain menyatakan bahwa demokrasi era reformasi memang tidak memperlihatkan corak demokrasi Pancasila, tetapi juga tidak sepenuhnya berkarakter demokrasi liberal. Hal ini terutama karena demokrasi era reformasi masih dipraktikkan dalam bingkai sistem pemerintahan presidensial, bukan parlementer. Tidak sebagaimana dalam sistem parlementer, dalam sistem presidensial implementasi dan ekspresi kebebasan oleh kekuatan-kekuatan politik –– terutama oposisi di lembaga perwakilan –– dianggap lebih moderat dan terkendali sehingga lebih terhindar dari pelaksanaan kebebasan yang berlebihan dan keadaan instabilitas.
       Jika pendapat terakhir itu benar, mungkin dapat dibuat sebuah kesimpulan bahwa demokrasi era reformasi bukanlah bercorak demokrasi Pancasila dan bukan pula demokrasi liberal, melainkan campuran atau kombinasi dari keduanya. Apakah ini merupakan bentuk kerancuan demokrasi? Apakah demokrasi yang demikian dapat dibenarkan atau ditoleransi dalam praktik ketatanegaraan? Terlepas dari rancu atau tidak rancu serta benar atau salah, (pelaksanaan) demokrasi di Indonesia hingga saat ini tampaknya belum menemukan bentuknya yang jelas, mantap, dan final.

       Seperti yang terjadi di banyak negara lain, demokrasi di negara kita kiranya akan terus mengalami dinamika sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakat dan bangsa. Kemantapan demokrasi di suatu negara akan selalu berkorelasi dengan kematangan sosiologis dan psikologis masyarakatnya, selain juga dengan kesiapan budaya dan kesejahteraan ekonomi. Di tengah kehidupan masyarakat dan bangsa kita yang masih terus berkembang, demokrasi pun akan turut berkembang di belakangnya. Dapat dikatakan, masyarakat dan bangsa kita saat ini sedang dalam taraf pendewasaan berdemokrasi. Jika kedewasaan masyarakat dan bangsa sudah terbentuk serta kesiapan budaya dan kesejahteraan ekonomi terwujud, kita bisa berharap demokrasi di Indonesia dapat tegak dalam bentuknya yang jelas, mantap, dan final.

No comments:

Post a Comment