Indonesia mengklaim diri sebagai
negara demokrasi. Secara ideologis-politis, demokrasi yang dianut di Indonesia
adalah demokrasi Pancasila. Sebagai sistem politik, sistem pemerintahan, atau
sistem ketatanegaraan, demokrasi Pancasila jelas sangat sesuai dengan
nilai-nilai budaya, sosial, dan sejarah bangsa Indonesia. Demokrasi Pancasila
juga sejalan dengan karakter bangsa Indonesia yang pada dasarnya lebih
mengutamakan asas gotong royong, kekeluargaan, dan musyawarah.
Jika
demokrasi Pancasila benar-benar dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, tidak diragukan lagi tujuan hidup bernegara kita akan
dapat dicapai dengan baik. Namun, bagaimana pelaksanaan demokrasi Pancasila
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia selama pemerintahan Orde Baru memegang
kendali kehidupan berbangsa dan bernegara? Apakah sistem demokrasi Pancasila benar-benar
dijalankan pemerintahan Orde Baru secara nyata dan konsekuen sesuai dengan
prinsip-prinsip dasarnya?
Setali
tiga uang dengan pemerintahan Orde Lama, pemerintahan Orde Baru memperlakukan
demokrasi hanya sebagai slogan atau lip service demi kepentingan
dirinya. Pelaksanaan demokrasi Pancasila –– yang secara konseptual sebenarnya
sangat berbobot –– oleh rezim Orde Baru mengalami kemacetan dan penyimpangan.
Bahkan dapat dikatakan, oleh rezim pimpinan Presiden Soeharto ini demokrasi
Pancasila secara telak disalahgunakan untuk melanggengkan kekuasaan serta dijadikan
tameng atau alat berlindung dari kritik dan tuntutan rakyat Indonesia.
Di
bawah rezim Orde Baru demokrasi Pancasila hanya dijalankan secara singkat pada
masa-masa awal rezim ini berkuasa. Selebihnya, demokrasi Pancasila dimanfaatkan
sebagai alat propaganda dan justifikasi (pembenaran). Dengan gencar Orde Baru
mengkampanyekan demokrasi Pancasila sebagai program atau agenda nasional yang
harus mendapat dukungan dari seluruh komponen bangsa. Namun di sisi lain,
perilaku para pemimpin dan tokoh pemerintahan tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi
Pancasila serta tidak pula memberi teladan nyata dalam melaksanakan demokrasi
Pancasila dalam praktik pemerintahan. Kesan kuat yang mencuat adalah demokrasi
Pancasila dipublikasikan secara luas dan mendalam hanya untuk membenarkan
praktik kenegaraan yang dilakukan Orde Baru, sementara pelaksanaannya oleh para
elite di pemerintahan sebenarnya sangatlah minim atau tidak ada sama sekali.
Sama
seperti pada era rezim Orde Lama, pada era rezim Orde Baru demokrasi mengalami
manipulasi dan degradasi serta kedaulatan rakyat terisisihkan oleh sifat otoriter
dan diktator penguasa (presiden dan pemerintah). Prinsip-prinsip kebebasan dan
persamaan juga tidak mendapatkan tempat yang semestinya. Satu hal yang mungkin
membedakan masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru adalah pada masa Orde Baru
korupsi terjadi lebih hebat, pelanggaran berat hak asasi manusia berlangsung
lebih masif, dan penyelewengan pemilihan umum (pemilu) berlangsung lebih
sistematis. Khusus mengenai pemilu, Orde Baru menggunakannya bukan sebagai
mekanisme demokrasi dan implementasi kedaulatan rakyat, melainkan menyalahgunakannya
untuk melanggengkan kekuasaan.
Penyimpangan
demi peyimpangan yang dilakukan Orde Baru menyebabkan negara lambat tetapi
pasti tergiring menuju krisis. Penyimpangan yang tak kunjung berakihir kemudian
membawa negara pada puncak krisis multidimensi (moral, politik, hukum, ekonomi,
dan sebagainya) yang tak tertahankan. Pada akhir dasawarsa 1990-an (tepatnya
1998), rezim Orde Baru akhirnya tumbang oleh gerakan reformasi yang (lagi-lagi)
dipelopori oleh mahasiswa.
Sepeninggal
Orde Baru, Indonesia memasuki babakan baru, yakni era reformasi. Era ini
menjadi era pembaruan (reformasi) terhadap semua sendi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, khususnya bidang politik, hukum, dan ekonomi, yang
mengalami krisis berat akibat penyelewengan rezim Orde Baru. Dalam bidang
politik, muncul harapan besar bagi tumbuhnya kembali demokrasi yang sejati di
Indonesia setelah hampir empat dasawarsa –– sejak berkuasanya rezim Orde Lama
hingga Orde Baru –– nyaris mati dan lenyap dari bumi Indonesia.
Untuk
menumbuhkan kembali demokrasi, langkah awal yang dilakukan adalah memperbarui
perangkat regulasi (peraturan perundang-undangan, termasuk konstitusi). UUD
1945 diamendemen oleh MPR (sebanyak empat kali: tahun 1999, 2000, 2001, dan
2002) serta berbagai undang-undang antidemokrasi peninggalan Orde Baru dicabut
dan serangkaian undang-undang baru yang diharapkan dapat memperkuat pelaksanaan
demokrasi dibuat dan diberlakukan. Melalui pembaruan konstitusi dan peraturan
perundang-undangan yang terkait, keran kebebasan dibuka lebar-lebar dan
semangat persamaan (kesederajatan) warga negara diperkuat. Dengan landasan
undang-undang baru pula, pemilihan umum (1999, 2004, 2009) diselenggarakan
dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Hasilnya,
demokrasi kembali mekar dan tumbuh subur di tanah air. Sebagaimana era awal
tahun 1950-an, demokrasi berdenyut kencang serta dipraktikkan dengan gairah
yang tinggi. Demam dan euforia demokrasi pun kembali terjadi.
Akan
tetapi, demokrasi era reformasi kemudian menimbulkan banyak pertanyaan. Di
tengah tetap relevannya demokrasi Pancasila memasuki abad XXI, demokrasi yang
dijalankan pada era reformasi dipandang oleh banyak kalangan lebih mengarah
pada demokrasi liberal seperti yang dipraktikkan di Indonesia pada awal tahun
1950-an. Tanda-tanda praktik demokrasi liberal pada era reformasi, di antaranya,
tampak pada banyaknya partisipasi partai politik (multipartai) dalam pemilu
serta adanya pembagian antara partai pemegang pemerintahan dan oposisi. Adapun
dalam berbagai pengambilan keputusan, mekanisme pemungutan suara (voting)
lebih sering menjadi pilihan daripada musyawarah untuk mencapai mufakat.
Sementara
itu, pendapat lain menyatakan bahwa demokrasi era reformasi memang tidak
memperlihatkan corak demokrasi Pancasila, tetapi juga tidak sepenuhnya
berkarakter demokrasi liberal. Hal ini terutama karena demokrasi era reformasi
masih dipraktikkan dalam bingkai sistem pemerintahan presidensial, bukan
parlementer. Tidak sebagaimana dalam sistem parlementer, dalam sistem
presidensial implementasi dan ekspresi kebebasan oleh kekuatan-kekuatan politik
–– terutama oposisi di lembaga perwakilan –– dianggap lebih moderat dan terkendali
sehingga lebih terhindar dari pelaksanaan kebebasan yang berlebihan dan keadaan
instabilitas.
Jika
pendapat terakhir itu benar, mungkin dapat dibuat sebuah kesimpulan bahwa
demokrasi era reformasi bukanlah bercorak demokrasi Pancasila dan bukan pula
demokrasi liberal, melainkan campuran atau kombinasi dari keduanya. Apakah ini
merupakan bentuk kerancuan demokrasi? Apakah demokrasi yang demikian dapat
dibenarkan atau ditoleransi dalam praktik ketatanegaraan? Terlepas dari rancu
atau tidak rancu serta benar atau salah, (pelaksanaan) demokrasi di Indonesia
hingga saat ini tampaknya belum menemukan bentuknya yang jelas, mantap, dan
final.
Seperti
yang terjadi di banyak negara lain, demokrasi di negara kita kiranya akan terus
mengalami dinamika sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakat dan bangsa.
Kemantapan demokrasi di suatu negara akan selalu berkorelasi dengan kematangan
sosiologis dan psikologis masyarakatnya, selain juga dengan kesiapan budaya dan
kesejahteraan ekonomi. Di tengah kehidupan masyarakat dan bangsa kita yang
masih terus berkembang, demokrasi pun akan turut berkembang di belakangnya. Dapat
dikatakan, masyarakat dan bangsa kita saat ini sedang dalam taraf pendewasaan
berdemokrasi. Jika kedewasaan masyarakat dan bangsa sudah terbentuk serta
kesiapan budaya dan kesejahteraan ekonomi terwujud, kita bisa berharap
demokrasi di Indonesia dapat tegak dalam bentuknya yang jelas, mantap, dan
final.
No comments:
Post a Comment