Apakah
sebuah peristiwa masa lalu dapat menanamkan pemahaman serta meninggalkan kesan
yang sama pada semua orang umumnya dan pada para sejarawan khususnya? Apakah
semua sejarawan sepakat mengenai semua kejadian masa lalu yang mereka teliti,
mereka pelajari, dan mereka tulis? Tidak! Sejarah ternyata menyimpan banyak
misteri dan kontroversi serta sejarawan pun dapat terbelit sifat subjektif.
Peristiwa masa lalu ternyata dapat meninggalkan kesan dan penafsiran yang
berbeda-beda. Hal ini tidak hanya terjadi pada masyarakat awam yang tidak atau
kurang mengerti sejarah, melainkan juga pada para sejarawan yang ahli dalam
sejarah.
Bagaimana
hal itu dapat terjadi? Perbedaan kesan, anggapan, dan penafsiran terhadap peristiwa
masa lalu (sejarah) seringkali sulit dihindari karena tidak semua peristiwa
terjadi dengan transparan, gamblang, dan jelas, sedangkan peristiwa-peristiwa
yang terjadi dengan transparan, gamblang, dan jelas pun masih sering memicu
perdebatan. Dalam sejarah dunia begitu banyak peristiwa penting yang terjadi
dengan samar-samar dan kabur serta sebagian sengaja ditutup-tutupi,
disembunyikan, dipalsukan, atau dimanipulasi. Keadaan ini menyulitkan kaum awam
dan para sejarawan untuk memberikan pemahaman dan melakukan penafsiran dengan
akurat dan benar.
Sejarah
juga seringkali bersifat subjektif. Peristiwa Perang Dunia II, misalnya, pasti
mendapat reaksi dan penilaian yang berbeda-beda dari negara yang terlibat
perang. Bagi bangsa Amerika, Inggris, dan Prancis, keterlibatan mereka dalam
Perang Dunia II boleh jadi dirasakan sebagai perjuangan heroik dalam
mengalahkan arogansi dan penindasan yang dilakukan oleh musuh mereka: Jerman,
Jepang, dan Italia. Namun, sebaliknya, bagi bangsa Jerman, Jepang, dan Italia,
keterlibatan mereka dalam perang dahsyat itu bisa jadi dipandang sebagai upaya
untuk menegaskan dan memperkukuh keberadaan mereka dengan segala ideologi dan
kebijakan kolonialnya yang akan menjadikan mereka dihormati dan disegani serta
kian jaya dan sejahtera. Adapun bagi bangsa-bangsa lain yang terlibat langsung
sebagai korban, seperti Indonesia, Mesir, dan India, Perang Dunia II boleh jadi
dirasakan sebagai perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan dan menguji
nasionalisme di tengah pertarungan kekuatan-kekuatan besar memperebutkan
pengaruh ideologi.
Demikianlah, memang kadang tidak mudah
menafsirkan dan memahami sejarah secara benar. Di negara kita sendiri, tidak
sedikit peristiwa masa lalu yang terjadi dengan samar-samar dan kabur sehingga
menimbulkan kesimpangsiuran. Beberapa peristiwa berikut ini menunjukkan bahwa
sejarah sulit terlepas dari kontroversi dan perdebatan.
- Gerakan 30 September (G-30-S) 1965. Sebagian sejarawan menyatakan, peristiwa ini didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sebelum peristiwanya pecah memang tampak mendominasi dalam perpolitikan Indonesia tahun 1950-an dan 1960-an. Namun, sebagian sejarawan beranggapan bahwa otak peristiwa tersebut tidak lain adalah CIA (Central Intelligence Agency –– Dinas Intelijen Amerika Serikat), sebagai upaya untuk membendung menguat dan meluasnya pengaruh komunisme di Indonesia akibat dominasi PKI yang didukung Tiongkok. Akan tetapi, yang mengejutkan, ada juga sejarawan yang membuat analisis bahwa tokoh di balik gerakan G-30-S adalah Mayjen Soeharto sebagai upaya untuk merebut kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno.
- Serangan Umum 1 Maret 1949. Soeharto dan rezim Orde Baru mengklaim, penggagas serangan Umum 1 Maret 1949 adalah Letkol Soeharto. Namun, sebagian sejarawan dan masyarakat percaya bahwa pemrakarsa serangan adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Versi lain menyatakan, tokoh utama yang memberikan instruksi untuk melakukan serangan besar-besaran itu tidak lain adalah Kol Bambang Sugeng (Panglima Divisi III/Gubernur Militer III).
- Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Di tengah keberadaan suratnya yang tidak pernah jelas, proses pembuatan suratnya sendiri menjadi kontroversi: apakah ditulis dan diberikan secara sukarela oleh Presiden Soekarno kepada Mayjen Soeharto ataukah melalui paksaan oleh Mayjen Soeharto terhadap Presiden Soekarno, atau bahkan surat itu sebenarnya tidak pernah ada? Banyak masyarakat menduga-duga, Surat Perintah 11 Maret tidak pernah ada; surat tersebut hanya karangan untuk membenarkan dilakukannya pengambilalihan kekuasaan (kudeta). Sebagian sejarawan dan masyarakat percaya bahwa surat tersebut memang pernah dibuat (oleh Seokarno) dan diserahkan kepada Soeharto melalui tiga perwira (Amir Machmud, M. Yusuf, dan Basuki Rachmat) sebagai bentuk pelimpahan kekuasaan di tengah situasi darurat. Namun, yang menjadi tanda tanya besar, mengapa surat sepenting itu bisa hilang atau keberadaannya menjadi tidak jelas?
- Peristiwa 12 Mei 1998. Peristiwa 12 Mei 1998 menjadi simbol kejatuhan rezim Orde Baru yang otoriter dan bergantinya pemerintahan baru yang reformis. Dalam peristiwa tersebut, empat orang mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta meninggal dunia akibat terkena tembakan saat mengikuti demonstrasi damai menuntut mundurnya pemerintahan Orde Baru. Setelah peristiwa tertembaknya empat mahasiswa itu, pecah gelombang demonstrasi (mahasiswa dan masyarakat) besar-besaran di berbagai pelosok Indonesia sehingga mampu memaksa Soeharto melepaskan jabatan presiden yang sudah dipegangnya selama lebih dari 30 tahun. Setelah peristiwa Trisakti itu, juga pecah kerusuhan besar di Jakarta dan Solo. Hal yang menjadi tanda tanya besar hingga kini adalah siapakah yang menembak empat mahasiswa Trisakti dan siapakah pula dalang kerusuhan di Jakarta dan Solo? Hasil sidang pengadilan atas kasus tertembaknya empat mahasiswa menyatakan bahwa polisi yang menangani demonstrasilah yang melakukan penembakan. Namun, banyak saksi yang melihat bahwa pada momen-momen terjadinya penembakan, dari gedung-gedung tinggi di sekitar tempat kejadian perkara berkali-kali tersorot sinar inframerah yang diduga digunakan sebagai penuntun untuk membidik para mahasiswa. Berdasarkan analisis masuknya peluru ke tubuh para korban, juga diketahui bahwa konon peluru menembus tubuh korban secara diagonal (menyilang) dari atas ke bawah, yang menandakan bahwa tembakan dilepaskan dari atas (gedung tinggi) ke bawah. Jika kesaksian dan analisis ini benar, berarti ada orang atau aparat gelap lain yang turut “menangani” demonstrasi, yang sengaja bertindak sendiri untuk membunuh mahasiswa. Sementara itu, kerusuhan besar di Jakarta dan Solo, menurut kesaksian banyak pihak, juga tidak terjadi secara “alami”, melainkan digerakkan secara sistematis oleh orang-orang terlatih.
- Korupsi Bank Century. Inilah salah satu kasus megakorupsi di Indonesia yang penanganan dan penyelesaiannya tidak jelas hingga kini. Kasus yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini, diduga kuat oleh banyak pihak melibatkan sejumlah pejabat tinggi negara, serta dana hasil korupsi (triliunan rupiah) mengalir ke partai politik tertentu, tetapi aparat hukum hanya menjatuhkan dakwaan kepada direksi bank (Bank Century) dan pejabat Bank Indonesia, sementara aktor-aktor besarnya tak tersentuh. Korupsi ini mengakibatkan negara mengalami kerugian sekitar Rp 6 triliun. Kasusnya bermula dari kesulitan keuangan serius yang dialami oleh Bank Century, yang dianggap dapat menimbulkan dampak sistemik terhadap perekonomian negara. Pandangan ini menyebabkan beberapa pejabat negara dalam bidang moneter memutuskan untuk menggelontorkan bantuan dana kepada Bank Century sebesar sekitar Rp 6 triliun melalui Bank Indonesia. Namun, dana sebesar itu kemudian tidak digunakan sebagaimana mestinya (di antaranya untuk mengganti tabungan nasabah), melainkan malah dikorupsi oleh pihak bank dan pihak eksternal yang tidak jelas tugas dan kewenangannya.
No comments:
Post a Comment