Hukum
dan peradilan adalah dua hal yang tidak dapat atau sangat sulit dipisahkan.
Keduanya saling terkait dan saling membutuhkan. Hukum memerlukan peradilan sebagai
sarana untuk menguji, menilai, membuktikan, dan memastikan bahwa suatu
perbuatan atau tindakan itu benar atau salah berdasarkan peraturan-peraturan
(hukum) yang berlaku. Hukum memerlukan peradilan untuk memberikan putusan
(vonis) dalam bentuk hukuman kepada pihak-pihak yang melakukan perbuatan atau
tindakan yang salah atau melanggar aturan (hukum). Seorang pejabat yang
(berdasarkan bukti-bukti awal) diduga kuat melakukan korupsi adalah orang yang
(menurut aturan hukum) melakukan perbuatan yang melanggar atau melawan hukum.
Untuk menguji, menilai, membuktikan, dan memastikan bahwa ia memang benar-benar
melakukan pelanggaran hukum dalam bentuk korupsi, maka ia akan menjalani proses
peradilan (melalui lembaga pengadilan). Melalui proses peradilan itulah ia akan
mendapat putusan atau vonis (dari lembaga pengadilan yang dipimpin hakim): jika
terbukti melakukan tindak pelanggaran hukum (dalam bentuk korupsi), ia akan
dijatuhi hukuman; tetapi jika terbukti tidak melakukan tindakan yang disangkakan,
ia akan dibebaskan dan namanya dibersihkan.
Jadi,
peradilan diperlukan untuk melengkapi fungsi dan peranan hukum. Agar hukum
dapat memberikan manfaat yang nyata –– bukan sekadar seperangkat aturan yang
beku –– dilakukan proses peradilan atas berbagai bentuk atau perkara
ketidaktaatan terhadap hukum sehingga dirasakan benar daya gunanya dalam
kehidupan. Keberadaan dan dilakukannya proses peradilan menjadikan hukum
paripurna sebagai alat untuk menciptakan keamanan, ketertiban, keteraturan, dan
keharmonisan hidup.
Sebaliknya,
peradilan pun memerlukan hukum sebagai perangkat peraturan atau tata tertib
yang digunakan untuk mengatur perilaku sekaligus kehidupan individu dan masyarakat.
Hukum berisi perintah dan larangan agar kehidupan individu dan masyarakat
tertib, aman, tenteram, damai, adil, dan sejahtera. Rambu-rambu atau
aturan-aturan yang terdapat di dalam hukum inilah yang dijadikan pedoman dalam
proses peradilan perkara. Selama dalam kehidupan masyarakat tidak terjadi
pelanggaran (hukum), proses peradilan tidak diperlukan. Namun, pelanggaran
kenyataannya tidak sepenuhnya dapat dihindarkan sehingga proses peradilan tetap
saja diperlukan. Berdasarkan rambu/aturan di dalam hukum itulah peradilan
digelar untuk membuktikan sekaligus memberi putusan atas berbagai bentuk
pelanggaran atau ketidaktaatan hukum.
Selain
sebagai pedoman, hukum juga menjadi prasyarat bagi peradilan. Bagaimana proses
peradilan akan dan dapat dilakukan jika di sisi lain tidak ada hukum? Justru
karena keberadaan hukum itulah proses peradilan (dapat) digelar. Peradilan atas
sebuah perkara dilakukan oleh karena sebelumnya terjadi tindak pelanggaran atau
ketidaktaatan terhadap hukum.
Dengan
melihat hubungan hukum dan peradilan yang demikian, kita dapat menarik sebuah
benang merah bahwa peradilan merupakan unsur yang tak terpisahkan dari hukum.
Peradilan adalah bagian inheren dari hukum. Dapat dikatakan bahwa peradilan
merupakan “infrastruktur” dari hukum dalam kerangka atau upaya menciptakan
tertib dan taat hukum untuk mewujudkan kehidupan yang ideal: tertib, teratur,
aman, adil, sejahtera, harmonis, dan sebagainya. Dengan demikian, pembahasan
mengenai peradilan tidak dapat sepenuhnya lepas dari pembahasan mengenai hukum.
No comments:
Post a Comment