Fenomena globalisasi yang saat ini bergulir kian
cepat memicu munculnya rasa takut atau khawatir di kalangan masyarakat
tertentu, demikian juga dengan persaingan. Globalisasi dan persaingan, oleh
mereka yang belum paham benar akan duduk persoalannya serta oleh mereka yang
belum siap, seringkali dirasakan sebagai
momok yang menakutkan. Keduanya dianggap seperti “monstrer” yang dapat dan akan
menggilas serta menyingkirkan kalangan masyarakat yang lemah dari segi pendidikan,
ekonomi, politik, dan sebagainya.
Apakah kekhawatiran atau
ketakutan itu benar? Sampai saat ini hal itu belum terbukti secara meyakinkan
serta baru sebatas kekhawatiran atau ketakutan yang hanya ada dalam pikiran dan
perasaan. Di beberapa negara memang sering muncul demonstrasi menentang
globalisasi dan perdagangan bebas, tetapi belum ada kasus yang menunjukkan
bahwa suatu masyarakat atau negara mengalami keterpurukan hebat akibat
globalisasi dan perdagangan bebas. Globalisasi memang membawa beberapa dampak
negatif, seperti masuknya serbuan budaya asing yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai masyarakat dan bangsa setempat, tetapi sejauh individu dan
masyarakat memiliki kepribadian kuat serta teguh memegang nilai-nilai luhur
bangsanya, dampak tersebut dapat diatasi.
Jadi, bagaimana sesungguhnya
kaitan antara globalisasi dengan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan?
Globalisasi dan persaingan sebenarnya bukanlah causa prima atau penyebab utama terjadinya kemiskinan,
kebodohan, dan bentuk-bentuk keterbelakangan yang lain. Dapat dikatakan,
globalisasi hanyalah salah satu faktor yang, mungkin, dapat menimbulkan dampak
terpinggirkannya kalangan yang bodoh dan miskin, sedangkan kemiskinan dan
kebodohan itu sendiri lebih banyak disebabkan oleh tidak atau belum maksimalnya
usaha yang dilakukan untuk membebaskan diri dari kedua keterbelakangan itu.
Kemiskinan dan kebodohan sudah
ada sebelum globalisasi muncul. Tanpa adanya globalisasi dan perdagangan bebas
pun, pihak yang lemah, miskin, dan bodoh, tetap akan lemah, miskin, dan bodoh
jika mereka hanya pasrah dan tidak melakukan ikhtiar untuk memperbaiki diri
guna meraih kemajuan hidup. Dalam situasi apa pun, kemiskinan dan kebodohan
akan tetap menjadi kemiskinan dan kebodohan selama keduanya tidak dicoba dilenyapkan
dengan usaha dan kerja yang keras dan serius.
Dengan demikian, globalisasi,
perdagangan bebas, persaingan, dan sejenisnya, bukanlah hal yang perlu kita
khawatirkan atau kita takutkan. Sebaliknya, kesemuanya itu (seharusnya) justru
dapat menjadi berkah. Jika kita ingat bahwa globalisasi dan perdagangan bebas
dapat menimbulkan dampak terpinggirkannya orang-orang lemah, kita akan
mendapatkan hikmah. Apakah hikmah itu? Hikmah itu adalah kita (selayaknya) jadi
terdorong untuk mawas diri, apakah kita selama ini masih lemah ataukah sudah
kuat. Dengan begitu, kita akan termotivasi untuk mengambil langkah yang
diperlukan guna menghadapi atau menyongsong globalisasi dan persaingan.
Sebagai masyarakat dari sebuah
negara berkembang, tentunya kita harus mengakui bahwa secara umum kita belum
kuat dan unggul dari segi pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, dan
sebagainya. Bahkan, dari segi kemampuan atau potensi sumber daya manusia (SDM),
rata-rata penduduk negara kita masih tertinggal jauh dari penduduk banyak
negara lain. Kemampuan sumber daya manusia penduduk Indonesia masih menempati
urutan rendah dalam peringkat kemampuan SDM negara-negara di dunia.
Dalam keadaan semacam itu, tentu
saja kita tidak boleh bersikap pasrah dan tinggal diam. Jika kita hanya pasif
serta malas berusaha dan belajar untuk meningkatkan kemampuan diri, kita akan
makin tertinggal dan akhirnya terpuruk-puruk dalam persaingan. Kemampuan kita
tidak akan bertambah baik hanya dengan bersikap pasrah, mengeluh, dan menunggu
keadaan. Oleh sebab itu, kita wajib bangkit guna berusaha dan bekerja keras
untuk meraih kemampuan yang tinggi dalam berbagai bidang kehidupan agar kita
tidak hanya mampu bersaing, melainkan juga unggul dalam persaingan.
No comments:
Post a Comment