Selama
ini masyarakat mengenal atau menganggap aktivitas seni dilakukan di ruang-ruang
khusus yang seringkali terasa angker dan prestisius. Seorang pelukis top
biasanya menciptakan lukisan di studio pribadinya yang sunyi dan jauh dari
jangkauan mata publik, kemudian memamerkan karya-karyanya di galeri terkenal
dengan harga lukisan bisa mencapai miliaran rupiah. Seorang musisi terkenal
juga biasa menciptakan lagu di studio pribadinya yang mewah, kemudian
mementaskan karya-karyanya di gedung konser megah dengan harga tiket masuk bisa
mencapai jutaan rupiah. Berkarya di ruang tertutup yang sunyi dan sarat privasi
kemudian mempublikasikan karyanya di gedung yang terhormat dan mahal juga biasa
dilakukan oleh para seniman terkenal dan mapan dari cabang-cabang seni lain,
seperti tari dan teater.
Namun,
tidak demikian halnya dengan para seniman jalanan. Seniman jalanan selama ini
dikenal sebagai pekerja seni yang sering atau biasa menciptakan, menggelar, dan
mengekspresikan karyanya di pinggiran jalan yang ramai dilalui orang. Mereka
umumnya bukan para seniman mapan serta tidak memiliki studio atau ruang
berkarya dan berekspresi tersendiri. Mereka juga umumnya tidak memiliki
kemampuan menyewa tempat khusus untuk berkarya dan berekspresi, atau sebagian
dari mereka mungkin saja punya kemampuan itu, tetapi enggan melakukannya dengan
alasan tertentu.
Mereka
lebih memilih berkarya dan berekspresi di tempat terbuka yang cuma-cuma atau
setidaknya minim biaya: jalanan. Dengan beralaskan aspal atau beton dan
beratapkan langit, mereka berkesenian dengan cara mereka sendiri. Mereka
langsung berhadapan dengan publik tanpa melalui prosedur atau birokrasi
kesenian yang rumit dan berbelit-belit. Mereka dengan spontan berekspresi di
depan publik: menyanyi, menari, berpantomim, melukis dan memajang lukisan, dan
sebagainya.
Umumnya
mereka berekspresi dengan mengharapkan perhatian dan imbalan langsung dari
publik. Mereka berharap, orang-orang di sekitar berhenti sejenak untuk menyaksikan
aksi mereka, kemudian melemparkan uang receh sekadarnya ke dalam kaleng, topi,
atau sapu tangan yang mereka taruh di atas aspal atau trotoar. Istilah populer
yang digunakan untuk menyebut aksi mereka adalah “mengamen”. Kecuali mereka
yang melukis dan memajang lukisannya untuk dibeli, mereka hanya mengandalkan
kecakapan memainkan seni secara spontan (menyanyi, memainkan alat musik,
menari, berpantomim, dan sebagainya) untuk menarik perhatian dan mendapatkan
imbalan.
Dalam aksi-aksi mereka, kualitas atau bobot seni bukan hal
yang penting untuk dipersoalkan. Bukan tidak mungkin kemampuan mereka menyanyi,
bermain musik, atau menari sebenarnya tidak kalah dengan para seniman yang
biasa tampil di gedung kesenian dengan honor besar, tetapi unsur pokok yang
mereka tampilkan tidak lain hanyalah hiburan. Cara berpikir mereka umumnya
sederhana saja: beraksi dan mendapatkan uang untuk membiayai hidup, dan tidak
mengharapkan kritikus seni atau media massa mengulas atau memberitakan nilai
seni mereka. Dan sejauh yang diketahui, publik yang menyaksikannya umumnya
cukup terhibur dengan aksi mereka. Hanya dengan uang receh yang tak seberapa,
publik kadang bisa menikmati pertunjukan seni yang menarik dan menghibur, yang
jika seni serupa dipentaskan seniman mapan di gedung kesenian bisa dipatok
dengan harga tiket ratusan atau bahkan jutaan rupiah.
Fenomena seni dan seniman jalanan di Indonesia belum
sepopuler di mancanegara, terutama di Eropa. Model seni jalanan di Indonesia
umumnya masih didominasi seni musik yang diekspresikan dengan cara mengamen
dari rumah ke rumah, dari toko ke toko, atau dari pengunjung ke pengunjung
warung makan kaki lima. Hal ini berbeda dengan yang banyak terjadi di Eropa,
yang pertunjukannya mencakup jenis seni yang lebih banyak dan beragam dengan
gaya pementasan yang relatif lebih menetap dengan mengambil sisi jalan kota
atau sudut kota tertentu yang banyak dilewati atau dikunjungi warga.
Lebih dari itu, apresiasi masyarakat terhadap seni jalanan
di Indonesia juga belum sebaik di negara-negara maju. Di negara-negara maju
(Eropa) masyarakat lebih apresiatif dan lebih toleran terhadap keberadaan seni
jalanan. Mereka memberi kebebasan kepada para seniman jalanan untuk bereskpresi
di tengah keramaian publik. Di Indonesia walaupun sebagian masyarakat sudah
bersikap apresiatif dengan memberi ruang berekspresi yang memadai terhadap
pertunjukan seni jalanan, sebagian besar masyarakat umumnya masih menganggap
seni jalanan sebagai pengganggu pemandangan dan kenyamanan warga. Hal ini
terjadi juga tidak lepas dari cara mempertunjukkan seni jalanan itu sendiri
oleh para seniman yang di Indonesia seringkali masih terlihat sangat amatiran
serta diwarnai dengan pemaksaan dalam meminta imbalan kepada warga.
No comments:
Post a Comment