Tuesday, 27 December 2016

Seni Jalanan, Berkarya dan Berekspresi dalam Keramaian Jalan

Selama ini masyarakat mengenal atau menganggap aktivitas seni dilakukan di ruang-ruang khusus yang seringkali terasa angker dan prestisius. Seorang pelukis top biasanya menciptakan lukisan di studio pribadinya yang sunyi dan jauh dari jangkauan mata publik, kemudian memamerkan karya-karyanya di galeri terkenal dengan harga lukisan bisa mencapai miliaran rupiah. Seorang musisi terkenal juga biasa menciptakan lagu di studio pribadinya yang mewah, kemudian mementaskan karya-karyanya di gedung konser megah dengan harga tiket masuk bisa mencapai jutaan rupiah. Berkarya di ruang tertutup yang sunyi dan sarat privasi kemudian mempublikasikan karyanya di gedung yang terhormat dan mahal juga biasa dilakukan oleh para seniman terkenal dan mapan dari cabang-cabang seni lain, seperti tari dan teater.
Namun, tidak demikian halnya dengan para seniman jalanan. Seniman jalanan selama ini dikenal sebagai pekerja seni yang sering atau biasa menciptakan, menggelar, dan mengekspresikan karyanya di pinggiran jalan yang ramai dilalui orang. Mereka umumnya bukan para seniman mapan serta tidak memiliki studio atau ruang berkarya dan berekspresi tersendiri. Mereka juga umumnya tidak memiliki kemampuan menyewa tempat khusus untuk berkarya dan berekspresi, atau sebagian dari mereka mungkin saja punya kemampuan itu, tetapi enggan melakukannya dengan alasan tertentu.
Mereka lebih memilih berkarya dan berekspresi di tempat terbuka yang cuma-cuma atau setidaknya minim biaya: jalanan. Dengan beralaskan aspal atau beton dan beratapkan langit, mereka berkesenian dengan cara mereka sendiri. Mereka langsung berhadapan dengan publik tanpa melalui prosedur atau birokrasi kesenian yang rumit dan berbelit-belit. Mereka dengan spontan berekspresi di depan publik: menyanyi, menari, berpantomim, melukis dan memajang lukisan, dan sebagainya.
Umumnya mereka berekspresi dengan mengharapkan perhatian dan imbalan langsung dari publik. Mereka berharap, orang-orang di sekitar berhenti sejenak untuk menyaksikan aksi mereka, kemudian melemparkan uang receh sekadarnya ke dalam kaleng, topi, atau sapu tangan yang mereka taruh di atas aspal atau trotoar. Istilah populer yang digunakan untuk menyebut aksi mereka adalah “mengamen”. Kecuali mereka yang melukis dan memajang lukisannya untuk dibeli, mereka hanya mengandalkan kecakapan memainkan seni secara spontan (menyanyi, memainkan alat musik, menari, berpantomim, dan sebagainya) untuk menarik perhatian dan mendapatkan imbalan.
Dalam aksi-aksi mereka, kualitas atau bobot seni bukan hal yang penting untuk dipersoalkan. Bukan tidak mungkin kemampuan mereka menyanyi, bermain musik, atau menari sebenarnya tidak kalah dengan para seniman yang biasa tampil di gedung kesenian dengan honor besar, tetapi unsur pokok yang mereka tampilkan tidak lain hanyalah hiburan. Cara berpikir mereka umumnya sederhana saja: beraksi dan mendapatkan uang untuk membiayai hidup, dan tidak mengharapkan kritikus seni atau media massa mengulas atau memberitakan nilai seni mereka. Dan sejauh yang diketahui, publik yang menyaksikannya umumnya cukup terhibur dengan aksi mereka. Hanya dengan uang receh yang tak seberapa, publik kadang bisa menikmati pertunjukan seni yang menarik dan menghibur, yang jika seni serupa dipentaskan seniman mapan di gedung kesenian bisa dipatok dengan harga tiket ratusan atau bahkan jutaan rupiah.
Fenomena seni dan seniman jalanan di Indonesia belum sepopuler di mancanegara, terutama di Eropa. Model seni jalanan di Indonesia umumnya masih didominasi seni musik yang diekspresikan dengan cara mengamen dari rumah ke rumah, dari toko ke toko, atau dari pengunjung ke pengunjung warung makan kaki lima. Hal ini berbeda dengan yang banyak terjadi di Eropa, yang pertunjukannya mencakup jenis seni yang lebih banyak dan beragam dengan gaya pementasan yang relatif lebih menetap dengan mengambil sisi jalan kota atau sudut kota tertentu yang banyak dilewati atau dikunjungi warga.

Lebih dari itu, apresiasi masyarakat terhadap seni jalanan di Indonesia juga belum sebaik di negara-negara maju. Di negara-negara maju (Eropa) masyarakat lebih apresiatif dan lebih toleran terhadap keberadaan seni jalanan. Mereka memberi kebebasan kepada para seniman jalanan untuk bereskpresi di tengah keramaian publik. Di Indonesia walaupun sebagian masyarakat sudah bersikap apresiatif dengan memberi ruang berekspresi yang memadai terhadap pertunjukan seni jalanan, sebagian besar masyarakat umumnya masih menganggap seni jalanan sebagai pengganggu pemandangan dan kenyamanan warga. Hal ini terjadi juga tidak lepas dari cara mempertunjukkan seni jalanan itu sendiri oleh para seniman yang di Indonesia seringkali masih terlihat sangat amatiran serta diwarnai dengan pemaksaan dalam meminta imbalan kepada warga.

No comments:

Post a Comment