Apakah kita akan mampu bersaing? Sebagai
masyarakat dan bangsa yang selama ini dianggap atau dikenal belum memiliki
keunggulan, apakah kita dapat menyodok ke depan untuk menjadi kekuatan yang
disegani di tengah era global yang penuh persaingan? Mungkinkah kita dapat
menyaingi kekuatan atau kemampuan bangsa-bangsa lain yang selama ini dikenal
kuat dan kokoh dalam berbagai bidang, seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman,
dan Inggris?
Jawaban atas semua pertanyaan
tersebut adalah “mungkin”. Bukan hal yang mustahil bahwa kekuatan yang semula
kecil atau lemah dapat menjelma menjadi kekuatan yang besar dan tangguh. Bukan
tidak mungkin bahwa kita, bangsa Indonesia, yang semula berkekuatan kecil,
lemah, atau biasa-biasa saja, berubah menjadi besar, kuat, tangguh, dan unggul
atau setidaknya sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang kuat dan disegani.
Sejarah telah membuktikan bahwa
kekuatan-kekuatan yang unggul, menonjol, dan mendominasi di dunia internasional
tidak selalu dipegang atau dimiliki oleh satu atau beberapa bangsa saja. Superpower
atau adidaya dunia dari waktu ke waktu, tanpa direncanakan atau direkayasa,
senantiasa dipegang oleh berbagai bangsa secara berganti-ganti. Puluhan abad
yang lalu, bangsa Romawi memiliki kemampuan yang besar dan tangguh sehingga
unggul dan mendominasi dalam kehidupan internasional. Bangsa Inggris juga
pernah begitu kuat dan menonjol dalam pergaulan dunia. Setelah Inggris surut,
bangsa Jerman muncul menjadi kekuatan yang tak tertandingi. Akibat kepongahan
dan keserakahannya, setelah berakhirnya Perang Dunia I dan Perang Dunia II,
Jerman mengalami kemerosotan sehingga posisinya sebagai superpower dunia
digantikan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Sepeninggal Uni Soviet yang
bubar akibat kesalahan sistem, Amerika Serikat masih bertahan hingga saat ini
sebagai adidaya. Kini beberapa bangsa, seperti Cina (Tiongkok) dan India,
disebut-sebut mulai menjelma menjadi kekuatan yang diperkirakan akan menyaingi
atau bahkan mengungguli Amerika Serikat.
Di dalam bidang olahraga, kita
juga dapat menyaksikan, dominasi di arena atau gelanggang pertandingan tidak
selamanya dipegang oleh satu atau beberapa atlet atau tim saja. Kasus aktual
terakhir yang sangat mencengangkan dunia terjadi dalam olahraga sepak bola.
Setelah selama 80 tahun hanya dikuasai atau didominasi oleh tujuh negara, Piala
Dunia sepak bola akhirnya dapat direbut oleh sang juara baru yang sebelumnya
kurang diperhitungkan, yakni Spanyol.
Kejuaraan sepak bola Piala Dunia
tahun 2010 di Afrika Selatan membuktikan bahwa kekuatan baru dapat tampil
menjadi juara dengan mengalahkan tim-tim raksasa dan juara masa lalu. Spanyol,
tim yang dalam sejarah penyelenggaraan Piala Dunia tidak pernah tampil
menonjol, tiba-tiba secara meyakinkan menjadi sang juara baru dengan, antara
lain, mengalahkan Portugal, Jerman, dan Belanda. Di kalangan praktisi,
pengamat, penggemar, dan pakar sepak bola internasional selama ini berlaku
semacam mitos bahwa Piala Dunia akan sangat sulit atau hampir mustahil dapat
direbut oleh tim yang sebelumnya tidak pernah menjadi juara atau sekurangnya
pernah tampil di semifinal atau tampil memukau dalam turnamen empat tahunan
itu. Dan memang, seperti sudah menjadi “tradisi”, selama penyelenggaraan Piala
Dunia yang sudah berlangsung lebih dari 80 tahun –– sejak Piala Dunia pertama
tahun 1930 –– gelar juara berpindah-pindah tangan hanya di antara tujuh tim
saja, yakni Uruguay (juara tahun 1930 dan 1950), Italia (1934, 1938, 1982, dan
2006), Jerman (1954, 1974, 1990, dan 2014), Brasil (1958, 1962, 1970, 1994, dan
2002), Argentina (1978 dan 1986), Inggris (1966), dan Prancis (1998), padahal
turnamen ini diikuti 200-an tim/negara di dunia.
Spanyol mampu meruntuhkan mitos
dan tradisi Piala Dunia yang hanya dikuasai oleh tujuh negara. Spanyol menyeruak
di antara tujuh kekuatan utama sepak bola dunia dengan menjadi negara kedelapan
yang mampu menjadi juara. Negara matador ini mampu membuktikan bahwa kekuatan
baru pun dapat muncul mengobrak-abrik peta kekuatan dengan menyingkirkan para superpower
lama sepak bola. Masyarakat internasional tahu, Spanyol kini menjadi superpower baru yang unggul, disegani, dan dihormati
dalam sepak bola dunia.
Fenomena Spanyol menunjukkan
bahwa prestasi dan keunggulan dapat diraih oleh siapa pun, termasuk oleh mereka
yang sebelumnya memiliki kekuatan yang tidak diperhitungkan. Prestasi dan
keunggulan itu tentunya dapat diraih dengan usaha dan kerja keras yang tidak
main-main. Spanyol dapat menggapai hasil itu juga melalui kerja keras yang
panjang. Sebelum menjadi juara dunia, selama puluhan tahun Spanyol bekerja
keras mengembangkan sepak bola gaya baru yang disebut tiki-taka, yakni
sepak bola yang menekankan penguasaan bola sebaik-baiknya dibarengi serangan ke
daerah pertahanan lawan melalui umpan-umpan pendek cepat menyusur tanah.
Fenomena Spanyol dalam sepak bola
dunia hanyalah salah satu dari sekian banyak contoh tentang diraihnya prestasi
dan keunggulan oleh figur atau kekuatan baru –– di antara kekuatan lama ––
sebagai buah dari usaha dan kerja keras. Fenomena ini dapat terjadi atau
berlaku dalam semua bidang kehidupan. Prestasi tinggi dan keunggulan dapat
diraih oleh siapa pun yang mau berusaha serta bekerja keras tanpa mudah
menyerah dan berputus asa.
Kita –– pribadi, masyarakat, dan
bangsa Indonesia –– pun tentunya dapat melakukannya. Selama puluhan tahun kita
pernah dikenal masyarakat internasional sebagai kekuatan yang dominan dalam
bidang tertentu, seperti dalam cabang olahraga bulu tangkis. Dahulu, dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, kita tergolong lemah dan tak memiliki
prestasi yang menonjol. Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini, para pelajar
kita sudah mulai menyodok dunia ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjadi
juara dalam olimpiade matematika dan sains tingkat internasional. Bermodal
pengalaman tersebut serta becermin dari pengalaman Spanyol dan ditambah jumlah
penduduk yang besar, bukan mustahil kita dapat meraih prestasi yang lebih
tinggi dan fenomenal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta mengukir
prestasi baru dalam cabang olahraga lain (seperti tinju, catur, angkat berat,
dan dayung) serta dalam bidang-bidang kehidupan lain yang jumlahnya tidak
sedikit.
Oleh sebab itu, di tengah
globalisasi dan persaingan yang dari waktu ke waktu kian sengit, kita tidak
perlu merasa pesimis dan rendah diri. Perasaan bahwa kita, orang Indonesia,
tidak mungkin menjadi kekuatan yang menonjol dalam banyak bidang kehidupan di
forum internasional melalui prestasi tinggi, harus dibuang jauh-jauh. Perasaan
seperti ini tidak boleh bercokol di dalam kalbu kita. Perasaan tersebut
mencerminkan ketakutan atau kekhawatiran yang tak beralasan (fobia) yang tidak
hanya menurunkan kepercayaan diri, melainkan juga merendahkan harkat dan nilai
diri kita sebagai masyarakat dan bangsa Indonesia.
Perasaan bahwa orang Indonesia
tidak mungkin dapat mengukir prestasi-prestasi puncak di tingkat internasional
akan menyebabkan kita mandek serta malas berusaha dan bekerja keras. Pada
tingkat lanjut, perasaan itu bahkan dapat menyebabkan kita mengalami frustrasi
dan kemunduran (set back). Hal ini tentu saja sangat merugikan diri kita
sendiri sebab dapat mengakibatkan kita terlindas dan terpuruk di tengah
pergaulan dan persaingan internasional.
Pada hakikatnya, di antara sekian
banyak bangsa di dunia, tidak ada bangsa yang dari segi kemampuan kedudukannya
lebih rendah. Tuhan menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa
dengan kemampuan atau potensi yang pada dasarnya sama. Manakala ada sekelompok
masyarakat atau suatu bangsa mengklaim diri lebih mulia atau lebih hebat dibandingkan
bangsa lain, itu hanyalah isapan jempol dan menunjukkan kepicikan belaka. Jika
kenyataannya memang ada sekelompok orang atau bangsa mampu berprestasi gemilang
atau memiliki peran yang menonjol dalam pergaulan internasional, hal itu
pastilah sebagai buah dari usaha dan kerja keras, tidak begitu saja turun dari
langit. Sebagai contoh, Jerman dan Jepang mampu menjadi kekuatan industri dan
ekonomi terkemuka di dunia karena mereka menerapkan disiplin tinggi serta
melakukan usaha dan kerja keras yang tidak kenal lelah biarpun keduanya sempat
mengalami kehancuran dan pengucilan internasional seusai Perang Dunia II tahun
1945.
Dengan demikian, semua bangsa
atau negara di dunia ini sesungguhnya memiliki peluang dan kesempatan yang
relatif sama dalam meraih prestasi, sukses, dan keunggulan. Penlis mencoba mengingatkan
kembali bahwa prestasi, sukses, dan keunggulan bukanlah monopoli sekelompok
orang atau bangsa tertentu saja. Sejarah telah membuktikan bahwa bangsa-bangsa
di dunia mengalami pasang surut kesuksesan dan kegagalan secara berganti-ganti
dan bergiliran. Tidak ada bangsa yang sepanjang hidupnya terus-menerus berada
di puncak prestasi dan mengalami sukses, sebaliknya juga tidak ada bangsa yang
selama hidupnya sama sekali tidak pernah meraih prestasi dan mengalami sukses
–– walaupun prestasi dan sukses itu berkadar kecil dan tingkat menengah.
Setiap bangsa dapat meraih
prestasi dan sukses besar. Kunci untuk mencapai hal itu terletak pada
individu-individu yang menjadi warga bangsa. Bangsa yang para warganya memiliki
prestasi tinggi dengan sendirinya sangat berpeluang menjadi bangsa yang sukses
dan unggul, demikian juga sebaliknya. Hal ini tidak lain karena prestasi para
warga suatu bangsa akan berakumulasi membentuk kesatuan prestasi yang mewakili
bangsa yang bersangkutan. Sama halnya dengan prestasi sekolah dan siswa; jika
sebuah sekolah para siswanya memiliki prestasi tinggi, dengan sendirinya
sekolah tersebut akan memiliki prestasi tinggi di mata masyarakat dan sekolah
lain.
Prestasi dan sukses adalah dua
hal penting yang menentukan nasib individu pribadi dan bangsa di tengah
globalisasi dan persaingan yang ketat. Di tengah era globalisasi dan persaingan
yang dari waktu ke waktu kian sengit, setiap individu dan bangsa –– tak
terkecuali individu dan bangsa Indonesia –– dituntut untuk meraih prestasi dan
sukses agar tidak terpuruk dan tertinggal. Prestasi dan sukses individu tidak
hanya bermakna dan berperan penting bagi sang individu sendiri, melainkan juga
bagi bangsa dan negaranya.
No comments:
Post a Comment