Pada zaman modern seperti sekarang, kendaraan bermotor
diperlukan oleh masyarakat sebagai sarana transportasi yang cepat dan praktis.
Di tengah bertambah cepatnya pergerakan hidup manusia modern dewasa ini,
kendaraan bermotor (terutama mobil dan sepeda motor) menjadi solusi yang jitu
untuk mengatasi tekanan dan keterbatasan waktu. Dengan pertimbangan tersebut,
manusia masa kini cenderung akan berusaha untuk memiliki setidaknya satu kendaraan
bermotor guna mendukung mobilitas kesehariannya. Keluarga-keluarga kaya yang
hanya beranggotakan 4–6 individu bahkan bisa memiliki 5–10 kendaraan bermotor
(mobil dan sepeda motor).
Ditambah dengan pertimbangan prestise dan kebanggaan diri,
seorang dan sekelompok individu bisa memiliki kendaraan bermotor jauh lebih
banyak dari jumlah sebenarnya yang dibutuhkan. Secara matematis dan ekonomis,
satu individu dapat dikatakan cukup memiliki satu kendaraan bermotor. Namun,
sikap konsumtif akibat “intervensi” faktor-faktor di luar kebutuhan,
menyebabkan individu dikuasai hasrat untuk memiliki kendaraan bermotor dalam
jumlah yang berlebihan. Jika terjadi secara luas di masyarakat, hal ini akan
menyebabkan tak terkendalinya pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor serta
memicu terjadinya booming otomotif.
Meningkatnya secara terus-menerus kebutuhan akan kendaraan
bermotor tentu saja menjadii berkah bagi produsen atau perusahaaan kendaraan
bermotor. Dengan senang hati mereka akan memenuhi permintaan pasar dengan memproduksi
sepeda motor dan mobil. Bahkan dalam kondisi normal atau permintaan akan
kendaraan bermotor sedang tidak mengalami kenaikan saja, mereka tetap
memproduksi mobil dan motor dengan berbagai model dan varian untuk memikat
konsumen. Sebagai produsen, mereka tentu tidak memikirkan hal-hal lain kecuali
keuntungan finansial.
Dampak yang akan terjadi akibat membludaknya produksi
kendaraan bermotor tidak hanya kemacetan lalu lintas dan polusi udara,
melainkan juga munculnya ancaman krisis energi. Melonjaknya jumlah kendaraan
bermotor –– yang umumnya berbahan bakar minyak (fosil) –– secara langsung
memicu melonjaknya kebutuhan energi (BBM –– bahan bakar minyak). Kenaikan
jumlah kendaraan bermotor berbanding lurus dengan kenaikan jumlah konsumsi BBM.
Sementara itu, hasrat untuk memiliki kendaraan bermotor justru berbanding
terbalik dengan ketersediaan energi/BBM: jika hasrat untuk memiliki kendaraan
bermotor lazimnya tak terbatas (karena merupakan kebutuhan), persediaan minyak
mentah di perut bumi justru terbatas, sehingga ancaman terjadinya krisis energi
menjadi kian nyata.
Sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan (sekali pakai
habis), cadangan minyak mentah di perut bumi, cepat atau lambat, akan habis.
Konsumsi BBM yang terjadi secara besar-besaran akibat melonjaknya produksi dan
pemakaian kendaraan bermotor akan mempercepat proses kehabisan cadangan minyak
bumi. Hal ini berlaku di semua permukaan bumi, termasuk di Indonesia. Dan untuk
Indonesia, diperkirakan, cadangan minyak bumi yang merupakan sumber utama energi
dalam negeri, akan habis pada tahun 2025 –– berarti ancaman krisis ini akan
terjadi kurang dari sepuluh tahun dari sekarang.
Menurut hasil penelitian yang dipublikasikan di jurnal
Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 2013, konsumsi energi nasional pada tahun
2000 mencapai 778 juta barrel setara minyak, tetapi pada 2011 jumlahnya
melonjak menjadi 1.114 juta barrel setara minyak, sementara dalam periode yang
sama, produksi minyak bumi di Indonesia justru turun 4 persen per tahun. Pusat
Studi Energi Asia Pasifik (APERC) memprediksi, kebutuhan energi sektor
transportasi akan melonjak dari 1.087 juta ton setara minyak pada 2002 menjadi
1.991 juta ton setara minyak pada 2030. Adapun di mata Indonesian Petroleum
Association (IPA), Indonesia saat ini pun sudah mengalami gejala krisis energi.
Pada tahun 2015 Indonesia diperkirakan kekurangan pasokan minyak dan gas
sebesar 2,4–2,5 juta barrel setara
minyak. Jika tak ada penemuan cadangan baru, maka 11–12 tahun lagi Indonesia
bakal kehabisan minyak dan gas.
No comments:
Post a Comment