Penumpukan kekuasaan di
tangan presiden menyebabkan terjadinya berbagai penyimpangan atau penyelewengan
lanjutan terhadap UUD 1945. Penyimpangan paling menonjol yang dilakukan oleh
presiden adalah dikeluarkannya keputusan yang disebut sebagai “penetapan
presiden” (atau penpres). Penpres dikeluarkan presiden tanpa melalui persetujuan
DPR, tetapi dijadikan peraturan yang setara dengan undang-undang (UU).
Penpres jelas sekali
bertentangan dengan UUD 1945. Selain tidak lazim dalam sistem ketatanegaraan di
Indonesia, sebagai keputusan yang diberi kedudukan setingkat dengan
undang-undang, penpres justru dibuat dan dikeluarkan presiden secara sepihak
tanpa persetujuan DPR. Menurut ketentuan UUD 1945, undang-undang dibuat dan
ditetapkan melalui persetujuan bersama antara presiden dan DPR. Sementara itu,
penpres itu sendiri pun banyak yang di antaranya dikeluarkan untuk mengatur
hal-hal yang berada di luar kewenangan presiden. Misalnya saja, dikeluarkan
untuk membentuk MPRS (Penpres No. 2/1959), membentuk DPAS (Penpres No. 3/1959),
membubarkan partai politik (Penpres No. 7/1959), dan membubarkan DPR (Penpres
No. 3/1960).
Di sisi lain, akibat
terlalu besarnya kekuasaan dan otoriternya presiden, lembaga-lembaga tinggi
negara –– terutama MPRS, DPR, dan DPAS –– mengalami krisis fungsi dan kedudukan.
Pembentukan ketiga lembaga negara tersebut dilakukan dengan penpres, sementara
keanggotaannya ditunjuk atau dipilih oleh presiden sehingga ketiganya praktis
berada di bawah kekuasaan presiden. Keputusan-keputusan ketiga lembaga tersebut
juga lebih banyak dikeluarkan untuk mendukung kepentingan presiden serta
memperkuat kedudukan presiden, bukan untuk memperjuangkan aspirasi dan
kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara. Sebagai contoh, salah
satu ketetapan MPRS (Tap No. III/MPRS/1963) dikeluarkan untuk mengangkat
Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
Penyimpangan-penyimpangan
tersebut menunjukkan dengan gamblang bahwa demokrasi sebagai sistem
ketatanegaraan sama sekali tidak berjalan serta pengelolaan pemerintahan
berlangsung secara inkonstitusional. Akibatnya, kehidupan berbangsa dan
bernegara mengalami kekacauan. Krisis politik, hukum, ekonomi, dan sosial pun
kemudian tidak dapat dihindarkan. Dan akibat desakan rakyat yang dipelopori oleh
mahasiswa dan pelajar, pada paruh kedua dasawarsa 1960-an, pemerintahan
Presiden Soekarno –– yang populer dengan sebutan pemerintahan Orde Lama ––
akhirnya runtuh. Sebagai gantinya, pemerintahan baru di bawah kepemimpinan
Presiden Soeharto tampil memegang tampuk kekuasaan.
Pemerintahan Presiden
Soeharto meneruskan kendali kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tekad
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 dengan murni dan konsekuen. Sebagai bagian
yang tak terpisahkan dari konstitusi, demokrasi pun hendak kembali
ditumbuhkembangkan sejalan dengan nilai-nilai dasar negara, Pancasila. Sebagai
bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat, demokrasi hendak dijalankan dengan
berlandaskan pada nilai-nilai yang terkandung dalam sila Pancasila. Maka, demokrasi
yang kemudian hendak dilaksanakan itu mendapat sebutan “demokrasi Pancasila”.
Melalui Tap MPRS No.
XXXVII/1968 dan diperkuat dengan Tap MPR No. I/1978, demokrasi Pancasila
dijadikan sistem ketatanegaraan untuk menjalankan roda pemerintahan.
Pemerintahan Presiden Soeharto –– yang mengklaim diri sebagai pemerintahan Orde
Baru –– bertekad melaksanakan demokrasi Pancasila sebagai koreksi atas sistem
demokrasi (terpimpin) yang dijalankan oleh pemerintahan Orde Lama. Demokrasi
Pancasila dianggap lebih sesuai dengan dasar negara dan konstitusi sehingga
lebih menjamin pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Pelaksanaan demokrasi
Pancasila dilandasi oleh asas gotong royong dan kekeluargaan serta pengamalan
sila-sila dalam Pancasila. Menurut sistem ini, pengambilan keputusan dilakukan
semaksimal mungkin melalui musyawarah dalam upaya mencapai mufakat. Jika dengan
cara ini keputusan tidak dapat diambil, dapat dilakukan pemungutan suara (voting)
dengan keputusan akhir didasarkan pada suara terbanyak. Adapun keputusan yang
diambil harus dapat dipertanggungjawabkan serta tidak bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945.
Demokrasi Pancasila menempatkan kepentingan
bangsa dan negara serta hak warga negara pada kedudukan yang tinggi.
Berdasarkan demokrasi Pancasila, kepentingan umum lebih diutamakan daripada
kepentingan individu dan golongan. Pelaksanaan demokrasi Pancasila merupakan
bentuk pengakuan terhadap hak asasi manusia sekaligus hak demokrasi warga
negara (rakyat). Lebih khusus dan terperinci, demokrasi Pancasila memilili
ciri-ciri sebagai berikut.
- Sistem demokrasi Pancasila tidak jauh berbeda dengan sistem demokrasi pada umumnya dalam menempatkan rakyat. Demokrasi Pancasila tetap memposisikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara. Aspirasi dan kepentingan rakyat menjadi dasar bagi pelaksanaan pemerintahan negara.
- Demokrasi Pancasila menggunakan sistem perwakilan. Kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui wakil-wakil rakyat yang duduk dalam lembaga perwakilan (MPR, DPR, dan DPD). Melalui para wakilnya di lembaga perwakilan, rakyat juga ikut serta dan mengawasi jalannya pemerintahan.
- Dalam pengambilan keputusan, demokrasi Pancasila lebih mengutamakan musyawarah, sedangkan voting dijadikan jalan terakhir. Inilah ciri yang paling membedakan demokrasi Pancasila dengan sistem demokrasi pada umumnya. Musyawarah yang dilakukan dengan tenang, santun, argumentatif, dan dilandasi iktikad baik akan menghasilkan keputusan konkret dalam berbagai bentuk, seperti undang-undang, konsensus politik, dan umpan balik yang efektif. Keputusan seperti ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam penyempurnaan pelaksanaan undang-undang dan kebijakan lain serta bagi pemeliharaan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih sehat, dinamis, dan bermartabat.
Bagaimanakah pula kaitan demokrasi Pancasila
dengan nilai-nilai Pancasila? Substansi
atau inti demokrasi Pancasila diinspirasi oleh nilai-nilai Pancasila yang
bersifat satu kesatuan yang tak terpisahkan. Itulah sebabnya, demokrasi
Pancasila dilandasi prinsip-prinsip demokrasi yang berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berikut ini dijelaskan
kaitan antara demokrasi Pancasila dengan sila-sila yang terdapat dalam
Pancasila.
1. Demokrasi
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Sistem demokrasi Pancasila tidaklah bersifat
ateistis (anti-Tuhan). Demokrasi Pancasila menganut mekanisme dimensi ganda
pada manusia, yakni homo individualis dan homo religius. Dimensi
religius mengandung pengertian bahwa pelaksana demokrasi harus mampu
mempertanggungjawabkan seluruh sikap dan perbuatannya kapada Tuhan. Dalam
demokrasi Pancasila, sikap dan perilaku saling menghargai di antara umat
beragama hendak diwujudkan.
2. Demokrasi
Berdasarkan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Demokrasi Pancasila mengarahkan semua individu
untuk memperlakukan sesama sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai
manusia. Pemaksaan, penindasan, dan segala bentuk pelanggaran hak asasi yang
lain hendak dihindarkan. Hal ini sejalan dengan prinsip dasar demokrasi umumnya
yang memberi jaminan terhadap perlindungan dan penegakan hak asasi manusia.
3. Demokrasi
Berdasarkan Persatuan Indonesia
Demokrasi Pancasila mengarahkan semua warga
negara untuk menjaga dan memperkuat persatuan di sisi satu serta menghindari
pertentangan dan perpecahan di sisi lain. Pertentangan dan perpecahan dapat
menyebabkan terjadinya penindasan. Dalam demokrasi Pancasila, desentralisasi
diterapkan dengan prinsip dan bingkai kesatuan dan persatuan. Daerah-daerah
tidak dibenarkan saling bertentangan, melainkan harus bersatu untuk
mengusahakan tercapainya tujuan hidup bernegara.
4. Demokrasi
Berdasarkan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
Demokrasi Pancasila
memiliki landasan utama kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan. Demokrasi Pancasila merupakan wujud
kedaulatan rakyat, sedangkan pelaksanaan kedaulatan tersebut dilakukan melalui
sistem perwakilan. Adapun melalui lembaga perwakilan selalu diutamakan adanya
musyawarah (daripada voting) dalam setiap pengambilan keputusan.
5. Demokrasi
Berdasarkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Pelaksanaan demokrasi
Pancasila selalu diupayakan dengan memperhatikan kesejahteraan rakyat
Indonesia. Sistem demokrasi Pancasila tidak hanya dilaksanakan melalui kampanye
dan pemilihan umum. Pelaksanaan demokrasi Pancasila berorientasi pada dua fungsi,
yakni menyejahterakan kehidupan politik dan kehidupan ekonomi.
No comments:
Post a Comment