Tuesday, 27 December 2016

Kebesaran Jiwa Para Tokoh Bangsa dalam Merumuskan Piagam Jakarta

Piagam Jakarta merupakan nama dokumen bersejarah yang sangat penting bagi bangsa dan negara Indonesia. Piagam Jakarta atau Jakarta Charter dirumuskan oleh sembilan tokoh bangsa Indonesia yang tergabung dalam Panitia Sembilan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Kesembilan tokoh tersebut adalah Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasyim, dan Muhammad Yamin.
BPUPKI, yang dibentuk sebagai realisasi janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia, menugaskan kepada Panitia Sembilan untuk membuat rumusan dasar negara yang akan dijadikan fundamen bagi negara Indonesia (yang direncanakan akan terbentuk) setelah merdeka. Melalui rapat pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan sukses menghasilkan sebuah rumusan berisi gagasan dan butir-butir dasar negara. Rumusan tersebut kemudian diberi nama Piagam Jakarta atau Jakarta Charter.
Piagam Jakarta dirumuskan saat BPUPKI menjalankan tugasnya, tetapi pengumumannya kepada publik justru dilakukan saat BPUPKI sudah dibubarkan dan diganti lembaga baru bernama PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Dan begitu diumumkan, Piagam Jakarta langsung memicu kontroversi besar. Kalangan tokoh dan masyarakat Indonesia yang nonmuslim menyatakan keberatan atas salah satu butir rumusan dalam piagam tersebut. Mereka menganggap butir rumusan tersebut bersifat diskriminatif serta tidak mewadahi kepentingan masyarakat Indonesia yang tidak beragama Islam. Butir rumusan yang menimbulkan kontroversi tersebut berbunyi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Rumusan tersebut memicu timbulnya kritik dari kalangan tokoh-tokoh penganut agama non-Islam,  terutama Protestan dan Katolik. Menurut mereka, rumusan tersebut kurang mencerminkan kemajemukan agama rakyat Indonesia. Sempat muncul juga ancaman jika rumusan itu tidak diubah dengan lebih memperhatikan kepentingan kalangan nonmuslim, sebagian golongan nonmuslim akan memisahkan diri dari negara Indonesia.
Empat orang anggota PPKI yang merupakan tokoh kalangan Islam, yakni Bagoes Hadikoesoemo, Wachid Hasyim, Mohammad Hassan, dan Kasman Singodimedjo, kemudian diperintahkan untuk membahas rumusan yang kontroversial tadi. Keempatnya kemudian melakukan diskusi terpisah dengan dipimpin oleh Hatta. Hanya dalam waktu kurang dari 20 menit mereka akhirnya sepakat untuk mengubah rumusan yang bermasalah itu. Mereka setuju untuk menghapus kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Kendatipun telah terjadi kehebohan besar, para tokoh bangsa kita tetap bersikap tenang. Dengan kepala dingin mereka meninjau dan membahas ulang butir rumusan yang kontroversial tersebut. Dengan lapang dada dan kebesaran jiwa, tanpa debat dan kegaduhan berkepanjangan, mereka akhirnya sepakat untuk mengubah rumusan tersebut menjadi lebih simpel, lebih pendek, lebih umum, lebih netral, dan lebih mencerminkan keindonesiaan yang majemuk dari segi agama.

Rumusan tersebut kini kita kenal sebagai sila pertama Pancasila. Pancasila tidak lain adalah dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia . Sila-sila Pancasila yang sah atau resmi sebagai dasar negara tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 (alinea keempat). Dari mana dan siapakah perumus Pembukaan UUD 1945 itu? Nah, Pembukaan UUD 1945 rumusan lengkapnya diambilkan langsung dari Piagam Jakarta  yang dirumuskan Panitia Sembilan. Dengan kata lain, dengan hanya mengubah butir rumusan yang kontroversial tadi, Piagam Jakarta diadopsi menjadi Pembukaan UUD 1945.

No comments:

Post a Comment