Saturday, 31 December 2016

Sepak Bola Terancam Kehilangan Daya Tariknya

Lebih dari sekadar olahraga, sepak bola dapat dikatakan sebagai entertainment yang memberi hiburan bagi miliaran penduduk Bumi. Sepak bola tidak hanya menyehatkan secara fisik sebagai salah satu cabang olahraga, melainkan juga menyehatkan secara psikologis sebagai hiburan. Bahkan, dalam beberapa kasus konflik, sepak bola turut berjasa mendamaikan (walaupun bersifat sementara) pihak-pihak yang terlibat pertikaian dan peperangan. Beberapa turnamen Piala Dunia terakhir berhasil membuat kelompok-kelompok yang terlibat perang saudara di beberapa negara menghentikan aktivitas pertempurannya: demi menyaksikan Piala Dunia (World Cup) yang hanya digelar empat tahun sekali itu mereka membuat kesepakatan genjatan senjata.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini sepak bola menunjukkan gejala penurunan kualitas sebagai permainan olahraga. Di tengah naiknya omzet penjualan tiket pertandingan, meningkatnya pendapatan klub-klub profesional, dan gencarnya tayangan langsung pertandingan liga-liga Eropa di televisi, permainan yang ditampilkan di atas lapangan secara umum justru terlihat kurang menarik. Di antara bergulirnya kompetisi yang bertaburkan bintang-bintang berbakat besar dan impresif (Messi, Ronaldo, Neymar, Bale, Greizman, Silva, Ibrahimovic, Hazard, Lukaku, Robben, Ribery,dan sebagainya), justru pertandingan-pertandingan itu sendiri secara keseluruhan dan kolektif mengalami penurunan daya tarik.
Secara individual, mungkin saja kita sesekali dapat menyaksikan aksi-aksi memukau dari Messi, Ronaldo, Neymar, Ibrahimovic, Hazard, atau Robben, tetapi secara tim, setidaknya dalam lima tahun terakhir ini, kita lebih banyak disuguhi permainan yang menjemukan dan tidak enak ditonton. Saat ini kita sudah sangat jarang melihat permainan sepak bola ofensif yang atraktif dan menghibur secara tim. Meski menjuarai Piala Eropa 2016, Ronaldo bersama Portugal tidak menunjukkan permainan yang memukau sebagai layaknya sang juara, demikian juga ketika ia bersama Real Madrid menjuarai Liga Champion 2016. Terlihat jelas, faktor keberuntunganlah yang lebih dominan membuat dia bersama timnya menjadi juara.
Messi bersama Argentina sampai sejauh ini juga tidak atau belum memperlihatkan permainan menarik yang produktif, demikian juga dengan Neymar bersama Brasil.  Messi dan Neymar bersama Barcelona pada awalnya justru mampu menunjukkan permainan yang lebih menarik dan produktif, tetapi makin lama justru makin kering, membosankan, dan improduktif. Barcelona yang sebelumnya perkasa dan memperlhatkan diri sebagai klub yang paling atraktif dan menarik di dunia, bahkan gagal mengatasi Atletico Madrid sebelum mampu menyentuh Real Madrid (yang akhirnya menjadi juara) di Liga Champion 2016.
Real Madrid terakhir mampu melewati dan meninggalkan Barcelona di Liga Champion 2016, tetapi secara tim mereka sebenarnya masih berada di bawah Barcelona. Setiap kali keduanya bertemu dalam lima tahun terakhir, baik di liga domestik (La Liga) maupun di Liga Champion, baik di Santiago Bernabeu (kandang Madrid) maupun di Nou Camp (kandang Barcelona), statistik permainan hampir selalu menempatkan Barcelona pada keunggulan ball position (penguasaan bola/permainan) yang mutlak, di samping keunggulan head to head secara agregat dan skor. Real Madrid sesekali memanangkan pertandingan, tetapi kemenangannya tidak pernah ditentukan melalui permainan yang memukau; kemenanganya lebih ditentukan strategi dan keberuntungan.
Sementara itu, Jerman yang menjuarai Piala Dunia 2014, dari segi permainan tim juga tidaklah mengesankan. Kemenangan besar mereka atas tuan rumah, Brasil (7-1), dominan ditentukan oleh kebodohan dan kekonyolan Brasil sendiri, yang bermain penuh kecerobohan dan kepanikan. Kemenangan Jerman atas Argentina di final juga jauh dari permainan istiimewa. Jerman dalam sepuluh tahun terakhir belum mampu menyamai level permainan seperti yang diperlihatkan bintang-bintang masa lalu mereka pada era 1970-an dan 1980-an.
Brasil dan Argentina, sesuai dengan tradisi bagus mereka pada masa lalu, diharapkan penggemar sepak bola sedunia dapat memperlihatkan permainan yang impresif. Namun, ternyata sama saja. Brasil pada era Neymar sekarang secara prestasi dan level permainan masih jauh di bawah capaian Brasil pada era Ronaldo (era akhir 1990-an hingga awal 2000-an) dan Romario (era awal 1990-an), apalagi dibandingkan dengan era Zico-Socrates-Falcao (1980-an) dan Pele-Garincha-Jairzinho (1960-an dan 1970-an). Brasil era Pele, Garincha, dan Jairzinho memperlihatkan diri sebagai tim yang tak tertandingi oleh tim mana pun di dunia dan terhebat sepanjang sejarah sepak bola dunia hingga saat ini, dengan puncaknya menjadi juara Piala Dunia 1970 melalui permaianan berakselerasi dan berteknik tinggi yang atraktif, indah, dan produktif yang menjadikan Piala Dunia 1970 disebut-sebut sebagai Piala Dunia terbaik sepajang masa. Brasil era Zico, Socrates, dan Falcao memang tidak pernah menjuarai Piala Dunia, tetapi permaianan teknik tinggi dan indah mereka sungguh menakjubkan dan menghibur penggemar sepak bola di seluruh dunia. Piala Dunia 1982 dan 1986 menjadi hidup, semarak, dan memikat berkat beautiful football yang mereka peragakan.
Dengan permainan individualnya yang brilian, Diego Maradona membawa permainan Argentina menjadi tangguh dan produktif dalam Piala Dunia 1986. Secara tim Argentina tampil normal saja, tetapi berkat teknik tinggi dan kejeniusan permainan Maradona, Argentina menjelma menjadi tim berdeterminasi tinggi yang sulit dibendung. Bersama Valdano dan Burruchaga, Maradona akhirnya membawa Argentina menjuarai Piala Dunia 1986 serta menjadikan Argentina sebagai tim yang paling tangguh selama turnamen. Namun, seiring menyurutnya Maradona, Argentina hampir tidak pernah lagi tampil mengesankan dan produktif. Sesekali saja mereka bermain bagus pada era yang berbeda melalui sentuhan Redondo dan Messi, tetapi tetap saja belum mampu menyamai kehebatan era Maradona.
Uruguay sempat menjadi juara Piala Dunia 1930 dan 1950, tetapi akibat terbatasnya dokumentasi, gaya dan level permainan mereka tidak dapat diidentifikasi dan dideskripsikan dengan akurat. Setelah era dua Piala Dunia itu, Uruguay hampir tidak pernah dikenal sebagai tim Amerika Latin yang bermain bagus dan berprestasi menonjol, selain permainan defensif dan keras menjurus kasar yang mereka peragakan pada dekade 1980-an. Mereka sempat bermain ofensif dan cukup bagus dalam Piala Dunia 2014, walaupun itu belum cukup untuk menjadikannya sebagai juara. Mimpi mereka untuk mengulang sukses tahun 1930 dan 1950 rasanya sangatlah sulit terwujud karena permainan mereka saat ini terlalu biasa dan defensif.
Dari daratan Eropa, gaya total football yang menakjubkan dari Belanda era Cruyff-Neeskens (1970-an) dan era Gullit-Basten-Rijkaard (akhir 1980-an) belum mampu disamai oleh para juniornya. Belanda yang pernah begitu ditakuti sekaligus dikagumi, sekarang ini agak terpuruk dan cenderung menjadi tim mediocre yang pragmatis. Demikian juga dengan Jerman era Beckenbauer-Mueller (1970-an) masih belum dapat disamai oleh para junior mereka. Jerman era Rummeniegge-Schummacer (1980-an) dan Matthaeus-Klinsman (1990-an) masih menunjukkan permainan yang cukup menarik dan produktif, tetapi setelah itu para junior mereka perlahan-lahan mengalami penurunan hingga kembali mengalami sedikit kenaikan saat mereka menjuarai Piala Dunia 2014.
Italia empat kali menjadi juara Piala Dunia (1934, 1938, 1982, dan 2006), tetapi dua gelar yang terakhir justru diraih dengan permainan defensif yang tidak menarik. Permanan mereka hampir selalu defensif. Mereka mewakili gaya bertahan cattenaccio  yang cenderung negatif dan lebih mementingkan hasil darpada permainan menarik yang enak ditonton. Inggris, setelah menjuarai Piala Dunia 1966, sempat menunjukkan permainan ofensif dengan teknik tinggi pada Piala Eropa 1996, tetapi setelah itu berangsur-angsur surut dan hanya menampilkan permainan dengan kualitas rata-rata.
Prancis muncul sebagai perkecualian dari daratan Eropa. Pada periode-periode tertentu mereka tampil dengan sepak bola indah hingga mendapat julukan Brasilnya Eropa. Dengan trio Platini-Tigana-Giresse, Prancis memperagakan sepak bola menyerang yang indah pada dekade 1980-an hingga menjadi juara Piala Eropa 1984. Mereka masih cukup menawan dalam Piala Dunia 1986. Namun, saat mereka menjuarai Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000, penampilan mereka sebenarnya justru tidak seindah dan semenarik era Platini-Tigana-Giresse. Satu-satunya yang membuat penggemar sepak bola terhibur adalah permainan bintang mereka, Zinedine Zidane. Ia mirip Maradona bagi Argrentina: permainan individualnya yang luar biasa mampu mengangkat permainan tim secara keseluruhan. Namun, Zidane kini telah pensiun dan Prancis tidak lagi memiliki penggantinya yang sepadan.
Denmark mengikuti jejak Prancis sebagai kekuatan Eropa yang mengusung sepak bola indah ala Brasil; mereka juga mendapat julukan Brasilnya Eropa. Dengan trio Olsen-Laudrup-Elkjaer, mereka tampil mengagumkan pada Piala Eropa 1984 dan Piala Dunia 1986 dengan permainan ofensif berteknik dan berdeterminasi tinggi. Mereka gagal menjadi juara akibat tidak memiliki mental bertanding yang kuat dan stabil. Mereka kemudian mampu menjadi juara Piala Eropa 1992, tetapi permainan mereka tidak lagi semenawan era 1980-an.
Hungaria tampil menggemparkan dengan permainan superior pada Piala Dunia 1954. Lawan-lawannya mereka libas dengan skor telak (rata-rata dengan selisih tiga-empat gol). Mereka tidak menjadi juara hanya karena sial, tetapi berkat permaianannya yang menakjubkan, mereka mendapat julukan “The Wonder Team”. Dan seperti kekalahan mereka yang aneh saat melawan Jerman di final, sejak berakhirnya turnamen tahun 1954 itu hingga saat ini mereka tak pernah lagi mampu melahirkan tim yang bagus dan berprestasi.
Di tengah kering dan sepinya permainan apik pada awal 2000-an, Spanyol muncul menjadi kekuatan yang menjanjikan. Melalui Xavi-Iniesta-Alonso-Basquet, mereka bermain sangat ofensif dan dominan dengan gaya tiki-taka yang rapi, cepat, dan memikat. Dengan sangat meyakinkan dan mengagumkan mereka sukses menjuarai Piala Eropa 2008, Piala Dunia 2010, dan Piala Eropa 2012. Namun, memasuki dasawarsa kedua awal 2000-an mereka mulai kekurangan generasi penerus yang sepadan. Seiring dengan mulai menuanya Xavi, Alonso, dan Iniesta, penampilan mereka juga mulai menurun. Mereka tampil buruk dalam Piala Dunia 2014 dan Piala Eropa 2016 sehingga gagal mempertahankan mahkota juara.
Kini, sepeninggal Spanyol, belum terlihat lagi kekuatan baru maupun lama yang mampu tampil dengan teknik dan gaya yang menawan. Kekuatan-kekuatan tradisonal lama seperti Brasil, Argentina, dan Uruguay dari Amerika Latin serta Jerman, Italia, Prancis, Inggris, Belanda, dan Denmark dari Eropa belum mampu tampil kembali dengan level dan daya tarik yang menyamai atau lebih tinggi dari penampilan masa lalu mereka. Tim-tim seperti Portugal, Ceko, Kroasia, Belgia, dan Turki dari Eropa serta Cile, Kolombia, dan Meksiko dari Amerika Latin hanya sesekali mengejutkan, tetapi belum mampu menembus level permainan tingkat tinggi yang layak disebut “menakjubkan”.
Di tingkat klub, hanya Barcelona yang paling konsisten dengan permainan menarik, tetapi akhir-akhir ini mereka juga sering kedodoran dan tampil buruk. Real Madrid, Atletico Madrid, Bayern Munchen, Juventus, Manchester City, Chelsea, Arsenal, dan Liverpool, walaupun sering mendominasi, umumnya tampil pragmatis saja. Mereka lebih mengejar keunggulan ball position dan skor ketimbang permainan menyerang berteknik dan berakselerasi tinggi yang memikat.
Kapankah masa-masa kering dan senyap ini akan berakhir? Para penggemar sepak bola yang tak pernah menyaksikan (atau membaca lewat referensi) permainan sepak bola masa lalu (terutama era 1970-an dan 1980-an) barangkali tidak akan pernah merindukan datangnya permainan sepak bola yang ofensif dan cantik karena apa yang mereka saksikan saat ini, menurut hemat mereka, sudah cukup menarik. Hal ini karena mereka tidak memiliki pembanding. Namun, mereka yang pernah menyaksikan Brasil dengan Pele, Garrincha, dan Zico-nya, Argentina dengan Maradona-nya, Jerman dengan Beckenbauer dan Muller-nya, Belanda dengan Cruyff dan Gullit-nya, Inggris dengan Bobby Moore-nya, atau Prancis dengan Platini dan Zidane-nya, kemungkinan besar akan merindukan lahirnya kembali tim dan bintang dengan permainan yang berbeda dan lebih baik dari yang saat ini ada.
Jika kemudian dikatakan bahwa sepak bola masa kini terancam kehilangan daya tariknya, barangkali tidaklah berlebihan. Di liga-liga domestik banyak negara (termasuk di Eropa dan Amerika Latin) hingga dalam turnamen-turnamen besar resmi semacam Piala Dunia dan Piala Eropa, permainan yang ditampilkan oleh tim peserta umumnya miskin kreativitas. Filosofi “pertahanan terbaik adalah menyerang” sehingga melahirkan sepak bola ofensif yang penuh daya pikat sudah ditinggalkan oleh sebagian besar peserta kompetisi liga dan turnamen-turnamen besar.
Namun, ada benarnya juga, bahwa seperti halnya musim yang kadang tidak menentu, permainan sepak bola  pun mengenal dan mengalami pasang surut. Ada masanya musim kompetisi dan turnamen penuh dengan permainan bertahan yang membosankan dan menjengkelkan, ada masanya juga kompetisi dan turnamen dipenuhi permainan menyerang dan cantik yang memukau, serta ada pula masa-masa kompetisi dan turnamen yang diwarnai permainan defensif yang buruk sekaligus permaianan ofensif yang indah dan produktif. Oleh sebab itu, kita boleh optimis bahwa suatu saat nanti akan lahir kembali pemain-pemain bertalenta besar yang akan membawa sepak bola pada permainan menyerang yang atraktif dan enak ditonton.


Kendatipun diangkat dari realitas di lapangan hijau, kita berharap bahwa pesimisme sepak bola terancam kehilangan daya tariknya mudah-mudahan tidak menjadi kenyataan. Jika hal itu menjadi kenyataan, kita akan kehilangan salah satu sisi penting dari kehidupan kita karena sepak bola selain sebagai olahraga yang menyehatkan, juga hiburan jiwa yang dapat mendatangkan kebahagiaan. Kita berharap, apa yang kita saksikan saat ini di lapangan hanya sebuah musim yang bersifat sementara, dan jika musim baru lain tiba, sepak bola dengan gaya lain yang lebih menarik akan hadir juga di sana. 

Urgensi Hak Asasi Manusia


       Anda tentu paham bahwa hak asasi manusia merupakan persoalan yang sangat penting. Keberadaan hak asasi turut menentukan keberadaan dan keberlangsungan manusia itu sendiri. Penanganan terhadap masalah hak asasi akan menentukan tegak atau tidaknya nilai-nilai kemanusiaan. Diakui, dilindungi, dan dipenuhinya hak asasi akan menjadikan kehidupan manusia memenuhi kelayakan dari segi harkat dan martabatnya, demikian juga sebaliknya.
       Dapat kita bayangkan, bagaimana nasib dan keadaannya jika masyarakat dikekang atau dibatasi oleh aparat penguasa untuk melakukan kegiatan-kegiatan hidup, seperti mencari penghasilan, memilih tempat tinggal, menentukan kelompok pergaulan, mendirikan organisasi, menyampaikan aspirasi, dan memilih pemimpin. Tuhan memberikan hak kepada manusia untuk melakukan semua hal yang diperlukan –– selain hal-hal terlarang, seperti mencuri dan membunuh –– dalam rangka menjalankan dan mempertahankan hidup. Jika hak itu dilarang dan dikekang oleh sesama manusia, selain akan bertentangan dengan ketentuan Tuhan, jelas akan menyebabkan kehidupan manusia menjadi tidak sesuai dengan standar kelayakan kemanusiaannya.
       Dengan demikian, dalam keseluruhan hidup manusia, hak asasi adalah aspek yang urgen atau penting untuk diperhatikan. Urgensi atau pentingnya hak asasi sama pentingnya dengan hidup manusia itu sendiri. Tanpa hak asasi, manusia dapat dikatakan tidak akan dapat hidup, atau mungkin saja dapat hidup, tetapi kehidupannya tidak sesuai dengan nilai, harkat, dan martabatnya sebagai manusia.
       Namun, pada kenyataannya hak asasi tidak selalu mendapat pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan yang semestinya. Sejak dahulu hingga sekarang, hak asasi masih sering mengalami pelanggaran. Kehidupan di dunia tidak pernah sama sekali sepi atau bebas dari pelanggaran hak asasi manusia.
       Oleh sebab itu, dari waktu ke waktu hak asasi seringkali menjadi isu yang hangat untuk dibicarakan. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir ini, saat kasus pelanggaran hak asasi manusia sudah jauh berkurang jumlahnya –– dibandingkan beberapa puluh tahun atau abad lalu –– hak asasi tetap menjadi isu yang sensitif. Saat ini, selain demokrasi, hak asasi menjadi isu yang sensitif di Indonesia dan dunia internasional.
       Hal itu, misalnya, ditandai oleh realitas bahwa negara yang pemerintahannya melakukan pelanggaran terhadap hak asasi rakyatnya cenderung akan mendapatkan sanksi dan pengucilan dari negara-negara lain  dan organisasi-organisasi internasional. Kerja sama dan pemberian bantuan internasional juga hampir selalu dikaitkan dengan catatan masalah hak asasi. Adapun di Indonesia pada saat ini, setiap pengekangan atau pelanggaran hak asasi manusia –– terutama oleh pemerintah –– akan mendapat sorotan dan protes yang sangat gencar dari masyarakat.
       Pentingnya masalah hak asasi manusia juga memicu tumbuhnya kesadaran untuk menciptakan perangkat-perangkat hukum untuk melindungi dan menegakkan hak asasi manusia. Di dunia internasional, misalnya, sejak tahun 1948 telah ditetapkan oleh PBB sebuah perangkat yang disebut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Di Indonesia pada tahun 1999 disahkan UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia untuk memperkuat ketentuan mengenai hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945. UUD 1945 sendiri mengalami amendeman (tahun 1999–2002) yang cukup banyak dalam pasal-pasal yang mengatur hak asasi warga negara.
       Penetapan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh PBB kiranya tidak lepas dari banyaknya pelanggaran hak asasi yang terjadi di berbagai negara, terutama di negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika melalui kolonialisme oleh negara-negara Barat. Hebatnya pelanggaran hak asasi melalui kolonialisme membuat masyarakat internasional tercengang dan marah. Hal ini kemudian mendorong masyarakat dunia (melalui PBB) untuk mengeluarkan pernyataan tentang hak asasi manusia universal.
       Adapun disahkannya UU No. 39/1999 serta amendeman UUD 1945 dalam pasal-pasal Hak Asasi Manusia juga dipicu oleh banyaknya pelanggaran hak asasi manusia. Pada masa Orde Baru, banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukann pemerintah membuat masyarakat hidup tertindas sekaligus geram dan menggugat. Maka, begitu rakyat dapat menumbangkan Orde Baru (tahun 1998) melalui gerakan reformasi, masyarakat pun menuntut dengan keras agar segera dibuat undang-undang baru yang mengatur masalah hak asasi manusia.

Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia


       Dari segi waktu kemunculannya, keberadaan hak asasi manusia sama dengan keberadaan manusia. Artinya, awal kemunculan hak asasi manusia pada hakikatnya sama dengan awal kemunculan manusia di dunia. Begitu manusia pertama muncul di muka bumi, maka hak asasi dengan sendirinya juga muncul menyertai. Hal ini, sekali lagi, karena hak asasi merupakan pemberian Tuhan yang melekat pada manusia sejak pertama ia menghirup kehidupan ––  bahkan sejak ia diberi roh oleh Tuhan waktu masih berada di dalam kandungan.
  
     Namun, pada masa-masa awal sejarah kehidupan manusia di dunia, hak asasi tidak langsung mendapat pengakuan resmi. Dalam hubungan antarmanusia, saling menghormati, tolong-menolong, toleransi, solidaritas, dan sikap positif lain sebenarnya sudah tumbuh sejak dahulu. Namun, saat itu belum ada pengakuan resmi, baik secara lisan maupun tertulis, yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak asasi yang harus dihormati.

       Para pakar umumnya berpendapat, pengakuan secara resmi terhadap hak asasi manusia baru muncul pada abad ke-13; ditandai dengan dibuatnya sebuah dokumen yang bernama Magna Charta.  Tepatnya pada tahun 1215, Magna Charta  muncul di Inggris untuk mengatur hubungan raja, bangsawan, dan rakyat. Di dalam dokumen ini, antara lain, dicantumkan hak-hak rakyat dan wewenang kaum penguasa. Kekuasaan raja yang semula absolut (mutlak), menjadi dibatasi; sebaliknya, di sisi lain hak-hak rakyat dilindungi.

       Kelahiran Magna Charta  dianggap sebagai tonggak awal tumbuhnya perkembangan hak asasi manusia di dunia, terutama dari segi pengakuan hak asasi manusia secara resmi oleh pemerintah dan negara. Kehadiran Magna Charta kemudian mendorong tumbuhnya perkembangan hak asasi manusia secara lebih pesat dan lebih baik di negara-negara dan kawasan-kawasan lain. Berikut ini beberapa perkembangan gagasan penting tentang hak asasi manusia di beberapa kawasan setelah kemunculan Magna Charta.
  • Masih di Inggris juga, pada tahun 1689 muncul Bill of Rights. Pada masa ini mulai timbul pandangan yang intinya menyatakan bahwa kedudukan manusia di depan hukum sama (equality before the law). Bill of Rights  menyatakan bahwa asas persamaan harus  diwujudkan karena  hak kebebasan baru dapat diwujudkan jika di antara manusia ada hak persamaan.
  • Di Prancis, pada tahun 1769 muncul The French Declaration. Di dalam dokumen ini disebutkan tentang larangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang, termasuk penangkapan tanpa disertai alasan yang sah dan penahanan tanpa surat perintah dari pejabat yang sah. The French Declaration juga mengemukakan prinsip kebebasan mengeluarkan pendapat (freedom of expression), kebebasan beragama (freedom of religion), perlindungan hak milik (the right of property), dan hak-hak dasar lainnya.
  • Di Amerika muncul The American Declaration of Independence yang banyak diilhami oleh pandangan John Locke serta dua filsuf Prancis, yaitu Rousseau dan Montesquieu. Dokumen ini, antara lain, menegaskan bahwa manusia merdeka sejak di dalam perut ibunya sehingga tidak logis jika sesudah lahir ia dibelenggu.
  • Pada tanggal 6 Januari 1941, Presiden Amerika Serikat, Franklin Roosevelt, mengemukakan prinsip yang disebut The Four Freedoms. Prinsip ini berisi empat hak, yakni hak untuk bebas berbicara dan menyatakan pendapat, hak untuk bebas memeluk agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dipeluk, hak untuk   bebas dari kemiskinan, dan hak untuk bebas dari rasa takut. 
  • Pada tahun 1944, lewat Konferensi Buruh Internasional di Philadelphia, AS, lahir Deklarasi Philadelphia. Isinya, antara lain, menyinggung tentang pentingnya menciptakan perdamaian dunia berdasarkan keadilan sosial dan perlindungan terhadap seluruh manusia apa pun ras, kepercayaan, dan jenis kelaminnya. Juga ditekankan bahwa manusia memiliki hak untuk mengejar perkembangan material dan spiritual dengan bebas dan bermartabat serta berhak mendapatkan keamanan ekonomi dan kesempatan yang sama.
  • Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mengesahkan UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia. Di dalamnya, antara lain, dikemukakan perihal kemerdekaan sebagai hak setiap bangsa (Pembukaan) serta warga negara memiliki kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul (berorganisasi) serta kemerdekaan untuk mengeluarkan pikiran baik secara lisan maupun tertulis.
  • Pada tahun 1948, PBB mengeluarkan The Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia). Di dalamnya disebutkan hak-hak asasi universal yang dimiliki oleh manusia. Isi deklarasi PBB ini banyak diilhami oleh isi Deklarasi Philadelphia yang dihasilkan Konferensi Buruh Internasional empat tahun sebelumnya.

       Gagasan tentang pentingnya hak asasi manusia tidak lepas dari perkembangan kondisi hak asasi manusia. Ide untuk memberi pengakuan secara resmi terhadap hak asasi manusia dan memperbaiki kondisi hak asasi banyak ditentukan oleh baik buruknya keadaan hak asasi manusia. Pada saat keadaan hak asasi manusia baik-baik saja, dengan ditandai tiadanya penindasan dan pengekangan, masyarakat cenderung tidak berpikir tentang pentingnya pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Sebaliknya, saat keadaan hak asasi manusia memburuk, dengan ditandai banyaknya pelanggaran hak asasi, maka masyarakat cenderung bangkit untuk menyerukan pentingnya pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.

       Saat itulah masyarakat baru menyadari pentingnya hak asasi manusia. Masyarakat jadi kembali menengok pada asal-usulnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang dianugerahi hak-hak dasar untuk hidup dan melangsungkan kehidupan. Masyarakat  jadi cenderung saling mengingatkan bahwa hak asasi manusia adalah bagian dari manusia yang wajib dihormati dan dilindungi.

       Oleh karena itu, gagasan-gagasan mengenai hak  asasi manusia di depan dipengaruhi oleh perkembangan keadaan hak asasi manusia dalam sejarah kehidupan manusia. Ide untuk membuat aturan (hukum) tentang hak asasi manusia dalam rangka melindungi dan menegakkan hak asasi tidak lepas dari banyaknya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia. Pelanggaran tersebut muncul dalam berbagai bentuk, dari pengekangan kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan tertentu hingga penyiksaan dan pembunuhan massal yang menimbulkan banyak korban jiwa manusia.

       Bahkan, pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia masih terus terjadi pada saat aturan tentang hak asasi manusia sudah ditetapkan. Ketika Magna Charta dan The French Declaration  dicanangkan, misalnya, di berbagai tempat di dunia masih banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Dan, kira-kira sampai dengan masa Perang Dunia II tahun 1940-an, dunia masih terus dipenuhi pelanggaran hak asasi manusia. Ketika dunia sudah memasuki era perdamaian pada abad ke-21 dan PBB sudah mencanangkan deklarasi hak asasi manusia universal, pelanggaran hak asasi manusia juga masih dapat ditemukan di berbagai negara walaupun bobotnya tidak lagi sehebat waktu-waktu sebelumnya.

       Itulah sebabnya, dalam kaitan dengan perkembangan hidup manusia yang tidak pernah sama sekali sepi dari pelanggaran hak asasi, upaya perlindungan dan penegakan hak asasi manusia internasional dianggap masih perlu untuk terus dilakukan. Hal ini artinya, hak asasi manusia masih tetap menjadi aspek yang penting untuk terus diperhatikan dan diperjuangkan perbaikannya. Upaya perbaikan hak asasi manusia di mana pun dan kapan pun dianggap harus senantiasa dilakukan. Perbaikan hak asasi manusia merupakan bagian penting dari kehidupan manusia itu sendiri sebagai upaya perlindungan terhadap manusia sekaligus meningkatkan kesejahteraan manusia untuk mencapai harkat dan martabatnya yang hakiki.

Unsur dan Sifat Hak Asasi Manusia

       Dari beberapa pengertian tentang hak asasi manusia di muka, kita dapat melihat adanya beberapa unsur dan sifat yang terdapat dalam hak asasi manusia. Unsur dan sifat itu terkait dengan hakikat manusia berikut keberadaan dan keberlangsungannya dalam kehidupan di  dunia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Unsur di sini dimaksudkan sebagai aspek yang terdapat dalam hak asasi dan tak terpisahkan darinya. Adapun sifat dimaksudkan sebagai peranan hak asasi di dalam kehidupan manusia.

       Unsur dan sifat itu amat menentukan keberadaan manusia serta hak asasi yang dimilikinya. Hal ini karena pemahaman atas unsur dan sifat hak asasi manusia akan sangat menentukan upaya perlindungan dan penegakan hak asasi manusia itu sendiri. Beberapa unsur dan sifat yang dimaksud selanjutnya dapat diperinci dan dijelaskan sebagai berikut.
  • Hak asasi manusia bersifat kodrati karena merupakan  pemberian Tuhan. Sejak lahir, manusia dikarunia oleh Tuhan hak asasi. Hak asasi diberikan kepada manusia agar manusia memiliki kewenangan dan kemampuan untuk melangsungkan kehidupannya.
  • Hak asasi manusia tidak dapat dicabut oleh siapa pun, kecuali oleh Tuhan. Oleh karena pemberian langsung dari Tuhan, maka hanya Tuhanlah yang dapat, patut, dan berhak mencabut hak asasi (lazimnya melalui kematian). Sesama manusia tidak dapat saling meniadakan hak asasinya masing-masing.
  • Hak asasi manusia dengan sendirinya dimiliki dan melekat pada setiap manusia. Setiap individu manusia secara otomatis memiliki hak asasi. Kepemilikan itu tidak terikat oleh suku, agama, jenis kelamin, golongan, kebangsaan, dan sebagainya.
  • Hak asasi manusia menentukan harkat dan martabat manusia. Tinggi rendahnya derajat manusia dipengaruhi oleh pemenuhan hak asasi yang dimilikinya. Manusia yang hak asasinya terpenuhi akan memiliki derajat yang berbeda dengan manusia yang hak asasinya tak terpenuhi (dilanggar).
  • Hak asasi manusia menentukan keberadaan dan kelangsungan hidup manusia. Keberadaan dan kelangsungan hidup manusia juga dipengaruhi pemenuhan hak asasinya. Manusia yang pemenuhan hak asasinya terjamin, keberadaan dan kelangsungan hidupnya juga akan terjamin, demikian juga sebaliknya.
  • Hak asasi manusia wajib dihormati, dihargai, dan dilindungi. Hak asasi manusia tak boleh dilanggar oleh aparat pemerintah atau siapa pun. Pelanggaran terhadap hak asasi manusia adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan yang dapat merendahkan harkat dan martabat manusia –– karena itu, pelanggaran hak asasi adalah pelanggaran hukum yang harus diganjar dengan sanksi atau hukuman.

Pengertian Hak Asasi Manusia

       Hak asasi manusia tidak lepas dari keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Tuhan menciptakan manusia tidak hanya dalam wujud fisik (tubuh) dan jiwa (roh), tetapi juga memberinya wewenang untuk melakukan sesuatu. Wewenang untuk melakukan sesuatu itulah yang disebut dengan hak.

       Nah, hak paling dasar yang dimiliki manusia itu disebut hak asasi manusia (lazim disingkat HAM). Agar manusia dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabatnya, hak asasi manusia harus dilindungi dan ditegakkan. Upaya untuk melindungi dan menegakkan hak asasi manusia dapat dilakukan dengan berbagai cara; antara lain, dengan memberlakukan undang-undang tentang hak asasi manusia.

       Persoalan hak asasi manusia atau HAM tampaknya akan menjadi bahan perbincangan yang tiada habis-habisnya karena menyangkut hak-hak dasar manusia sekaligus nasib manusia. Namun, apa sesungguhnya hak asasi manusia itu? Apa dan bagaimana pengertian hak asasi manusia itu?
Apakah manusia lahir dan hadir di muka bumi begitu saja? Bagaimana manusia dapat muncul di dunia ini?  Siapakah yang sebenarnya menciptakan manusia? Dengan kelengkapan apa saja manusia diciptakan? Apa saja yang digunakan manusia untuk melangsungkan kehidupannya?

       Kita semua sudah maklum bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan. Manusia tidaklah hadir begitu saja di muka bumi. Manusia diciptakan Tuhan melalui proses kelahiran. Selain dengan kelengkapan fisik (tubuh) dan jiwa (roh atau nyawa), manusia juga diciptakan Tuhan dengan kelengkapan lain yang memungkinkannya dapat melangsungkan kehidupan. Apakah kelengkapan itu?

       Kelengkapan itu, antara lain, adalah hak. Apakah hak itu? Hak adalah kewenangan atau kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Hak inilah salah satu unsur pokok dalam diri manusia yang memungkinkan dirinya melakukan banyak hal untuk mempertahankan hidup.

       Pada tahap yang paling awal, begitu diciptakan oleh Tuhan, manusia langsung memiliki hak untuk hidup. Begitu Tuhan menanamkan roh pada jasad manusia, dengan sendirinya Tuhan telah memberinya hak hidup. Tiada sesuatu apa pun di jagat raya ini yang boleh dan berhak mencabut roh itu dari diri manusia (membunuh), selain Tuhan sendiri.

       Di dalam hak hidup itu sendiri terkandung hak-hak lain yang menyertai. Hal ini karena untuk dapat mempertahankan dan melangsungkan kehidupannya, manusia mutlak memerlukan hak-hak lain, yakni hak-hak untuk melaksanakan hidup. Hak-hak itu ialah hak untuk memilih pasangan hidup dan melangsungkan pernikahan, hak untuk memiliki keturunan (anak), hak untuk tumbuh dan berkembang, hak untuk mencari makan, hak memilih pakaian, hak membuat dan menentukan tempat tinggal, hak memilih kelompok bergaul, hak mencari pengetahuan, hak menentukan mata pencaharian, dan sebagainya.

       Hak hidup berikut hak-hak yang mengikuti itu merupakan hak dasar yang melekat dengan sendirinya pada diri manusia sejak asal-usul penciptaannya, yakni, terutama, sejak manusia lahir dan menghirup udara dunia untuk kali pertama. Hak-hak ini terus melekat sampai manusia menghirup udara dunia untuk kali yang terakhir (mati). Dengan kata lain, hak-hak itu melekat pada manusia selama ia hidup di dunia.

       Hak-hak itu melekat selama hidup karena untuk hidup itu sendiri manusia tidak dapat lepas darinya. Begitu hak-hak itu terganggu, maka sifat hidup kemanusiaannya terganggu pula. Artinya, jika hak-hak itu tak dapat dilaksanakan, hidup manusia menjadi tidak sesuai dengan sifat kemanusiaan sebagaimana yang diberikan Tuhan.

       Nah, hak-hak dasar yang melekat pada manusia selama hidup itulah yang lazim dikenal dengan istilah  hak asasi manusia (HAM). Hak asasi manusia artinya adalah hak dasar manusia (asasi artinya ‘dasar’ atau ‘pokok’). Hak asasi dimiliki oleh setiap manusia yang hidup di dunia.

       Dari uraian pembuka tersebut, Anda tentunya sudah mendapatkan gambaran mengenai pengertian hak asasi manusia, bukan? Namun, pemaparan itu masih bersifat umum dan mendasar. Dalam perkembangan hidup manusia lebih lanjut, pengertian hak asasi manusia juga ikut  mengalami perkembangan. Terutama setelah manusia memasuki kehidupan  modern yang lebih kompleks, pengertian hak asasi manusia dikaitkan juga dengan hal-hal lain, seperti hukum, pemerintah, dan negara. Berikut ini beberapa pengertian hak asasi manusia yang dapat kita jadikan acuan dalam memahami hak asasi manusia.
  • Filsul Inggris, John Locke, mengatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh karena pemberian Tuhan langsung, tidak ada kekuasaan apa pun di dunia  yang dapat mencabutnya.
  • Jan Materson, dari Komisi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya (hak-hak itu) manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
  • Austin Ranney menyatakan, hak asasi manusia adalah ruang kebebasan individu yang dirumuskan secara jelas dalam konstitusi dan dijamin pelaksanaannya oleh pemerintah.
  • Franz Magnis-Suseno menyatakan, hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena pemberian masyarakat serta bukan karena (adanya) hukum positif, melainkan karena martabatnya sebagai manusia; manusia memilikinya (hak asasi) karena ia manusia.
  • A.J.M. Milne mengatakan, hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh semua umat manusia pada setiap zaman dan di segala tempat karena keutamaan eksistensinya (keberadaannya) sebagai manusia.
  • David Beetham dan Kevin Boyle mengatakan, hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia adalah hak-hak individual yang berasal dari kebutuhan-kebutuhan serta kapasitas-kapasitas manusia.
  • Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
  • Tim ICCE UIN (Indonesian Center for Civic Education, Universitas Islam Negeri) Jakarta merumuskan, hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat, atau negara.

Tuesday, 27 December 2016

Keji dan Kejamnya Senjata Kimia

Kendatipun tak dapat dibantah bahwa perang menimbulkan bencana kemanusiaan, hingga zaman modern saat ini perang masih tetap dilakukan manusia. Pada abad-abad lampau dunia sarat dengan peperangan; tidak sedikit suku, kerajaan, dan negara yang rakyatnya suka berperang dan saling menaklukkan. Namun, pada masa kini sebagian manusia dan negara pun masih tetap suka berperang dengan alasan yang berbeda-beda.
Orang-orang modern masa kini sering mencibir orang-orang zaman dahulu sebagai manusia “semiprimitif” karena kesukaannya berperang dan saling menaklukkan. Namun, cibiran tersebut tanpa disadari sering berbalik menghantam harga diri manusia modern sendiri karena dampak yang ditimbulkan oleh perang masa kini jauh lebih dahsyat daripada perang pada abad-abad lampau. Pada abad-abad lampau sebelum Masehi perang masih dilakukan dengan senjata yang sederhana. Namun, pada masa kini –– terutama sejak memasuki abad ke-20 yang ditandai pecahnya Perang Dunia I dan II –– perang sudah dilakukan dengan senjata canggih dengan memanfaatkan penemuan baru ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu senjata yang diciptakan untuk keperluan perang pada zaman modern adalah senjata kimia (chemical weapons).
Senjata kimia menjadi salah satu senjata yang mengakibatkan perang berlangsung dan berakhir dengan dampak yang sangat kejam dan mengerikan. Selain menyebabkan pencemaran lingkungan hebat, senjata ini membunuh manusia dengan cara yang keji dan tidak manusiawi: dalam beberapa ledakan saja dapat menyebabkan ribuan atau bahkan jutaan manusia mengalami sesak napas, kulit terbakar atau meleleh, mata buta, dan sebagainya sebelum akhirnya mati atau cacat seumur hidup. Dampak perang masa kini yang dilakukan manusia modern dengan senjata kimia praktis jauh lebih “primitif” daripada dampak perang tradisional yang dilakukan manusia-manusia kuno abad silam.
Senjata kimia adalah senjata yang memanfaatkan sifat racun senyawa kimia untuk membunuh, melukai, atau melumpuhkan musuh. Penggunaan senjata kimia berbeda dengan senjata konvensional dan senjata nuklir karena efek merusak senjata kimia terutama bukan disebabkan oleh daya ledaknya. Menurut Konvensi Senjata Kimia (Chemical Weapons Convention), yang dianggap sebagai senjata kimia adalah penggunaan produk toksik (racun) yang dihasilkan oleh organisme hidup (misalnya, botulinum, risin, atau saksitoksin).
Senjata kimia termasuk senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction) yang ditentang oleh banyak kalangan internasional. Penggunaan senjata kimia, termasuk dalam peperangan, dilarang secara internasional. Pada tanggal 3 September 1992, Konferensi Perlucutan Senjata di Jenewa, Swis, berhasil mengesahkan Konvensi tentang Pelarangan Pengembangan, Produksi, Penimbunan, dan Penggunaan Senjata Kimia serta tentang Pemusnahannya. Konvensi ini telah ditandatangani dan diratifikasi oleh sebagian besar negara di dunia –– lebih dari 150 negara (termasuk Indonesia).
Kendatipun mendapat tentangan keras dan luas di dunia, penggunaan senjata kimia pada konflik mutakhir kenyataannya masih saja dilakukan. Dalam perang saudara di Suriah yang masih berkecamuk hingga tahun 2016, misalnya, rezim penguasa Basyar Al-Assad, diduga kuat menggunakan senjata kimia jenis gas mustard dan sarin. Dalam Perang Vietnam (1960-an) dan Perang Irak (2004) Amerika Serikat diduga menggunakan senjata agen orange dan fosfor putih. Untuk menyerang warga Palestina, Israel juga diduga pernah menggunakan  senjata serupa (fosfor putih). Dalam perang saudara di Yaman Utara (1960-an), Mesir juga diduga menggunakan senjata kimia.

Seringkali sulit dicerna akal sehat, bagaimana manusia modern yang mengaku menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) dan nilai-nilai humanisme ternyata masih menggunakan senjata kimia untuk melukai dan membunuh sesamanya. Melukai dan membunuh sesama dengan senjata biasa saja merupakan tindakan keji, apalagi menyiksa dan melenyapkan nyawa sesama dengan senjata kimia yang mengerikan, tentu merupakan tindakan superkeji yang seharusnya tidak dilakukan manusia yang beradab dan bermartabat. Mereka yang masih suka berperang dan berambisi memenangkan perang dengan senjata kimia, sesungguhnya merupakan sisa-sisa rezim masa lalu yang mengalami “kesalahan tempat hidup” yang harus segera dikembalikan ke masa lalunya dengan cara dijatuhi hukum seberat-beratnya.

Jumlah Penduduk Dunia Akan Lebih dari 11 Miliar, Bahaya Kekurangan Pangan Mengancam

Pada pertengahan tahun 2015, PBB memproyeksikan (memperkirakan berdasarkan data saat ini) jumlah penduduk dunia pada tahun 2030 akan mencapai 8,5 miliar. Adapun pada tahun 2050 jumlahnya akan mencapai 9,7 miliar dan pada tahun 2100 akan melampaui 11 miliar. Munculnya angka-angka ini terutama dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk di negara-negara berkembang.
Populasi manusia di bumi tidak tersebar secara merata di seluruh benua dan negara. Selama periode 2015–2050, setengah dari populasi penduduk dunia diperkirakan akan terkonsentrasi di sembilan negara, yakni India, Nigeria, Pakistan, Republik Demokratik Kongo, Ethiopia, Tanzania, Amerika Serikat, Indonesia, dan Uganda. Sekitar tujuh tahun dari tahun 2015, India diperkirakan akan melampaui Tiongkok sebagai negara berpenduduk terpadat di dunia. Adapun dalam 35 tahun dari tahun 2015, Nigeria akan melampaui Amerika Serikat sebagai negara berpenduduk terpadat ketiga di dunia.
Tiongkok saat ini (2016) masih merupakan negara berpenduduk terbesar di dunia, dengan jumlah penduduk 1.374.600.000  jiwa atau 18,8% dari jumlah penduduk dunia. India membuntuti Tiongkok sebagai negara berpenduduk terpadat kedua di dunia dengan 1.283.800.000 jiwa atau 17,6% dari jumlah penduduk dunia. Kemudian berturut-turut diikuti Amerika Serikat (322.754.000 jiwa; 4,4%), Indonesia (255.993.674 jiwa; 3,5%), Brasil (205.564.000 jiwa; 2,8%), Pakistan (199.085.847 jiwa; 2,7%), Nigeria (182,202,000 jiwa; 2,5%), Bangladesh (168.957.745 jiwa; 2,3%), Rusia (146.517.580 jiwa; 2,0%), dan Jepang (126.919.659 jiwa; 1,8%).
Benua Asia menjadi penyumbang terbesar penduduk dunia. Dari sepuluh negara berpenduduk terbesar di dunia saat ini, enam negara di antaranya berada di Asia (Tiongkok, India, Indonesia, Pakistan, Bangladesh, dan Jepang). Jika ditotal, jumlah penduduk di enam negara Asia ini mencapai 46,7 persen dari seluruh penduduk bumi. Dan jika ditambah dengan penduduk negara-negara Asia lain, jumlahnya akan membengkak menjadi lebih dari separuh jumlah penduduk bumi –– dengan kata lain, lebih dari separuh (atau lebih dari 50%) penduduk bumi berada di Asia.
Laporan PBB juga memproyeksikan bahwa pada tahun 2050, populasi enam negara diperkirakan akan melebihi 300 juta. Keenamnya adalah Indonesia, Nigeria, Pakistan, dan Amerika Serikat, selain tentunya Tiongkok dan India. Sementara itu, banyak negara di Afrika diperkirakan akan mengalami pertumbuhan penduduk yang pesat. Populasi dari 28 negara Afrika diproyeksikan akan mengalami peningkatan sebesar dua kali lipat. Pertumbuhan penduduk yang tinggi di negara-negara miskin –– sebagaimana yang terjadi di banyak negara Afrika  –– akan memicu munculnya masalah serius dalam upaya pemberantasan kemiskinan serta mengatasi kekurangan pangan dan gizi. Masalah lain yang juga mengancam adalah kurangnya layanan pendidikan dan kesehatan yang memadai.
Apakah dengan jumlah penduduk belasan miliar Bumi masih mampu memberi daya dukung yang layak kepada kehidupan manusia? Jumlah penduduk yang terlalu besar tentu saja akan memberikan dampak tertentu pada lingkungan hidup. Selain masalah kemiskinan, ketersediaan pangan, serta layanan kesehatan dan pendidikan, masalah lain akan timbul, yakni eksploitasi alam. Pertambahan penduduk jelas berkonsekuensi pada pembukaan lahan baru untuk keperluan permukiman. Sebagian lahan persawahan, perladangan, perkebunan, dan bahkan hutan akan beralih fungsi menjadi permukiman.
Menyusutnya luas lahan pertanian (persawahan, perladangan, dan perkebunan) jelas akan menurunkan hasil pertanian dan produksi pangan. Oleh karena di sisi satu jumlah penduduk meningkat, tetapi di sisi lain lahan pertanian serta produksi pangan justru menurun, maka dapat terjadi bahaya kekurangan pangan dan kelaparan. Kekurangan pangan dan kelaparan bahkan sudah sering terjadi pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an ketika jumlah penduduk bumi masih normal (belum cenderung berlebihan seperti sekarang) dan jumlah produksi pangan dunia rata-rata masih relatif mencukupi (hanya distribusinya yang timpang). Negara-negara Afrika yang kering, seperti Ethiopia dan Sudan, yang rakyatnya mengalami bencana kelaparan berkali-kali, adalah contoh nyata bahwa dalam kondisi jumlah penduduk dan produksi pangan “normal” saja bencana kelaparan masih dapat terjadi.

Maka, pertanyannya adalah apakah ketika penduduk bumi mencapai lebih dari 11 miliar, bencana kelaparan dapat dicegah atau akan terjadi dengan eskalasi lebih luas dan parah? Pertanyaan ini sulit dijawab secara matematis, tetapi dapat diperkirakan jawabannya berdasarkan analisis linier yang wajar dan alamiah. Jika masyarakat dan pemerintahan negara di berbagai kawasan dunia (terutama yang pertumbuhan penduduknya tinggi, seperti halnya Indonesia) mampu membuka permukiman-permukiman penduduk baru dengan cara yang bijaksana dan ramah lingkungan serta di sisi lain mampu mengimbangi menyusutnya lahan pertanian dengan pembukaan lahan pertanian baru yang juga ramah ingkungan, maka bahaya kelaparan dapat dicegah atau dikurangi. Namun, jika tidak, Anda tentu sudah dapat memperkirakan sendiri jawabannya.

Sejarah Penuh dengan Subjektivitas dan Kontroversi

Apakah sebuah peristiwa masa lalu dapat menanamkan pemahaman serta meninggalkan kesan yang sama pada semua orang umumnya dan pada para sejarawan khususnya? Apakah semua sejarawan sepakat mengenai semua kejadian masa lalu yang mereka teliti, mereka pelajari, dan mereka tulis? Tidak! Sejarah ternyata menyimpan banyak misteri dan kontroversi serta sejarawan pun dapat terbelit sifat subjektif. Peristiwa masa lalu ternyata dapat meninggalkan kesan dan penafsiran yang berbeda-beda. Hal ini tidak hanya terjadi pada masyarakat awam yang tidak atau kurang mengerti sejarah, melainkan juga pada para sejarawan yang ahli dalam sejarah.
Bagaimana hal itu dapat terjadi? Perbedaan kesan, anggapan, dan penafsiran terhadap peristiwa masa lalu (sejarah) seringkali sulit dihindari karena tidak semua peristiwa terjadi dengan transparan, gamblang, dan jelas, sedangkan peristiwa-peristiwa yang terjadi dengan transparan, gamblang, dan jelas pun masih sering memicu perdebatan. Dalam sejarah dunia begitu banyak peristiwa penting yang terjadi dengan samar-samar dan kabur serta sebagian sengaja ditutup-tutupi, disembunyikan, dipalsukan, atau dimanipulasi. Keadaan ini menyulitkan kaum awam dan para sejarawan untuk memberikan pemahaman dan melakukan penafsiran dengan akurat dan benar.
Sejarah juga seringkali bersifat subjektif. Peristiwa Perang Dunia II, misalnya, pasti mendapat reaksi dan penilaian yang berbeda-beda dari negara yang terlibat perang. Bagi bangsa Amerika, Inggris, dan Prancis, keterlibatan mereka dalam Perang Dunia II boleh jadi dirasakan sebagai perjuangan heroik dalam mengalahkan arogansi dan penindasan yang dilakukan oleh musuh mereka: Jerman, Jepang, dan Italia. Namun, sebaliknya, bagi bangsa Jerman, Jepang, dan Italia, keterlibatan mereka dalam perang dahsyat itu bisa jadi dipandang sebagai upaya untuk menegaskan dan memperkukuh keberadaan mereka dengan segala ideologi dan kebijakan kolonialnya yang akan menjadikan mereka dihormati dan disegani serta kian jaya dan sejahtera. Adapun bagi bangsa-bangsa lain yang terlibat langsung sebagai korban, seperti Indonesia, Mesir, dan India, Perang Dunia II boleh jadi dirasakan sebagai perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan dan menguji nasionalisme di tengah pertarungan kekuatan-kekuatan besar memperebutkan pengaruh ideologi.
Demikianlah, memang kadang tidak mudah menafsirkan dan memahami sejarah secara benar. Di negara kita sendiri, tidak sedikit peristiwa masa lalu yang terjadi dengan samar-samar dan kabur sehingga menimbulkan kesimpangsiuran. Beberapa peristiwa berikut ini menunjukkan bahwa sejarah sulit terlepas dari kontroversi dan perdebatan.
  • Gerakan 30 September (G-30-S) 1965. Sebagian sejarawan menyatakan, peristiwa ini didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sebelum peristiwanya pecah memang tampak mendominasi dalam perpolitikan Indonesia tahun 1950-an dan 1960-an. Namun, sebagian sejarawan beranggapan bahwa otak peristiwa tersebut tidak lain adalah CIA (Central Intelligence Agency –– Dinas Intelijen Amerika Serikat), sebagai upaya untuk membendung menguat dan meluasnya pengaruh komunisme di Indonesia akibat dominasi PKI yang didukung Tiongkok. Akan tetapi, yang mengejutkan, ada juga sejarawan yang membuat analisis bahwa tokoh di balik gerakan G-30-S adalah Mayjen Soeharto sebagai upaya untuk merebut kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno.
  • Serangan Umum 1 Maret 1949. Soeharto dan rezim Orde Baru mengklaim, penggagas serangan Umum 1 Maret 1949 adalah Letkol Soeharto. Namun, sebagian sejarawan dan masyarakat percaya bahwa pemrakarsa serangan adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Versi lain menyatakan, tokoh utama yang memberikan instruksi untuk melakukan serangan besar-besaran itu tidak lain adalah Kol Bambang Sugeng (Panglima Divisi III/Gubernur Militer III).
  • Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Di tengah keberadaan suratnya yang tidak pernah jelas, proses pembuatan suratnya sendiri menjadi kontroversi: apakah ditulis dan diberikan secara sukarela oleh Presiden Soekarno kepada Mayjen Soeharto ataukah melalui paksaan oleh Mayjen Soeharto terhadap Presiden Soekarno, atau bahkan surat itu sebenarnya tidak pernah ada? Banyak masyarakat menduga-duga, Surat Perintah 11 Maret tidak pernah ada; surat tersebut hanya karangan untuk membenarkan dilakukannya pengambilalihan kekuasaan (kudeta). Sebagian sejarawan dan masyarakat percaya bahwa surat tersebut memang pernah dibuat (oleh Seokarno) dan diserahkan kepada Soeharto melalui tiga perwira (Amir Machmud, M. Yusuf, dan Basuki Rachmat) sebagai bentuk pelimpahan kekuasaan di tengah situasi darurat. Namun, yang menjadi tanda tanya besar, mengapa surat sepenting itu bisa hilang atau keberadaannya menjadi tidak jelas?
  • Peristiwa 12 Mei 1998. Peristiwa 12 Mei 1998 menjadi simbol kejatuhan rezim Orde Baru yang otoriter dan bergantinya pemerintahan baru yang reformis. Dalam peristiwa tersebut, empat orang mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta meninggal dunia akibat terkena tembakan saat mengikuti demonstrasi damai menuntut  mundurnya pemerintahan Orde Baru. Setelah peristiwa tertembaknya empat mahasiswa itu, pecah gelombang demonstrasi (mahasiswa dan masyarakat) besar-besaran di berbagai pelosok Indonesia sehingga mampu memaksa Soeharto melepaskan jabatan presiden yang sudah dipegangnya selama lebih dari 30 tahun. Setelah peristiwa Trisakti itu, juga pecah kerusuhan besar di Jakarta dan Solo. Hal yang menjadi tanda tanya besar hingga kini adalah siapakah yang menembak empat mahasiswa Trisakti dan siapakah pula dalang kerusuhan di Jakarta dan Solo? Hasil sidang pengadilan atas kasus tertembaknya empat mahasiswa menyatakan bahwa polisi yang menangani demonstrasilah yang melakukan penembakan. Namun, banyak saksi yang melihat bahwa pada momen-momen terjadinya penembakan, dari gedung-gedung tinggi di sekitar tempat kejadian perkara berkali-kali tersorot sinar inframerah yang diduga digunakan sebagai penuntun untuk membidik para mahasiswa. Berdasarkan analisis masuknya peluru ke tubuh para korban, juga diketahui bahwa konon peluru menembus tubuh korban secara diagonal (menyilang) dari atas ke bawah, yang menandakan bahwa tembakan dilepaskan dari atas (gedung tinggi) ke bawah. Jika kesaksian dan analisis ini benar, berarti ada orang atau aparat gelap lain yang turut “menangani” demonstrasi, yang sengaja bertindak sendiri untuk membunuh mahasiswa. Sementara itu, kerusuhan besar di Jakarta dan Solo, menurut kesaksian banyak pihak, juga tidak terjadi secara “alami”, melainkan digerakkan secara sistematis oleh orang-orang terlatih.
  • Korupsi Bank Century. Inilah salah satu kasus megakorupsi di Indonesia yang penanganan dan penyelesaiannya tidak jelas hingga kini. Kasus yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini, diduga kuat oleh banyak pihak melibatkan sejumlah pejabat tinggi negara, serta dana hasil korupsi (triliunan rupiah) mengalir ke partai politik tertentu, tetapi aparat hukum hanya menjatuhkan dakwaan kepada direksi bank (Bank Century) dan pejabat Bank Indonesia, sementara aktor-aktor besarnya tak tersentuh. Korupsi ini mengakibatkan negara mengalami kerugian sekitar Rp 6 triliun. Kasusnya bermula dari kesulitan keuangan serius yang dialami oleh Bank Century, yang dianggap dapat menimbulkan dampak sistemik terhadap perekonomian negara. Pandangan ini menyebabkan beberapa pejabat negara dalam bidang moneter memutuskan untuk menggelontorkan bantuan dana kepada Bank Century sebesar sekitar Rp 6 triliun melalui Bank Indonesia. Namun, dana sebesar itu kemudian tidak digunakan sebagaimana mestinya (di antaranya untuk mengganti tabungan nasabah), melainkan malah dikorupsi oleh pihak bank dan pihak eksternal yang tidak jelas tugas dan kewenangannya.



Inilah Cara Mengatasi Fobia Matematika

Sudah jamak diketahui bahwa matematika menjadi salah satu mata pelajaran yang dianggap sulit untuk dipahami dan dikuasai siswa dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Tidak sedikit siswa menganggap pelajaran yang satu ini begitu sulit untuk dipahami sehingga kehadirannya di kelas kerapkali tidak dikehendaki. Oleh karena njlimet  dan sulitnya untuk ditaklukkan, sebagian siswa menjadi antipati terhadapnya dan bahkan membencinya.
Penolakan dan kebencian terhadap matematika pada stadium selanjutnya dapat menimbulkan fobia matematika, yakni ketakutan luar biasa yang tanpa alasan terhadap matematika. Penolakan dan kebencian terhadap matematika dapat muncul akibat pengalaman pribadi yang buruk dan traumatis terkait dengan matematika. Saat ini tidak sedikit siswa sekolah yang mengalami fobia matematika. Mereka mengalami gejala ketakutan, kecemasan, dan kekhawatiran terhadap matematika serta sebisa mungkin menghindari bilangan dan operasi-operasi bilangan.
Fobia matematika dapat diatasi. Upaya mengatasinya dilakukan melalui tahap mencegah, mengurangi, dan menghilangkan. Upaya pencegahan dilakukan dengan langkah-langkah berikut. (1) Guru dan orang tua bersikap positif terhadap matematika. (2) Siswa dipersuasi untuk mengetahui manfaat matematika dalam kehidupan sehari-hari. (3) Siswa terlibat aktif dalam belajar matematika. (4) Guru membuat kebijakan bahwa tes bukan tujuan akhir dari belajar matematika. (5) Siswa meringkas catatan. (6) Siswa membuat jadwal belajar.
Jika fobia matematika telanjur dialami, perlu dilakukan upaya untuk menguranginya dengan beberapa langkah berikut. (1) Guru membangkitkan motivasi siswa agar kian aktif belajar dan mengingatkan akan pentingnya belajar matematika untuk memecahkan persoalan hidup sehari-hari. (2) Guru menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dengan menghindarkan suasana kaku, tegang, dan menakutkan dalam belajar, dengan menyisipkan humor-humor segar dan mendidik serta tidak memberikan soal-soal yang terlalu sukar. (3) Guru mencip-takan suasana belajar yang menyenangkan dengan membuat suasana kelas nyaman, memberi semangat kepada siswa, dan dinding kelas ditempeli gambar atau hiasan yang disukai siswa. (4) Guru mengadakan kegiatan rekreatif untuk menghilangkan rasa jenuh, bosan, dan penat dalam belajar.

Adapun upaya untuk menghilangkan fobia matematika, antara lain, dilakukan dengan terapi berbicara dan terapi pemaparan diri (desensitisation). Jenis terapi bicara yang bisa digunakan adalah sebagai berikut. (1) Konseling: konselor akan mendengarkan permasalahan siswa, seperti ketakutannya saat berhadapan dengan hal yang membuatnya fobia. (2) Psikoterapi: seorang psikoterapis akan menggunakan pendekatan secara mendalam untuk menemukan penyebabnya dan memberi saran untuk menghilangkannya. (3) Terapi perilaku kognitif: suatu konseling yang akan menggali pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang dalam rangka mengembangkan cara-cara praktis yang efektif untuk melawan fobia. Sementara itu, terapi pemaparan diri (desensitisation)dilakukan dalam bentuk secara bertahap selama periode tertentu siswa dilibatkan dengan objek atau situasi yang membuatnya takut. Secara perlahan-lahan siswa akan mulai merasa tidak cemas atau tidak takut lagi terhadap hal tersebut. Terapi ini adakalanya dikombinasikan dengan pengobatan dan terapi perilaku.

Khalifah, Kekuasaan dan Kewenangannya

Kata khalifah dapat diterjemahkan sebagai ‘pengganti’ atau ‘perwakilan’. Dalam Al-Quran, manusia secara umum merupakan khalifah Allah di muka bumi untuk merawat dan memberdayakan bumi beserta isinya. Adapun secara khusus khalifah diartikan sebagai pengganti Nabi Muhammad saw. sebagai imam umatnya dan secara kondisional juga menggantikannya sebagai penguasa sebuah entitas kedaulatan Islam (negara). Seperti kita ketahui, Muhammad saw. selain sebagai nabi dan rasul, juga sebagai imam, penguasa, panglima perang, dan sebagainya.
Pada masa-masa setelah Nabi Muhammad saw. wafat, “khalifah” merupakan gelar yang diberikan untuk pemimpin umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad saw. Khalifah juga sering disebut sebagai amir al-mu'minin, yakni “pemimpin orang yang beriman” atau “pemimpin orang-orang mukmin”, yang kadang disingkat menjadi “amir”. Setelah kepemimpinan Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), kekhalifahan dipegang berturut-turut oleh Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, dan Kesultanan Utsmaniyah.
Khalifah berperan sebagai pemimpin umat untuk urusan negara dan urusan agama. Mekanisme pemilihan khalifah dilakukan baik dengan wasiat maupun dengan majelis syura' yang merupakan majelis Ahlul Halli wal Aqdi, yakni para ahli ilmu (khususnya keagamaan) dan mengerti permasalahan umat. Adapun mekanisme pengangkatannya dilakukan dengan cara bai'at  yang merupakan perjanjian setia antara khalifah dan umat.
Mayoritas akademisi menyepakati, Nabi Muhammad saw. tidak secara langsung memerintahkan pembentukan kekhalifahan Islam setelah beliau wafat. Namun, permasalahan yang dihadapi ketika itu adalah siapa yang akan menggantikan Nabi Muhammad saw. serta sebesar apa kekuasaan yang akan didapatkannya?  Hingga saat Nabi Muhammad saw. wafat, kaum Muslim berdebat tentang siapa yang berhak untuk menjadi penerus kepemimpinan Islam. Apa yang dibicarakan masih menjadi kontroversi, tetapi dapat dipastikan bahwa mayoritas kaum muslim yang hadir dalam musyawarah saat itu meyakini bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah penerus kepemimpinan Islam yang akan menggantikan Nabi Muhammad saw. karena sebelum Nabi meninggal, Abu Bakar dipercaya menggantikan posisi Nabi Muhammad saw. sebagai imam salat. Akhirnya Abu Bakar pun terpilih menjadi khalifah pertama dalam sejarah Islam (pasca wafatnya Nabi Muhammad saw.)
Menentukan tokoh yang akan menggantikan Nabi Muhammad saw. bukanlah satu-satunya masalah yang dihadapi umat Islam saat itu. Umat Islam juga perlu mengklarifikasi, seberapa besar kekuasaan pengganti sang nabi. Muhammad, selama masa hidupnya, tidak hanya berperan sebagai pemimpin umat Islam, melainkan juga sebagai nabi dan pemberi keputusan untuk umat Islam. Semua hukum dan praktik spiritual ditentukan sesuai dengan yang disampaikan Nabi Muhammad saw. Musyawarah dilakukan pada persoalan ini untuk menentukan seberapa besar kekuasaan seorang khalifah.

Tidak satu pun dari para khalifah yang mendapatkan wahyu dari Allah karena Nabi Muhammad saw. adalah nabi dan penyampai wahyu terakhir di muka bumi. Tidak satu pun di antara mereka yang menyebut diri mereka sendiri sebagai nabi atau rasul. Untuk mengatasinya, wahyu Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. kemudian ditulis dan dikumpulkan menjadi Al-Quran; dijadikan patokan dan sumber utama hukum Islam dan menjadi batas kekuasaan khalifah Islam. Artinya, khalifah adalah seseorang pemimpin yang tunduk pada Al-Quran dan Hadis, dan kekuasaannya pun dibatasi oleh Al-Quran dan Hadis.

Kebesaran Jiwa Para Tokoh Bangsa dalam Merumuskan Piagam Jakarta

Piagam Jakarta merupakan nama dokumen bersejarah yang sangat penting bagi bangsa dan negara Indonesia. Piagam Jakarta atau Jakarta Charter dirumuskan oleh sembilan tokoh bangsa Indonesia yang tergabung dalam Panitia Sembilan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Kesembilan tokoh tersebut adalah Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasyim, dan Muhammad Yamin.
BPUPKI, yang dibentuk sebagai realisasi janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia, menugaskan kepada Panitia Sembilan untuk membuat rumusan dasar negara yang akan dijadikan fundamen bagi negara Indonesia (yang direncanakan akan terbentuk) setelah merdeka. Melalui rapat pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan sukses menghasilkan sebuah rumusan berisi gagasan dan butir-butir dasar negara. Rumusan tersebut kemudian diberi nama Piagam Jakarta atau Jakarta Charter.
Piagam Jakarta dirumuskan saat BPUPKI menjalankan tugasnya, tetapi pengumumannya kepada publik justru dilakukan saat BPUPKI sudah dibubarkan dan diganti lembaga baru bernama PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Dan begitu diumumkan, Piagam Jakarta langsung memicu kontroversi besar. Kalangan tokoh dan masyarakat Indonesia yang nonmuslim menyatakan keberatan atas salah satu butir rumusan dalam piagam tersebut. Mereka menganggap butir rumusan tersebut bersifat diskriminatif serta tidak mewadahi kepentingan masyarakat Indonesia yang tidak beragama Islam. Butir rumusan yang menimbulkan kontroversi tersebut berbunyi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Rumusan tersebut memicu timbulnya kritik dari kalangan tokoh-tokoh penganut agama non-Islam,  terutama Protestan dan Katolik. Menurut mereka, rumusan tersebut kurang mencerminkan kemajemukan agama rakyat Indonesia. Sempat muncul juga ancaman jika rumusan itu tidak diubah dengan lebih memperhatikan kepentingan kalangan nonmuslim, sebagian golongan nonmuslim akan memisahkan diri dari negara Indonesia.
Empat orang anggota PPKI yang merupakan tokoh kalangan Islam, yakni Bagoes Hadikoesoemo, Wachid Hasyim, Mohammad Hassan, dan Kasman Singodimedjo, kemudian diperintahkan untuk membahas rumusan yang kontroversial tadi. Keempatnya kemudian melakukan diskusi terpisah dengan dipimpin oleh Hatta. Hanya dalam waktu kurang dari 20 menit mereka akhirnya sepakat untuk mengubah rumusan yang bermasalah itu. Mereka setuju untuk menghapus kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Kendatipun telah terjadi kehebohan besar, para tokoh bangsa kita tetap bersikap tenang. Dengan kepala dingin mereka meninjau dan membahas ulang butir rumusan yang kontroversial tersebut. Dengan lapang dada dan kebesaran jiwa, tanpa debat dan kegaduhan berkepanjangan, mereka akhirnya sepakat untuk mengubah rumusan tersebut menjadi lebih simpel, lebih pendek, lebih umum, lebih netral, dan lebih mencerminkan keindonesiaan yang majemuk dari segi agama.

Rumusan tersebut kini kita kenal sebagai sila pertama Pancasila. Pancasila tidak lain adalah dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia . Sila-sila Pancasila yang sah atau resmi sebagai dasar negara tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 (alinea keempat). Dari mana dan siapakah perumus Pembukaan UUD 1945 itu? Nah, Pembukaan UUD 1945 rumusan lengkapnya diambilkan langsung dari Piagam Jakarta  yang dirumuskan Panitia Sembilan. Dengan kata lain, dengan hanya mengubah butir rumusan yang kontroversial tadi, Piagam Jakarta diadopsi menjadi Pembukaan UUD 1945.

Seni Jalanan, Berkarya dan Berekspresi dalam Keramaian Jalan

Selama ini masyarakat mengenal atau menganggap aktivitas seni dilakukan di ruang-ruang khusus yang seringkali terasa angker dan prestisius. Seorang pelukis top biasanya menciptakan lukisan di studio pribadinya yang sunyi dan jauh dari jangkauan mata publik, kemudian memamerkan karya-karyanya di galeri terkenal dengan harga lukisan bisa mencapai miliaran rupiah. Seorang musisi terkenal juga biasa menciptakan lagu di studio pribadinya yang mewah, kemudian mementaskan karya-karyanya di gedung konser megah dengan harga tiket masuk bisa mencapai jutaan rupiah. Berkarya di ruang tertutup yang sunyi dan sarat privasi kemudian mempublikasikan karyanya di gedung yang terhormat dan mahal juga biasa dilakukan oleh para seniman terkenal dan mapan dari cabang-cabang seni lain, seperti tari dan teater.
Namun, tidak demikian halnya dengan para seniman jalanan. Seniman jalanan selama ini dikenal sebagai pekerja seni yang sering atau biasa menciptakan, menggelar, dan mengekspresikan karyanya di pinggiran jalan yang ramai dilalui orang. Mereka umumnya bukan para seniman mapan serta tidak memiliki studio atau ruang berkarya dan berekspresi tersendiri. Mereka juga umumnya tidak memiliki kemampuan menyewa tempat khusus untuk berkarya dan berekspresi, atau sebagian dari mereka mungkin saja punya kemampuan itu, tetapi enggan melakukannya dengan alasan tertentu.
Mereka lebih memilih berkarya dan berekspresi di tempat terbuka yang cuma-cuma atau setidaknya minim biaya: jalanan. Dengan beralaskan aspal atau beton dan beratapkan langit, mereka berkesenian dengan cara mereka sendiri. Mereka langsung berhadapan dengan publik tanpa melalui prosedur atau birokrasi kesenian yang rumit dan berbelit-belit. Mereka dengan spontan berekspresi di depan publik: menyanyi, menari, berpantomim, melukis dan memajang lukisan, dan sebagainya.
Umumnya mereka berekspresi dengan mengharapkan perhatian dan imbalan langsung dari publik. Mereka berharap, orang-orang di sekitar berhenti sejenak untuk menyaksikan aksi mereka, kemudian melemparkan uang receh sekadarnya ke dalam kaleng, topi, atau sapu tangan yang mereka taruh di atas aspal atau trotoar. Istilah populer yang digunakan untuk menyebut aksi mereka adalah “mengamen”. Kecuali mereka yang melukis dan memajang lukisannya untuk dibeli, mereka hanya mengandalkan kecakapan memainkan seni secara spontan (menyanyi, memainkan alat musik, menari, berpantomim, dan sebagainya) untuk menarik perhatian dan mendapatkan imbalan.
Dalam aksi-aksi mereka, kualitas atau bobot seni bukan hal yang penting untuk dipersoalkan. Bukan tidak mungkin kemampuan mereka menyanyi, bermain musik, atau menari sebenarnya tidak kalah dengan para seniman yang biasa tampil di gedung kesenian dengan honor besar, tetapi unsur pokok yang mereka tampilkan tidak lain hanyalah hiburan. Cara berpikir mereka umumnya sederhana saja: beraksi dan mendapatkan uang untuk membiayai hidup, dan tidak mengharapkan kritikus seni atau media massa mengulas atau memberitakan nilai seni mereka. Dan sejauh yang diketahui, publik yang menyaksikannya umumnya cukup terhibur dengan aksi mereka. Hanya dengan uang receh yang tak seberapa, publik kadang bisa menikmati pertunjukan seni yang menarik dan menghibur, yang jika seni serupa dipentaskan seniman mapan di gedung kesenian bisa dipatok dengan harga tiket ratusan atau bahkan jutaan rupiah.
Fenomena seni dan seniman jalanan di Indonesia belum sepopuler di mancanegara, terutama di Eropa. Model seni jalanan di Indonesia umumnya masih didominasi seni musik yang diekspresikan dengan cara mengamen dari rumah ke rumah, dari toko ke toko, atau dari pengunjung ke pengunjung warung makan kaki lima. Hal ini berbeda dengan yang banyak terjadi di Eropa, yang pertunjukannya mencakup jenis seni yang lebih banyak dan beragam dengan gaya pementasan yang relatif lebih menetap dengan mengambil sisi jalan kota atau sudut kota tertentu yang banyak dilewati atau dikunjungi warga.

Lebih dari itu, apresiasi masyarakat terhadap seni jalanan di Indonesia juga belum sebaik di negara-negara maju. Di negara-negara maju (Eropa) masyarakat lebih apresiatif dan lebih toleran terhadap keberadaan seni jalanan. Mereka memberi kebebasan kepada para seniman jalanan untuk bereskpresi di tengah keramaian publik. Di Indonesia walaupun sebagian masyarakat sudah bersikap apresiatif dengan memberi ruang berekspresi yang memadai terhadap pertunjukan seni jalanan, sebagian besar masyarakat umumnya masih menganggap seni jalanan sebagai pengganggu pemandangan dan kenyamanan warga. Hal ini terjadi juga tidak lepas dari cara mempertunjukkan seni jalanan itu sendiri oleh para seniman yang di Indonesia seringkali masih terlihat sangat amatiran serta diwarnai dengan pemaksaan dalam meminta imbalan kepada warga.