Wednesday, 25 January 2017

Tokoh Inspiratif: Kartini, Pencetus Emansipasi Wanita Indonesia

       Raden Adjeng Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah, pada tanggal 21 April 1879. Kartini lahir dari pasangan suami-istri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (bupati Jepara)dan M.A. Ngasirah. Kartini wafat pada 17 September 1904 dalam usia 25 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Desa Bulu, Rembang, kota yang letaknya tidak jauh dari Jepara.
Sebagai anak seorang bupati sekaligus berasal dari keluarga bangsawan (Jawa), Kartini dapat mengenyam pendidikan yang cukup tinggi untuk ukuran seorang perempuan pada zamannya. Sampai usia 12 tahun, Kartini menempuh pendidikan di ELS (Europese Lagere School). Dari pendidikannya, ia mampu menguasai bahasa Belanda. Berkat kemampuannya berbahasa Belanda yang baik ini, ia mampu melakukan surat-menyurat dengan sahabat-sahabat penanya dari Belanda. Dalam surat-suratnya ia berbicara mengenai banyak hal, terutama kedudukan dan kehidupan kaum perempuan.
Dari kegemarannya membaca, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir para perempuan Eropa. Ia merasakan perbedaan yang jauh antara kondisi perempuan Eropa dan perempuan pribumi. Perempuan Eropa sudah demikian maju kedudukan dan pemikirannya, sementara perempuan pribumi terbelenggu dalam ketertinggalan serta berada pada status sosial yang rendah.
Surat-surat yang ia tulis memuat ide-idenya mengenai perbaikan dan persamaan hak kaum wanita pribumi. Kartini menginginkan perempuan pribumi (Jawa) dapat dengan bebas belajar dan menuntut ilmu melalui bangku sekolah. Kartini juga sangat berhasrat perempuan pribumi dapat keluar atau bebas dari kungkungan adat. Adat yang saat itu membelenggu perempuan pribumi, antara lain, perempuan diharuskan hidup dalam pingitan, bersedia dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan bersedia dimadu oleh suami.
Menurut Kartini, adat menjadi penghambat terwujudnya kebebasan dan kemajuan perempuan pribumi. Belenggu adat menyebabkan perempuan pribumi hidup dalam keterbelakangan dan dominasi kaum laki-laki. Perempuan pribumi tampak hidup dalam ketertindasan dan ketidakadilan. Keadaan ini memicu keprihatinan Kartini sekaligus menggerakkannya untuk mencetuskan gagasan pembebasan dan pemajuan kaum perempuan.
Kartini bukan seorang pejuang yang turut langsung turun di medan tempur melawan kaum penjajah. Namun, ia tetap dinilai sebagai pejuang hak asasi, khususnya hak asasi kaum wanita. Apa yang dilakukannya tergolong luar biasa diukur dari keadaan zamannya. Di tengah cengkeraman kolonialisme Belanda, dominasi kaum laki-laki, dan kungkungan adat yang sangat ketat terhadap kaum wanita, Kartini mencetuskan gagasan yang progresif, yakni keharusan kaum perempuan pribumi keluar dari kungkungan adat dan lepas dari diskriminasi.
Apa yang ia lakukan tergolong tabu pada zamannya, tetapi sangat positif untuk masa depan kaum perempuan. Ia berani menentang adat –– suatu hal yang saat itu tergolong rawan dan berbahaya –– demi kebebasan dan kemajuan kaum perempuan. Ide-idenya berusaha membebaskan kaum perempuan pribumi dari adat yang membelanggu selama berabad-abad. Dapat dikatakan, Kartini adalah wanita pertama Indonesia yang mencetuskan ide tersebut pada saat wanita-wanita lain pasrah dalam situasi dan kondisi kehidupan yang represif dan diskriminatif.

Kartini telah lama wafat meninggalkan kita. Namun, Kartini hanya meninggal secara fisik, sedangkan spirit perjuangan dan gagasan-gagasannya terus hidup dan memberi inspirasi bagi upaya pembebasan dan pemajuan kaum perempuan Indonesia. Kepergiannya meninggalkan warisan yang sangat berharga: ide emansipasi, yang pada waktu-waktu selanjutnya menjadikan wanita Indonesia jauh lebih bebas dan lebih maju (dibandingkan dengan kehidupan wanita pada masa Kartini hidup dahulu).

No comments:

Post a Comment