Friday, 13 January 2017

Quo Vadis Ujian Nasional


      Ujian nasional (UN) yang diadakan setiap tahun selalu saja menimbulkan masalah. Setiap UN digelar, sejumlah kerunyaman mengiringinya. Keterlambatan pengiriman soal ke daerah, kebocoran soal dan kunci jawaban, kecurangan siswa yang dibiarkan atau didukung guru, pemalsuan nilai oleh guru dan kepala sekolah, serta bentuk penyimpangan lain nyaris selalu terjadi. 

       UN pun kemudian lebih dirasakan sebagai bagian dari masalah ketimbang sebagai solusi  yang mampu mengatasi problem pendidikan. Serangkaian persoalan yang ditimbulkannya mengindikasikannya sebagai program yang lebih mendatangkan mudarat daripada manfaat. Masifnya penyimpangan dan manipulasi dalam UN menyebabkannya tidak dapat dijadikan instrumen untuk mengukur dan menilai tingkat keberhasilan atau pencapaian pendidikan selain malah membuka aib akan banyaknya praktik kotor dalam dunia pendidikan serta kian memperburuk mutu dan menambah keterpurukan dunia pendidikan kita.

Pemborosan dan Kesenjangan
       Ditambah dengan biaya penyelenggaraannya yang mahal –– setiap pelaksanaan UN membutuhkan dana Rp 500-an miliar –– UN kian terasa sebagai proyek pemborosan yang memberatkan negara. Setiap tahun dana Rp 500-an miliar dihabiskan hanya untuk membiayai sebuah evaluasi pendidikan yang sarat penyimpangan dan kecurangan. Ini jelas ironi yang tak mencerminkan nilai-nilai paedagogi dan edukasi. Ini tak bisa lagi dianggap sebagai kejadian insidental dan kasuistis, tetapi sudah bersifat patologis permanen, karena penyimpangan dan kecurangan terjadi berulang-ulang setiap tahun.
       
       Sementara itu, pemetaan mutu pendidikan sebagai salah satu fungsi UN juga tak pernah jelas implementasi dan akuntabilitasnya. Lebih dari sepuluh tahun penyelenggaraan UN, publik tidak pernah mendapat gambaran yang jelas dan clear mengenai persebaran mutu pendidikan di Indonesia karena sosialisasi dan publikasi mengenai hal itu oleh Kemendikbud minim sekali dilakukan. Di sisi lain, upaya konkret untuk memperbaiki serta melakukan pemerataan mutu pendidikan juga tak pernah dilakukan dengan terencana, terstruktur, dan kontinu. Selama ini masih terus terjadi kesenjangan mutu pendidikan antara kota dan desa serta antara Jawa dan luar Jawa.

Ironi Kejujuran
       Setelah menyadari banyaknya kecurangan dalam penyelenggaraan UN, belakangan Kemendikbud mencanangkan dan menyosialisasikan jargon dalam upaya menekan terjadinya kecurangan. Kepada para pemangku kepentingan, terutama siswa dan guru, Kemendikbud menekankan bahwa hal utama dalam mengikuti dan mengerjakan soal-soal UN adalah berlaku jujur, jujur, dan jujur (kata ‘jujur’ disebut tiga kali); barulah setelah itu prestasi  (meraih nilai setinggi-tingginya). Jargon ini terdengar baik, positif, dan indah; tetapi masalahnya, apakah sudah diimplementasikan dengan optimal?
       
       Hingga kini belum tampak upaya konkret yang dilakukan Kemendikbud untuk mengeksekusi agendanya itu dengan kebijakan yang konkret, tegas, dan berdampak. Sejauh yang terlihat di media massa, Kemendikbud cenderung hanya memberikan imbauan, belum melakukan pencegahan dan memberikan tindakan nyata. Alhasil, pelaksanaan UN untuk SMA dan SMK pertengahan April lalu pun masih banyak diwarnai kecurangan dan penyimpangan.

       Penyimpangan paling menonjol yang terjadi kali ini adalah pembocoran soal ke internet serta jual beli kunci jawaban. Kecurangan jenis ini jelas sekali otak dan pelaku utamanya adalah orang dalam Kemendikbud. Tidak mungkin soal UN bocor keluar tanpa keterlibatan orang dalam. Kejahatan seperti ini hampir selalu terulang setiap tahun, tetapi kita sangat jarang melihat tindakan nyata yang dilakukan oleh Kemendikbud untuk mengatasi dan menuntaskannya.

       Maka, imbauan untuk berlaku jujur kepada siswa dan guru dalam pelaksanaan UN menjadi sangat ironis serta terasa sebagai upaya pelemparan tanggung jawab. Seharusnya Kemendikbud lebih dahulu melakukan pembersihan dan penindakan ke dalam sebab kecurangan yang terjadi sebagian besar bermula dari kejahatan yang dilakukan para oknum aparat Kemendikbud sendiri (dalam bentuk pembocoran dan jual beli soal).

Moratorium
        Banyaknya penyimpangan yang terus-menerus terjadi setiap tahun dalam UN kiranya sudah jelas menunjukkan bahwa UN merupakan program yang gagal. Beberapa manfaat UN, seperti sebagai sarana pemetaan mutu pendidikan dan referensi untuk pendaftaran ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, tak sebanding dengan masifnya kecurangan yang timbul, yang menyebabkan hasil UN tak lagi valid, representatif, dan kredibel untuk mengukur hasil kegiatan pendidikan. Oleh sebab itu, UN harus dimoratorium untuk kemudian diganti dengan kebijakan evaluasi lain yang lebih bebas dari berbagai bentuk penyimpangan sehingga hasilnya lebih valid, representatif, dan kredibel. 

No comments:

Post a Comment