Ujian nasional
(UN) yang diadakan setiap tahun selalu saja menimbulkan masalah. Setiap UN
digelar, sejumlah kerunyaman mengiringinya. Keterlambatan pengiriman soal ke
daerah, kebocoran soal dan kunci jawaban, kecurangan siswa yang dibiarkan atau
didukung guru, pemalsuan nilai oleh guru dan kepala sekolah, serta bentuk
penyimpangan lain nyaris selalu terjadi.
UN pun kemudian lebih dirasakan sebagai bagian dari masalah
ketimbang sebagai solusi yang mampu mengatasi problem pendidikan. Serangkaian
persoalan yang ditimbulkannya mengindikasikannya sebagai program yang lebih
mendatangkan mudarat daripada manfaat. Masifnya penyimpangan dan manipulasi
dalam UN menyebabkannya tidak dapat dijadikan instrumen untuk mengukur dan
menilai tingkat keberhasilan atau pencapaian pendidikan selain malah membuka
aib akan banyaknya praktik kotor dalam dunia pendidikan serta kian memperburuk
mutu dan menambah keterpurukan dunia pendidikan kita.
Pemborosan dan Kesenjangan
Ditambah dengan biaya penyelenggaraannya yang mahal –– setiap
pelaksanaan UN membutuhkan dana Rp 500-an miliar –– UN kian terasa sebagai
proyek pemborosan yang memberatkan negara. Setiap tahun dana Rp 500-an miliar
dihabiskan hanya untuk membiayai sebuah evaluasi pendidikan yang sarat
penyimpangan dan kecurangan. Ini jelas ironi yang tak mencerminkan nilai-nilai
paedagogi dan edukasi. Ini tak bisa lagi dianggap sebagai kejadian insidental
dan kasuistis, tetapi sudah bersifat patologis permanen, karena penyimpangan dan
kecurangan terjadi berulang-ulang setiap tahun.
Sementara itu, pemetaan mutu pendidikan sebagai salah satu
fungsi UN juga tak pernah jelas implementasi dan akuntabilitasnya. Lebih dari
sepuluh tahun penyelenggaraan UN, publik tidak pernah mendapat gambaran yang
jelas dan clear mengenai persebaran mutu pendidikan di Indonesia karena
sosialisasi dan publikasi mengenai hal itu oleh Kemendikbud minim sekali dilakukan.
Di sisi lain, upaya konkret untuk memperbaiki serta melakukan pemerataan mutu
pendidikan juga tak pernah dilakukan dengan terencana, terstruktur, dan
kontinu. Selama ini masih terus terjadi kesenjangan mutu pendidikan antara kota
dan desa serta antara Jawa dan luar Jawa.
Ironi Kejujuran
Setelah menyadari banyaknya kecurangan dalam penyelenggaraan
UN, belakangan Kemendikbud mencanangkan dan menyosialisasikan jargon dalam upaya
menekan terjadinya kecurangan. Kepada para pemangku kepentingan, terutama siswa
dan guru, Kemendikbud menekankan bahwa hal utama dalam mengikuti dan
mengerjakan soal-soal UN adalah berlaku jujur, jujur, dan jujur
(kata ‘jujur’ disebut tiga kali); barulah setelah itu prestasi (meraih nilai setinggi-tingginya). Jargon ini
terdengar baik, positif, dan indah; tetapi masalahnya, apakah sudah
diimplementasikan dengan optimal?
Hingga kini belum tampak upaya konkret yang dilakukan
Kemendikbud untuk mengeksekusi agendanya itu dengan kebijakan yang konkret,
tegas, dan berdampak. Sejauh yang terlihat di media massa, Kemendikbud cenderung hanya
memberikan imbauan, belum melakukan pencegahan dan memberikan tindakan nyata.
Alhasil, pelaksanaan UN untuk SMA dan SMK pertengahan April lalu pun masih
banyak diwarnai kecurangan dan penyimpangan.
Penyimpangan paling menonjol yang terjadi kali ini adalah
pembocoran soal ke internet serta jual beli kunci jawaban. Kecurangan jenis ini
jelas sekali otak dan pelaku utamanya adalah orang dalam Kemendikbud. Tidak
mungkin soal UN bocor keluar tanpa keterlibatan orang dalam. Kejahatan seperti
ini hampir selalu terulang setiap tahun, tetapi kita sangat jarang melihat
tindakan nyata yang dilakukan oleh Kemendikbud untuk mengatasi dan menuntaskannya.
Maka, imbauan untuk berlaku jujur kepada siswa dan guru dalam
pelaksanaan UN menjadi sangat ironis serta terasa sebagai upaya pelemparan tanggung
jawab. Seharusnya Kemendikbud lebih dahulu melakukan pembersihan dan penindakan
ke dalam sebab kecurangan yang terjadi sebagian besar bermula dari kejahatan
yang dilakukan para oknum aparat Kemendikbud sendiri (dalam bentuk pembocoran
dan jual beli soal).
Moratorium
Banyaknya penyimpangan yang terus-menerus
terjadi setiap tahun dalam UN kiranya sudah jelas menunjukkan bahwa UN
merupakan program yang gagal. Beberapa manfaat UN, seperti sebagai sarana
pemetaan mutu pendidikan dan referensi untuk pendaftaran ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi, tak sebanding dengan masifnya kecurangan yang timbul, yang
menyebabkan hasil UN tak lagi valid, representatif, dan kredibel untuk mengukur
hasil kegiatan pendidikan. Oleh sebab itu, UN harus dimoratorium untuk kemudian
diganti dengan kebijakan evaluasi lain yang lebih bebas dari berbagai bentuk
penyimpangan sehingga hasilnya lebih valid, representatif, dan kredibel.
No comments:
Post a Comment