Bagaimana asal usul munculnya demokrasi di dunia? Sebagai gagasan atau ide, kapan pemikiran tentang pentingnya demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat atau bernegara muncul? Bagaimana pula sejarah penerapan demokrasi sebagai sistem dalam kehidupan bermasyarakat atau bernegara?
Demokrasi muncul, tumbuh, dan berkembang bersamaan dengan perkembangan kehidupan dan pemikiran manusia. Pola kehidupan dan pemikiran manusia mengalami perkembangan sebagai bagian dari dinamika menuju peradaban yang lebih baik dan maju. Dapat dikatakan, munculnya pemikiran tentang demokrasi dilatarbelakangi oleh kehendak untuk menciptakan kehidupan (bermasyarakat dan bernegara) yang lebih baik.
Berdasarkan penelusuran literatur diperoleh informasi bahwa pemikiran-pemikiran mengenai demokrasi kali pertama muncul di Yunani, tepatnya di Kota Athena (sekarang menjadi ibu kota Yunani, sebuah negara yang masuk kawasan Eropa Selatan). Adapun orang pertama yang dianggap mencetuskan ide mengenai demokrasi adalah Socrates, pujangga dan filsuf besar Yunani yang hidup tahun 300-an SM (sebelum Masehi). Menurut Plato, secara tidak langsung Socrates menjadi tokoh yang pertama melontarkan gagasan tentang demokrasi –– dan juga tentang hukum dan negara (dalam Soehino, 2000: 14).
Sebuah sumber menyebutkan, Socrates sendiri sebenarnya tidak pernah meninggalkan tulisan-tulisan (buku, artikel, esai, dan sebagainya) yang memuat pemikiran-pemikirannya mengenai demokrasi. Akan tetapi, Socrates mengajarkan banyak ide positif dan progresif kepada murid-muridnya. Beberapa pemikiran dan ajaran Socrates yang kemudian mencuat dan banyak dibahas oleh Plato –– salah satu murid Socrates –– adalah nilai-nilai mengenai demokrasi, hukum, dan negara.
Gagasan-gagasan Socrates tentang demokrasi, hukum, dan negara dapat dikatakan terasa baru dan maju untuk ukuran kehidupan saat itu. Dengan ide-ide pembaharuannya, Socrates bahkan dianggap membahayakan dan merusak alam pikiran masyarakat sehingga ia kemudian dihukum mati oleh penguasa setempat –– dengan cara dipaksa minum racun. Socrates memang meninggal, tetapi jiwa dan pemikiran-pemikirannya ternyata terus hidup di tengah masyarakat.
Orang yang berjasa “menghidupkan”-nya terus tidak lain adalah Plato, sang murid setianya. Plato menulis beberapa buku yang banyak memuat pemikiran Socrates. Buku karya Plato banyak memberi tempat bagi ide cemerlang Socrates. Dalam berbagai hal, buku-buku Plato berisi tanya-jawab, yang jawaban-jawabannya diuraikan menurut ajaran-ajaran Socrates.
Berangkat dari pemikiran-pemikiran Socrates, Plato kemudian mampu melahirkan pemikiran sendiri tentang hukum, negara, dan pemerintahan. Tidak sebagaimana Socrates yang tidak sempat menulis buku, Plato mampu melahirkan sejumlah buku. Buku-buku penting yang ditulisnya, antara lain, Politeia (memuat ajaran tentang negara dan hukum), Politikos (memuat hal-ihwal ahli negara), dan Nomoi (tentang undang-undang). Pemikiran Plato mengenai hukum, negara, dan pemerintahan sangat dipengaruhi oleh alam pikirannya dalam bidang filsafat.
Mengenai bentuk negara atau bentuk pemerintahan, Plato menyatakan bahwa aristokrasi merupakan bentuk negara atau pemerintahan yang terbaik. Dalam pandangan Plato, aristokrasi adalah negara yang pemerintahannya dipegang oleh kaum cerdik pandai yang berbakat dan bijaksana. Kaum cerdik pandai inilah yang dianggap dapat menjalankan pemerintahan dengan berpedoman pada keadilan, mampu membawa kebahagiaan, serta mampu mencapai tujuan negara.
Namun, menurut Plato, pemerintahan aristokrasi dapat jatuh menjadi timokrasi jika pergantian kepepimpinan atau pemerintahan berlangsung secara turun-temurun. Pemimpin dan pemerintahan baru yang mendapatkan kekuasaan secara mudah melalui proses pewarisan (turun-temurun) dapat terperosok pada perilaku kurang bertanggung jawab, mementingkan diri sendiri, serta mengabaikan keadilan dan kepentingan umum. Di dalam pemerintahan timokrasi, tindakan penguasa dilakukan dan ditujukan untuk kepentingan si penguasa sendiri. Kekayaan dan penghasilan negara diambil alih menjadi milik penguasa serta diselewengkan untuk kepentingan mereka sendiri. Oleh sebab itu, kekuasaan negara kemudian dapat jatuh dan dipegang oleh kaum hartawan. Akibat lanjut dari situasi ini, dapat diciptakan undang-undang yang bersifat diskriminatif, yakni yang menentukan bahwa yang berhak memegang pemerintahan hanyalah orang-orang kaya. Di dalam kehidupan masyarakat pun, yang mendapat penghormatan hanyalah mereka yang kaya.
Jika hal itu terjadi, maka timokrasi dapat menjelma menjadi oligarki. Di dalam oligarki, mereka yang memegang tampuk pemerintahan –– yakni orang-orang kaya –– memiliki nafsu atau kecenderungan untuk hidup lebih kaya lagi. Keadaan ini menimbulkan terjadinya kemiskinan umum: sebagian besar rakyat hidup miskin, sementara para penguasa hidup kaya.
Namun, ironi tersebut dapat memicu kekecewaan dan kemarahan rakyat. Kekecewaan dan kemarahan rakyat dapat berakumulasi menjadi perlawanan dan pemberontokan. Manakala pemberontakan rakyat sukses, pemerintahan negara akan berpindah ke tangan rakyat. Dalam genggaman rakyat, pemerintahan akan dijalankan dengan mengutamakan kepentingan rakyat atau umum. Negara yang pemerintahannya dipegang oleh rakyat dengan mengutamakan kepentingan umum seperti inilah yang kemudian disebut demokrasi.
Menurut Plato, dalam pemerintahan demokrasi, kemerdekaan atau kebebasan menjadi prinsip pokok. Dalam demokrasi, kebebasan menjadi hal yang diutamakan. Akan tetapi, karena terlalu diagung-agungkan, kebebasan justru dapat menjadi bumerang. Dalam situasi pengagung-agungan kebebasan, masyarakat dapat tergiring pada sikap menginginkan kebebasan yang sebebas-bebasnya (kebebasan absolut/mutlak) sehingga dapat terjadi anarki (kekacauan) akibat setiap orang bersikap dan berperilaku sesuka hati dan tidak bersedia diatur.
Dalam keadaan semacam itu, dapat muncul kehendak bagi munculnya seorang pemimpin yang kuat dan keras. Pemimpin yang demikian diharapkan dapat mengatasi kekacauan. Oleh sebab itu, kemudian dipilih atau ditunjuk seseorang –– yang dianggap memiliki bakat kepemimpinan –– untuk memimpin pemerintahan.
Hal itu selanjutnya dapat menyebabkan pemerintahan negara berubah menjadi tirani. Pemimpin bisa berubah menjadi penguasa yang mengutamakan kepentingan diri sendiri, melalaikan tugas penegakan keadilan dan kebenaran, serta menyingkirkan para pesaing politiknya. Pemerintahan tirani juga akan senantiasa berusaha menekan dan bahkan menindas rakyatnya.
Tirani, menurut Plato, merupakan bentuk peme-rintahan negara yang paling buruk. Adapun pemimpin pemerintahan tirani –– yang disebut dengan tiran –– dianggap Plato sebagai seorang penjahat sejati yang berusaha memuaskan semua hasratnya. Kendatipun berada di puncak kekuasaan, seorang tiran menjadi mangsa dari hawa nafsunya sendiri sehingga sesungguhnya –– di luar kesadarannya –– ia menjadi makhluk yang tidak bahagia serta lebih sengsara dari rakyat (yang ditindasnya).
Plato juga mengaitkan bentuk pemerintahan dengan undang-undang. Jika suatu negara sudah memiliki undang-undang, maka menurutnya, bentuk pemerintahan terbaik adalah monarki. Adapun jika undang-undang itu belum dimiliki, maka bentuk pemerintahan yang terbaik bagi negara yang bersangkutan adalah demokrasi.
Pemikiran tentang demorasi terus muncul dan berkembang bersamaan dengan pemikiran mengenai hukum, pemerintahan, dan negara. Aristoteles, yang merupakan murid Plato, dalam pemikirannya mengenai negara juga menyinggung demokrasi. Pada masa Romawi Kuno, muncul pemikir-pemikir seperti Polybius dan Cicero, yang pemikirannya mengenai negara dan pemerintahan secara garis besar masih dipengaruhi oleh para pemikir Yunani. Dalam mencoba merumuskan bentuk pemerintahan yang baik, Aristoteles mengembangkan gagasan Plato dengan berusaha mengombinasikan sistem pemerintahan monarki dengan demokrasi. Adapun Polybius berpendapat bahwa pemerintahan yang stabil adalah hasil gabungan dari elemen monarki, aristokrasi, dan demokrasi.
Umumnya, pemikiran mengenai demokrasi menjadi bagian dari pemikiran mengenai negara dan pemerintahan yang dikaitkan dengan hukum dan undang-undang. Setelah berlalunya era Yunani dan Romawi Kuno, pemikiran tentang negara dan pemerintahan terus muncul dan berkembang di Eropa. Pada abad pertengahan (abad V–XV) muncul pemikiran Agustinus , Thomas Aquinas, Marsilius, dan Dante. Pada zaman Renaissance (abad XVI), mencuat nama Niccolo Machiavelli (Italia), Thomas Morus (Inggris), dan Jean Bodin (Prancis).
Gagasan tentang negara, pemerintahan, hukum, dan demokrasi mengalami pertumbuhan dan kemajuan pesat pada zaman berkembangnya hukum alam. Pada masa itu, terjadi koreksi dan pembaruan dalam pemikiran tentang negara, pemerintahan, dan demokrasi. Zaman berkembangnya hukum alam ditandai oleh munculnya pemikir-pemikir besar dan penting, seperti Hugo de Groot (Belanda), Thomas Hobbes (Inggris), Benedictus de Spinoza (Belanda), John Locke (Inggris), Montesquieu (Prancis), J.J. Rousseau (Prancis), dan Immanuel Kant (Jerman). Kemudian, muncul pula zaman berkembangnya teori kekuatan (kekuasaan), yang dipelopori oleh Oppenheimer, Karl Marx, Harold J. Laski, dan Leon Duguit.
Dalam pandangan Machiavelli, terdapat tiga unsur kekuasaan yang dapat menjaga kepentingan rakyat, yakni kerajaan (principato), dewan perwakilan kalangan atas (ottimati), dan partisipasi seluruh rakyat (popolare). Machiavelli tidak menyebut langsung kata ‘demokrasi’. Namun, unsur ketiga dalam gagasannya tersebut, yakni partisipasi seluruh rakyat, merupakan aspek yang sangat terkait dengan demokrasi.
Dalam pada itu, John Locke menyatakan bahwa untuk mendelegasikan kepentingan rakyat, dapat diciptakan lembaga atau organ politik yang memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda. Ia menggagas adanya unsur legislatif (pembuatan undang-undang dan pelaksanaan hukum) dan yudikatif (pelaksanaan undang-undang dan hukum). Menurut Locke, pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang dipegang oleh seorang raja yang memiliki kekuasaan eksekutif serta dilengkapi sebuah parlemen yang mempunyai kekuasaan/wewenang untuk membuat hukum dan undang-undang.
Ide Locke tersebut kemudian dikembangkan oleh Montesqueiu dengan pemisahan tiga unsur kekuasaan, yakni kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pemisahan yang dilakukan oleh Montesqueiu ini masyhur dengan sebutan tria politica (trias politika). Prinsip ini kemudian menjadi kaidah bagi penerapan sistem politik modern. Pada masa modern, trias politika diterapkan oleh banyak negara di dunia yang menganut sistem pemerintahan demokrasi.
Pada perkembangan mutakhir, muncul pemikiran demokrasi yang lebih luas. Pemikiran demokrasi yang lebih luas dikaitkan dengan praktik atau penerapan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam periode ini, demokrasi juga dikaitkan dengan masalah kemiskinan dan kemakmuran serta sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi. Pemikir yang populer dalam periode ini, antara lain, Joseph Schumpeter, Larry Diamond, David Held, Amartya Sen, Milton Friedman, dan Seymour Lipset.
Dalam pandangan Schumpeter, demokrasi merupakan metode politik yang digunakan untuk memilih pemimpin melalui mekanisme yang kompetitif. Larry Diamond, Juan Linz, dan Seymour Martin menyatakan bahwa sistem politik yang demokratis, antara lain, memenuhi kriteria: (1) kompetisi yang sungguh-sungguh dan meluas di antara individu-individu dan kelompok masyarakat, (2) partisipasi politik yang melibatkan seluruh warga, dan (3) tingkat kebebasan sipil dan politik yang memadai. Adapun David Held membahas demokrasi sampai pada kaitannya dengan penegakan prinsip dasar otonomi individu. Menurut Held, dalam demokrasi setiap orang harus bebas dan sederajat dalam menentukan kehidupannya; dalam pengertian, setiap orang harus memperoleh hak dan kewajiban yang sama.
Amartya Sen membahas kaitan kemiskinan dengan prinsip penting demokrasi, yakni kebebasan. Ia menyatakan bahwa kemiskinan muncul bukan karena orang miskin tidak memiliki barang, melainkan karena ruang kapabilitas yang mereka miliki kecil. Orang menja-di miskin akibat mereka ‘tidak dapat melakukan sesuatu’, bukan akibat mereka ‘tidak memiliki sesuatu’. Itulah sebabnya, kebebasan menjadi faktor yang sangat berarti: kebebasan merupakan syarat pokok yang memungkinkan orang (miskin) dapat melakukan tindakan untuk memiliki sesuatu. Dalam kaitan ini, paham demokrasi memiliki makna yang kontekstual. Demokrasi yang membawa kebe-basan serta keberadaan lembaga-lembaga yang demokratis akan menyediakan ruang dan kesempatan yang luas bagi seluruh warga negara untuk mengakses dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya.
Milton Friedman menyatakan bahwa kebebasan politik bertalian erat dengan kebebasan ekonomi. Menurut peraih Nobel bidang ekonomi ini, demokrasi merupakan hasil dari perkembangan pasar bebas yang dioperasikan oleh sistem kapitalis. Oleh sebab itu, ia berkesimpulan bahwa pengembangan lembaga-lembaga ekonomi yang berkarakter kapitalis menjadi syarat yang harus dipenuhi dalam upaya melaksanakan sistem poltik yang demokratis.
Pendapat Friedman kemudian disokong oleh Seymour Lipset. Ia menyatakan dan percaya, hanya negara-negara makmurlah yang akan mampu menerapkan atau melaksanakan sistem politik yang demokratis. Ia memaparkan, negara-negara yang demokratis umumnya adalah negara-negara yang tingkat kemakmurannya tinggi. Makin makmur suatu negara, akan makin besar kesempatan dan kemampuannya dalam mempertahankan demokrasi.
Artikel tentang demokrasi, hak asasi manusia, politik, hukum, ekonomi, pendidikan, bela negara, sejarah, ideologi, bahasa, agama, olahraga, globalisasi, seni budaya, teknologi, lingkungan, pengembangan diri, tokoh inspiratif, sistem pertahanan dan keamanan negara, pemberantasan korupsi, demografi, dan sebagainya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
-
Keberadaan, keutuhan, dan keberlangsungan bangsa dan negara Republik Indonesia wajib dipertahankan oleh bangsa Indonesia sendiri. Indonesia...
-
Masyarakat, bangsa, dan negara di dunia umumnya sadar bahwa hukum memiliki kegunaan yang sangat penting. Modernitas, kemajuan, d...
-
Apakah dengan ciri-ciri demokrasi yang dimilikinya suatu negara atau masyarakat dapat hidup dalam suasana demokrasi (demokratis)? De...
No comments:
Post a Comment