Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang majemuk atau beragam. Kemajemukan bangsa Indonesia
ditandai oleh banyak dan beraneka ragamnya kesatuan sosial berdasarkan suku,
penganut agama, penutur bahasa, pelaku budaya, dan sebagainya yang tersebar di
berbagai pelosok Nusantara. Di luar kelompok-kelompok tersebut masih terdapat
lagi kesatuan-kesatuan sosial lain berdasarkan ideologi, organisasi politik, asosiasi
ekonomi, perkumpulan profesi, dan sebagainya.
Di
sisi satu keberagaman tersebut menjadi berkah karena merupakan sebuah kekayaan
yang tak ternilai. Namun, di sisi lain, keberagaman semacam itu dapat menjadi
sumber terjadinya ketegangan dan konflik. Banyak dan beragamnya kesatuan sosial
yang masing-masing memiliki karakteristik dan kepentingan yang berbeda-beda
dapat menimbulkan gesekan atau benturan yang berujung pertentangan dan konflik.
Lalu,
apa kaitan keberagaman dengan kesetaraan? Bagaimankah hubungan di antara keduanya? Apa fungsi dan urgensi kesetaraan
bagi keberagaman masyarakat Indonesia? Hubungan keberagaman dan kesetaraan
adalah hubungan yang bersifat prasyarat; artinya, salah satu menjadi prasyarat
bagi lainnya. Lebih konkretnya, sebagai kondisi riil, keberagaman memang merupakan
sebuah kekayaan atau mungkin keunggulan, tetapi sekaligus juga menjadi sebuah
risiko karena dapat menjelma menjadi semacam kotak pandora yang mendatangkan
masalah (ketegangan dan konflik) sehingga dibutuhkan alat peredam atau
penjinaknya.
Nah,
kesetaraan itulah salah satu alat peredam atau penjinak bagi keberagaman
karena keberagaman dapat meledak menjadi konflik. Oleh sebab itu, keberagaman
memerlukan kesetaraan agar tak berkembang ke arah yang menyimpang dan
merugikan. Kita tentu bangga dengan keberagaman dan akan terus membiarkannya
demikian, tetapi kita juga perlu memberlakukan syarat, keberagaman harus dijaga
dengan senantiasa memegang prinsip-prinsip kesetaraan. Akan tetapi, sebelum
Anda mengikuti pembahasan lebih jauh dan detail mengenai hubungan keberagaman
dan kesetaraan, Anda lebih dahulu akan diperkenalkan dengan keberagaman yang
ada di Indonesia.
A. Keberagaman Masyarakat Indonesia
Menurut
Furnivall, masyarakat majemuk (plural society) adalah masyarakat yang
terdiri atas dua atau lebih elemen dan tatanan sosial yang hidup berdampingan, tetapi
tidak terintegrasi dalam satu kesatuan politik. Sementara itu, terkait dengan
karakteristik masyarakat Indonesia, Clifford Geertz menyatakan, kendatipun
masyarakat Indonesia telah terbentuk sejak tahun 1945 dengan sistem sosial
masyarakat yang bersifat multietnik, multiagama, multibahasa, dan multiras,
cenderung tidak banyak mengalami perubahan serta sulit terintegrasi. Faktor
integrasi dalam masyarakat majemuk dapat menjadi permasalahan tersendiri yang
rumit dalam konteks kerekatan sosial dan keutuhan nasional suatu negara.
Masyarakat mejemuk (heterogen) memiliki karakteristik atau
ciri-ciri yang berbeda dengan masyarakat tunggal (homogen). Perbedaan yang
menyolok adalah masyarakat majemuk memiliki kompleksitas dan kerentanan yang
lebih tinggi. Menurut Van de Berg, masyarakat majemuk mempunyai karakteristik
sebagai berikut:
- terintegrasinya masyarakat ke dalam kelompok-kelompok sosial yang mempunyai ciri khas budaya yang berbeda satu sama lain,
- adanya lembaga-lembaga sosial yang saling tergantung satu sama lain akibat tingkat perbedaan budaya yang tinggi,
- kurangnya pengembangan konsensus di antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai sosial yang bersifat dasar,
- kecenderungan terjadinya konflik antarkelompok lebih besar,
- integrasi sosial tumbuh di antara kelompok sosial yang satu dengan yang lain, serta
- adanya penguasaan politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain.
1. Keberagaman Suku dan Budaya
Seperti
kita ketahui, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki keberagaman
budaya yang tinggi. Faktor penting yang mempengaruhi keberaragaman budaya bangsa
Indonesia adalah perbedaan kelompok-kelompok
dalam masyarakat berdasarkan ras dan etnik. Perbedaan ras dan etnik secara
alami membentuk keberagaman sosial budaya masyarakat Indonesia.
Etnik
ialah sejumlah besar individu yang memandang diri memiliki kesatuan budaya yang
ditimbulkan oleh sifat-sifat budaya masyarakat dan interaksi timbal balik
secara terus-menerus. Anggota kelompok etnik memiliki peranan dan identitas
yang sama berdasarkan asal-usul, bahasa, agama, tradisi, dan perjalanan hidup.
Sebuah kelompok etnik membedakan dirinya dengan kelompok lain menurut ciri-ciri
budaya lokal yang mereka miliki.
Secara
struktur sosial, dalam masyarakat Indonesia terdapat banyak perbedaan budaya
dan adat istiadat di antara suku bangsa. Di berbagai daerah dengan mudah dapat
kita jumpai keberagaman suku bangsa dan agama. Suku bangsa Aceh, misalnya,
mayoritas memeluk agama Islam, suku bangsa Batak mayoritas menganut agama
Kristen, serta suku bangsa Minangkabau mayoritas menganut agama Islam.
Dewasa
ini di negara kita terdapat kurang lebih 500 suku bangsa. Mereka hidup tersebar
di pelosok-pelosok Nusantara, tinggal di ribuan pulau besar dan kecil, serta
hidup dengan berbagai mata pencaharian. Selain menganut agama yang
berbeda-beda, mereka menjalani hidup dengan budaya mereka masing-masing. Perbedaan
adat istiadat, tradisi, bahasa, dan unsur-unsur budaya lain menjadi penanda
keberadaan mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang majemuk dan multikultural.
2. Keberagaman Agama
Ciri
kemajemukan lain dari bangsa Indonesia adalah keberagaman agama. Masyarakat
Indonesia yang mulanya menganut kepercayaan nenek moyang animisme dan
dinamisme, melalui proses sejarah yang panjang mengalami perubahan keimanan.
Kedatangan bangsa-bangsa asing (India, Persia, Arab, Tiongkok, Portugis,
Belanda, dan Inggris) melalui aktivitas perdagangan, diplomasi, serta
kolonialisme dan imperialisme di Indonesia membawa pengaruh besar pada
kepercayaan dan keimanan masyarakat Indonesia. Proses dan aktivitas tersebut
mengubah kepercayaan dan keimanan sebagian besar masyarakat Indonesia dari
semula menganut animise dan dinamisme menjadi beralih menganut agama-agama baru
(baru dalam pandangan mereka).
Maka,
sebagaimana yang kita saksikan saat ini, bangsa kita menganut agama Hindu,
Buddha, Islam, Protestan, Katolik, dan Konghucu. Secara formal, keenam agama
itulah yang saat ini diakui oleh negara. Dianutnya keenam agama tersebut pada
awalnya merupakan hasil interaksi masyarakat kita dengan masyarakat asing yang
datang ke Indonesia untuk berbagai keperluan.
3. Keberagaman Bahasa
Bahasa
sebenarnya merupakan unsur atau bagian dari kebudayaan –– maksudnya, kebudayaan
dalam arti luas mencakup pula unsur bahasa. Namun, dalam konteks keberagaman
masyarakat Indonesia, bahasa perlu disinggung secara tersendiri karena bahasa
merupakan komponen yang sangat vital dalam kehidupan manusia umumnya dan
masyarakat Indonesia khususnya. Bahasa menjadi alat yang memungkinkan manusia
dapat berkomunikasi dengan sesamanya sehingga kemudian dapat berinteraksi untuk
mengembangkan hubungan-hubungan lebih lanjut dalam upaya memenuhi keperluan-keperluan
hidup yang jumlahnya sangat banyak dan hampir tak terbatas.
Secara
nasional, masyarakat Indonesia telah memiliki bahasa tersendiri yang disebut
‘bahasa Indonesia’, tetapi secara kedaerahan setiap kelompok suku memiliki
bahasa tersendiri yang lazim disebut ‘bahasa daerah’. Oleh sebab itu, di tengah
keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara,
masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang memiliki keberagaman bahasa.
Keberagaman bahasa ini tampak dari begitu banyaknya bahasa daerah yang ada dan
digunakan oleh kelompok-kelompok suku di tanah air. Perlu dicatat, bahasa
Indonesia sendiri lahir dan terbentuk justru dari “rahim” bahasa daerah, yakni
bahasa daerah Melayu Riau.
Keberagaman
bahasa yang dimiliki masyarakat Indonesia begitu tinggi dan menakjubkan. Hampir
setiap kelompok suku memiliki bahasa daerah sendiri yang umumnya diberi nama
sesuai dengan nama sukunya masing-masing –– suku Jawa memiliki bahasa Jawa,
suku Aceh memiliki bahasa Aceh, suku Sunda memiliki bahasa Sunda, suku Dayak
memiliki bahasa Dayak, dan sebagainya. Dengan demikian, jika sekarang ini di
negara kita terdapat kurang lebih 500 suku, maka jumlah bahasa daerah yang ada
di Nusantara setidaknya juga kurang lebih sebanyak itu.
4. Keberagaman Ideologi
Ideologi
adalah kumpulan konsep sistematis yang dijadikan asas pendapat yang memberikan
arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Ideologi juga dapat diartikan cara
berpikir individu atau sekelompok individu. Pengertian lain menyatakan ideologi
merupakan paham, teori, dan tujuan yang menjadi suatu program sosial politik.
Di
Indonesia sudah jelas dan menjadi harga mati bahwa ideologi bangsa dan negara
adalah Pancasila. Namun, sejalan dengan perkembangan zaman serta ilmu
pengetahuan dan teknologi, Pancasila tidak menjadi satu-satunya ideologi yang
dianut oleh masyarakat Indonesia. Secara nasional dapat dikatakan, semua
masyarakat Indonesia mengakui dan menganut Pancasila sebagai ideologi pokok
yang tak akan berubah. Akan tetapi, beberapa perkembangan baru menunjukkan bahwa
sebagian masyarakat terpelajar Indonesia –– dengan tetap menjadikan Pancasila
sebagai ideologi utama –– memiliki kecenderungan untuk menganut dan
mengembangkan ideologi lain yang secara substansial tidak bertentangan dengan
Pancasila.
Sebagai
ideologi terbuka, Pancasalia sendiri dapat menerima masuknya nilai-nilai lain
–– dari mana pun asalnya –– sepanjang tak bertentangan dengan nilai-nilai dasar
Pancasila. Sebagai ideologi, Pancasila tidak bersifat kaku, beku, dan tertutup.
Pancasila justru bersifat dinamis dan terbuka. Hal ini menunjukkan, Pancasila
dapat diperlakukan dengan luwes dan kreatif oleh bangsa Indonesia. Sebagai
ideologi, Pancasila dapat menjadi landasan yang lentur dalam menghadapi dan
menjalani kehidupan yang terus-menerus berkembang dan berubah akibat perputaran
zaman.
Sadar
akan perkembangan tersebut sebagian kalangan terpelajar mengembangkan ideologi-ideologi
lain sebagai varian. Namun, pengembangan ini lebih banyak dilakukan pada
tataran pemikiran saja, bukan praksis (dipraktikkan). Maka, saat ini dapat
disaksikan bebarapa kalangan akrab dengan ideologi seperti liberalisme dan
sosialisme. Selain ideologi global, muncul dan berkembang pula varian-varian
ideologi sempalan yang bersifat politis
dan lokal, seperti nasionalis dan Islam nasionalis.
5. Keberagaman Politik
Keberagaman
politik yang dimaksudkan di sini ialah kemajemukan organisasi politik. Dengan
pengertian bahwa politik merupakan hal-ihwal yang bersangkut paut dengan
masalah ketatanegaraan dan pemerintahan negara, maka lebih spesifik organisasi
politik yang dimaksud tidak lain adalah partai politik. Partai politik
mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara karena menjadi
“mesin” penghasil calon pemimpin pemerintahan negara dan anggota lembaga wakil
masyarakat (parlemen).
Pada era Orde Baru
yang otoriter jumlah partai politik sangat terbatas –– hanya ada tiga: Golkar,
PPP, dan PDI –– serta masyarakat dilarang secara keras untuk mendirikan partai
politik baru. Akan tetapi, pada era reformasi yang jauh lebih bebas dan
demokratis, jumlah partai politik menjadi begitu banyak. Setelah tumbangnya
rezim Orde Baru, masyarakat sangat antusias mendirikan partai politik sehingga
dengan latar belakang ideologi dan platform yang beragam, partai politik
tumbuh menjamur. Pemilihan umum era reformasi paling mutakhir, yakni pemilu
2014, diikuti oleh 12 partai politik, sementara pemilu-pemilu sebelumnya diikuti
lebih banyak lagi partai politik.
B. Kesetaraan
untuk Mewujudkan Harmoni Keberagaman
Jika Anda kembali mempelajari sejarah
nasional periode tahun 1998–2000, Anda akan menjumpai keadaan yang melegakan
sekaligus menyedihkan. Mengapa demikian? Melegakan dan menyedihkan adalah
gambaran Indonesia pada periode tahun 1998–2000 akibat pecahnya peristiwa-peristiwa
besar yang sebagian kita kehendaki dan sebagiannya lagi sama sekali tidak
diharapkan terjadi. Melegakan karena pada tahun 1998 pemerintahan Orde Baru
yang otoriter dan menjerumuskan Indonesia ke jurang krisis berat tumbang oleh
gerakan reformasi serta menyedihkan karena pada tahun itu pula hingga tahun
2000 Indonesia dilanda konflik hebat (bahkan nyaris seperti perang saudara)
yang menyebabkan ribuan warga meninggal serta harta benda bernilai triliunan
rupiah hancur dan musnah.
Faktor apakah yang menyebabkan pecahnya
konflik hebat ketika itu? Berbagai faktor bisa menjadi penyebabnya, tetapi satu
hal pasti yang mencuat adalah konflik yang terjadi melibatkan kelompok-kelompok
yang berbeda secara etnik, agama, dan golongan. Konflik di Jakarta dan Solo
pada tahun 1998 melibatkan etnik-etnik pribumi dan Tionghoa, konflik di Ambon
dan Maluku (1999) menghadapkan umat agama Islam dan Nasrani, konflik di Sambas
(2000) melibatkan etnik Dayak dan Madura, konflik di Kalimantan Barat (2000)
melibatkan etnik Melayu dan Madura, serta konflik di Banyuwangi dan sekitarnya
(2000) melibatkan golongan dan kelompok politik.
Semua konflik itu terjadi di tengah
keberagaman etnik, agama, golongan, dan sebagainya sekaligus juga melibatkan
dan menghadap-hadapkan kelompok-kelompok yang bersangkutan. Di luar masalah
faktor penyebab, hal itu menunjukkan bahwa keberagaman dan perbedaan menimbulkan
kerawanan-kerawanan yang dapat memicu pertentangan dan konflik. Dengan kata
lain, keberagaman dan perbedaan potensial menimbulkan perselisihan,
pertentangan, dan konflik.
Dan Indonesia, sebagai bangsa yang memiliki
keberagaman atau kemajemukan tinggi, dapat menjadi lahan subur bagi terjadinya
konflik. Jika tidak dikelola dengan baik, keberagaman dan perbedaan dapat
menjadi “ladang ranjau” yang mudah sekali meledak hanya dengan sedikit
sentuhan. Menurut pakar politik dan peradaban, Samuel Huntington, Indonesia
adalah negara yang memiliki potensi disintegrasi terbesar ketiga setelah
Yugoslavia dan Uni Soviet pada akhir abad ke-20 –– dan kita tahu kedua negara
ini sekarang telah lenyap dari muka bumi akibat dilanda konflik internal.
Adapun menurut Clifford Geertz, apabila
bangsa Indonesia tidak mampu mengelola keberagaman etnik, budaya, dan
solidaritas etniknya, Indonesia akan berpotensi pecah menjadi negara-negara
kecil.
1. Potensi
Konflik
Sebagai
bangsa yang majemuk, Indonesia memiliki berbagai potensi konflik yang tersembunyi.
Potensi itu dapat muncul, tumbuh, dan berkembang dari sifat keberagaman dan
perbedaan. Dari beberapa potensi tersebut, dua di antaranya dapat menjadi faktor
yang paling mengancam dan paling berbahaya. Kedua potensi itu adalah primordialisme
dan etnosentrisme.
Primordialisme
biasanya melakat pada kelompok-kelompok suku, ras, penganut agama, golongan, dan
sebagainya. Secara di luar kesadaran, kelompok-kelompok suku, ras, penganut
agama, dan sebagainya cenderung akan mengembangkan ikatan-ikatan primordial,
yakni loyalitas berlebihan yang menonjolkan kepentingan kelompoknya
masing-masing. Loyalitas semacam ini akan mengurangi loyalitas kepada bangsa
dan negara sehingga dapat mengancam integrasi nasional.
Ancaman
akan menjadi bertambah besar dan berbahaya manakala kelompok-kelompok suku,
ras, penganut agama, dan sebagainya yang terseret primordialisme terorganisasi
secara politik serta kemudian mengembangkan politik aliran atau sektarian. Jika
sudah demikian, mereka akan mengajukan tuntutan-tuntutan tertentu untuk kepentingan kelompoknya. Apabila tuntutan
mereka tidak diakomodasi dan dikabulkan, manuver mereka akan berkembang menjadi
gerakan separatisme: berusaha memisahkan diri dan menjadi negara baru.
Sementara
itu, etnosentrisme muncul sebagai akibat dari sikap eksklusif (tertutup) dan
kebanggan diri. Etnosentrisme adalah sikap atau pandangan yang berpangkal pada
masyarakat dan kebudayaan sendiri yang biasanya disertai dengan sikap dan
pandangan yang meremehkan masyarakat dan kebudayaan lain. Sikap ini tumbuh
akibat adanya anggapan bahwa pandangan hidup dan sistem nilai milik sendiri
berbeda dan lebih tinggi atau lebih baik dibandingkan dengan hal serupa yang
dimiliki kelompok masyarakat lain.
Etnosentrisme
dapat melahirkan sikap lain yang sama negatifnya, yakni stereotip dan
xenofobia. Stereotip merupakan
pandangan atau anggapan mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka
yang subjektif dan tidak tepat. Adapun xenofobia merupakan kekhawatiran atau
ketakutan tak beralasan terhadap orang asing sehingga dapat memicu tumbuhnya
perasaan benci kepada orang asing –– orang asing dalam hal ini dapat berarti
orang dari kelompok lain yang tidak dikenal.
Baik primordialisme maupun etnosentrisme
jelas dapat menjadi pemicu terjadinya perselisihan, ketegangan, pertentangan,
dan konflik antarkelompok. Dari begitu banyaknya kelompok suku, ras, penganut
agama, golongan, dan sebagainya, kita tidak dapat menjamin bahwa semuanya
baik-baik saja serta bebas dari sikap primordialisme dan etnosentrisme.
Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa terjadinya perselisihan, ketegangan,
dan konflik antarkelompok seringkali bermula dari sikap yang berbau primordial
atau etnosentris sehingga, bagaimanapun juga, kita harus senantiasa waspada
serta menempuh langkah-langkah pencegahan.
2. Meredam
Potensi Konflik dengan Prinsip Kesetaraan
Di
muka sudah disinggung secara sepintas bahwa kesetaraan merupakan salah satu
alat peredam bagi keberagaman yang potensial menimbulkan ketegangan dan
konflik. Mengapa kesetaraan dapat dijadikan peredam bagi potensi-potensi
konflik akibat keberagaman? Jawaban sederhana atas pertanyaan ini ialah karena
salah satu faktor penting penyebab terjadinya ketegangan dan konflik
antarkelompok adalah ketiadaan kesetaraan di antara kelompok-kelompok yang ada
dan berkembang di tengah masyarakat. Ketiadaan atau minimnya kesetaraan dalam
interaksi antarkelompok menyebabkan ketimpangan hubungan yang memicu
berkembangnya ketegangan yang kemudian berakhir menjadi konflik.
Mungkin
memang benar bahwa penyebab laten atau tersembunyi meledaknya konflik adalah
primordialisme dan etnosentrisme. Akan tetapi, primordialisme dan etnosentrisme
sebenarnya lebih merupakan pembawaan alamiah dan manusiawi kelompok yang dapat
diakomodasi dan dinetralisasi. Selama dibiarkan berkembang tanpa kendali,
primordialisme dan etnosentrisme akan bergerak liar mencari sasaran-sasaran
pelampiasan hingga memicu ketegangan dan konflik yang merugikan, tetapi jika
diredam dan dinetralkan dengan cara yang tepat, akan berhenti dan dapat berubah
menjadi familiarisme (sifat kekeluargaan dan persaudaraan) yang menguntungkan.
Secara
sosiologis, selain memiliki kecenderungan bersikap primordial dan etnosentris,
kelompok-kelompok suku, ras, penganut agama, golongan, dan sebagainya
sebenarnya juga memiliki potensi positif, yakni sifat-sifat kemanusiaan seperti
keinginan untuk bekerja sama serta semangat kekeluargaan dan persaudaraan.
Sifat primordial dan etnosentris di sisi satu serta keinginan bekerja sama
serta semangat kekeluargaan dan persaudaraan di sisi lain masing-masing akan
tumbuh dan berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Jika
situasi dan kondisi yang dihadapi serbaburuk, misalnya banyak kesenjangan dan
ketidakadilan serta penuh tekanan, maka hampir pasti sifat primordial dan etnosentris
yang akan muncul lebih dominan sebagai bentuk pertahanan diri. Dan demikian
juga sebaliknya, manakala situasi dan kondisi yang dihadapi serbakondusif, misalnya
penuh toleransi, tiada kesenjangan, dan keamanan terjamin, maka hampir pasti
pula keinginan bekerja sama serta semangat kekeluargaan dan persaudaraan akan
lebih menonjol sebagai bentuk upaya pengembangan dan penyejahteraan diri.
Bagaimanapun
juga, manusia tetaplah memiliki bakat dan pembawaan positif. Secara umum,
mereka mempunyai potensi karakter untuk bersikap dan berperilaku baik. Jika
mereka terkelompok dalam komunitas-komunitas bernama suku, ras, penganut agama,
golongan, dan sebagainya, primordialitas dan etnosentrisitas mereka lebih
terbentuk karena desakan internal dan penyesuaian diri saja, dan selebihnya
mereka adalah manusia biasa yang karena pembawaan naluriah serta kemampuan akal
dan perasaannya tetap memiliki potensi untuk berlaku kooperatif dan konstruktif
terhadap sesamanya. Ditambah lagi dengan sifat sosialnya –– karena manusia
adalah makhluk sosial –– manusia tidak akan pernah kehilangan keinginannya untuk
saling berkomunikasi dan bekerja sama karena dua hal ini merupakan jalan utama
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya dalam upaya mempertahankan dan melangsungkan
kehidupan.
Nah,
dengan pertimbangan-pertimbangan sosiologis semacam itulah kita dapat melihat
peluang lebar bagi penggunaan
prinsip-prinsip kesetaraan dalam
memberikan solusi untuk di sisi satu meredam potensi-potensi konflik (akibat
sifat negatif primordialisme dan etnosentrisme) dan di sisi lain memberdayakan
dan mengoptimalkan potensi-potensi positif sebagai upaya untuk menciptakan
harmoni atau keselarasan hidup antarkelompok. Melalui implementasi
prinsip-prinsip kesetaraan dalam hubungan antarkelompok yang majemuk, akan
terbangun sikap saling menghargai, saling menghormati, dan saling pengertian
antarkelompok. Penerapan prinsip-prinsip kesetaraan yang dilakukan dengan
memperhatikan karakteristik setiap kelompok akan memberikan wawasan dan
pengertian kepada semua kelompok suku, ras, penganut agama, golongan, dan
sebagainya bahwa sesungguhnya di negara Indonesia yang memang majemuk, semua
kelompok memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban yang setara sehingga tidak ada
yang boleh dan berhak merasa paling unggul, paling benar, atau paling berkuasa.
Dengan potensi-potensi positif kemanusiaan yang dimilikinya, semua kelompok
sangat mungkin dapat menerima hal itu selama penerapan prinsip-prinsip
kesetaraan dilakukan dengan adil, konsisten, dan berkesinambungan.
Selain
dipicu oleh primordialisme dan etnosentrisme, ketegangan dan konflik antarkelompok selama ini sesungguhnya juga
disebabkan oleh kesenjangan dan ketidakadilan akibat tiadanya kesetaraan dalam hubungan
antarkelompok di masyarakat. Hal ini terutama terjadi pada era pemerintahan
Orde Baru. Dalam interaksi antarkelompok pada era Orde Baru, kelompok-kelompok
tertentu yang dekat dengan elite kekuasaan mendapat keistimewaan untuk memenuhi
kepentingan-kepentingannya sehingga dalam struktur sosial memiliki posisi lebih
tinggi dan mendapatkan hak yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok-kelompok
lain. Dan karena berlangsung dalam waktu yang lama –– sekitar 30 tahun ––
keadaan ini menimbulkan banyak kekecewaan, kecemburuan, kesenjangan,
ketidakadilan, serta kemudian juga kesengsaraan pada banyak kelompok sehingga
membangkitkan primordialisme dan etnosentrisme yang laten dan kronis. Oleh
karena itu, ketika pihak yang menyebabkan munculnya keadaan tersebut tumbang
dari kekuasaan (Orde Baru), maka meledak konflik hebat (1998–2000) yang
melibatkan banyak kelompok sebagaimana dipaparkan di bagian awal pembahasan
tadi.
Maka menjadi penting untuk diwujudkan
bahwa hubungan antarkelompok dalam masyarakat harus dilandasi dengan prinsip
dan semangat kesetaraan. Hubungan antarkelompok yang dilandasi semangat dan
prinsip kesetaraan akan menciptakan relasi yang adil, bebas dari kesenjangan,
saling menghargai dan menghormati, penuh pengertian, kooperatif, dan
konstruktif. Jika hal ini dapat diwujudkan, maka ekspektasi akan terciptanya kehidupan
yang harmonis dalam keberagaman kelompok tidak akan sekadar menjadi harapan
yang kosong.
No comments:
Post a Comment