Wednesday, 25 January 2017

Tokoh Inspiratif: Emil Salim, Bapak Lingkungan Hidup Indonesia

Jika ada tokoh yang layak disebut sebagai Bapak Lingkungan Hidup Indonesia, maka dialah Emil Salim. Emil tampil menyerukan, dan bekerja mewujudkan, pentingnya aspek lingkungan dalam pembangunan saat masyarakat dan para pembuat kebijakan masih mengidap rabun bahkan buta lingkungan (ecoilliteracy). Sejak dekade 1970-an hingga sekarang, Emil nyaris sendirian berada di garis depan generasinya memperjuangkan isu lingkungan di Indonesia.
Ia bekerja agar kesadaran lingkungan dengan wawasan global menjadi bagian penting dari pembangunan nasional dan masa depan Indonesia. Saat rezim Orde Baru gencar melakukan pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, Emil Salim sudah menandaskan bahwa di samping pemerataan pendapatan, lingkungan hidup merupakan aspek yang harus diperhatikan agar pembangunan itu sendiri dapat berkelanjutan dan mencapai tujuannya yang paling penting.
Peran yang dimainkan Emil Salim dalam agenda pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan telah mendunia. Ia adalah anggota PBB untuk Komisi Dunia bagi Lingkungan dan Pembangunan (1984–1987), wakil ketua PBB untuk UN High Level Advisory Council  for Sustainable Development (1992), Ketua Komisi Dunia untuk Hutan dan Pembangunan Berkelanjutan (1994), Ketua Komisi PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan yang ke-10 (2001–2002), Ketua Panitia Persiapan World Summit (2002), dan Ketua Konferensi Menteri-Menteri Lingkungan Hidup ASEAN yang ke-3.
Selain menjadi tokoh kunci dalam KTT Bumi (Earth Summit) Rio de Janeiro pada 1992 — yang menjadi fondasi lahirnya deklarasi politis mengenai pembangunan dan lingkungan hidup — Emil juga berperan penting dalam penentuan kebijakan pemerintah RI tentang mitigasi perubahan iklim global dalam berbagai forum internasional mengenai kerangka kerja perubahan iklim (UNFCCC) dan keanekaragaman hayati (CBD).
Dibantu, antara lain, oleh Koesnadi Hardjasoemantri, mantan rektor UGM, Emil berusaha mewujudkan semangat KTT Bumi di Indonesia. Mereka membentuk Yayasan Ekolabel Indonesia (YEI) yang dewan penyantunnya diketuai Emil sendiri. Lembaga ini berwenang memberikan sertifikat PHL (pengelolaan hutan lestari) dan lacak balak (chain of custody) dan dibuat untuk menampung aspirasi masyarakat sipil dalam menentukan penilaian kinerja pengusahaan hutan dan ikut mempengaruhi kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia. Emil dan Koesnadi juga mendorong prakarsa ditetapkannya kebijakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam melalui Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati).
Emil aktif menyerukan pentingnya peran masyarakat dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Dalam Pekan Peringatan Hari Bumi di Freedom Institute, Emil kembali menyatakan, problem terbesar dalam pembangunan lingkungan ialah lemahnya masyarakat madani, padahal justru tekanan masyarakat madanilah yang bisa membuat pembangunan berkelanjutan bisa terwujud dan berjalan optimal. Jika penguatan masyarakat madani adalah solusi sosial-politik pembangunan berkelanjutan, maka pasar yang sehat adalah solusi ekonominya, sementara pengukuhan keanekaragaman (pluralisme) adalah solusi kulturalnya. Keberhasilan pembangunan lingkungan di berbagai tingkat hanya bisa dijamin oleh adanya keadilan dan kebebasan yang merengkuh seluruh rakyat, semua umat manusia, di satu Bumi.

Karena sumbangannya yang besar dalam pelestarian lingkungan, Emil mendapat banyak penghargaan internasional, antara lain, The Leader of Living Planet Award dari World Wide Fund (WWF) pada 2012. Tokoh lain yang pernah menerima penghargaan ini ialah Kofi Annan, mantan Sekjen PBB. Menurut Emil, penghargaan itu adalah bentuk kepedulian terhadap upaya pelestarian planet bumi.

No comments:

Post a Comment