Jika ada tokoh yang layak disebut sebagai Bapak Lingkungan Hidup
Indonesia, maka dialah Emil Salim. Emil tampil menyerukan, dan bekerja mewujudkan,
pentingnya aspek lingkungan dalam pembangunan saat masyarakat dan para pembuat
kebijakan masih mengidap rabun bahkan buta lingkungan (ecoilliteracy). Sejak
dekade 1970-an hingga sekarang, Emil nyaris sendirian berada di garis depan
generasinya memperjuangkan isu lingkungan di Indonesia.
Ia bekerja agar kesadaran lingkungan dengan wawasan global menjadi
bagian penting dari pembangunan nasional dan masa depan Indonesia. Saat rezim
Orde Baru gencar melakukan pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi,
Emil Salim sudah menandaskan bahwa di samping pemerataan pendapatan, lingkungan
hidup merupakan aspek yang harus diperhatikan agar pembangunan itu sendiri
dapat berkelanjutan dan mencapai tujuannya yang paling penting.
Peran yang dimainkan Emil Salim dalam agenda pelestarian
lingkungan dan pembangunan berkelanjutan telah mendunia. Ia adalah anggota PBB
untuk Komisi Dunia bagi Lingkungan dan Pembangunan (1984–1987), wakil ketua PBB
untuk UN High Level Advisory Council
for Sustainable Development (1992), Ketua Komisi Dunia untuk Hutan
dan Pembangunan Berkelanjutan (1994), Ketua Komisi PBB untuk Pembangunan
Berkelanjutan yang ke-10 (2001–2002), Ketua Panitia Persiapan World Summit
(2002), dan Ketua Konferensi Menteri-Menteri Lingkungan Hidup ASEAN yang ke-3.
Selain menjadi tokoh kunci dalam KTT Bumi (Earth Summit)
Rio de Janeiro pada 1992 — yang menjadi fondasi lahirnya deklarasi politis
mengenai pembangunan dan lingkungan hidup — Emil juga berperan penting dalam
penentuan kebijakan pemerintah RI tentang mitigasi perubahan iklim global dalam
berbagai forum internasional mengenai kerangka kerja perubahan iklim (UNFCCC)
dan keanekaragaman hayati (CBD).
Dibantu, antara lain, oleh Koesnadi Hardjasoemantri, mantan rektor
UGM, Emil berusaha mewujudkan semangat KTT Bumi di Indonesia. Mereka membentuk
Yayasan Ekolabel Indonesia (YEI) yang dewan penyantunnya diketuai Emil sendiri.
Lembaga ini berwenang memberikan sertifikat PHL (pengelolaan hutan lestari) dan
lacak balak (chain of custody) dan dibuat untuk menampung
aspirasi masyarakat sipil dalam menentukan penilaian kinerja pengusahaan hutan
dan ikut mempengaruhi kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia. Emil dan
Koesnadi juga mendorong prakarsa ditetapkannya kebijakan pembaruan agraria dan
pengelolaan sumber daya alam melalui Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia
(Kehati).
Emil aktif menyerukan pentingnya peran masyarakat dalam mewujudkan
pembangunan berkelanjutan. Dalam Pekan Peringatan Hari Bumi di Freedom
Institute, Emil kembali menyatakan, problem terbesar dalam pembangunan
lingkungan ialah lemahnya masyarakat madani, padahal justru tekanan masyarakat
madanilah yang bisa membuat pembangunan berkelanjutan bisa terwujud dan
berjalan optimal. Jika penguatan masyarakat madani adalah solusi sosial-politik
pembangunan berkelanjutan, maka pasar yang sehat adalah solusi ekonominya,
sementara pengukuhan keanekaragaman (pluralisme) adalah solusi kulturalnya.
Keberhasilan pembangunan lingkungan di berbagai tingkat hanya bisa dijamin oleh
adanya keadilan dan kebebasan yang merengkuh seluruh rakyat, semua umat
manusia, di satu Bumi.
Karena
sumbangannya yang besar dalam pelestarian lingkungan, Emil mendapat banyak
penghargaan internasional, antara lain, The Leader of Living Planet Award
dari World Wide Fund (WWF) pada 2012. Tokoh lain yang pernah menerima
penghargaan ini ialah Kofi Annan, mantan Sekjen PBB. Menurut Emil, penghargaan
itu adalah bentuk kepedulian terhadap upaya pelestarian planet bumi.
No comments:
Post a Comment