Setelah tujuh bulan berlalu (terhitung sejak 11 April 2017), kasus teror penyiraman air keras ke wajah
dan mata Novel Baswedan tidak kunjung dapat diungkap oleh Polri. Sejumlah
barang bukti (antara lain, rekaman CCTV dan mug yang digunakan untuk melakukan penyiraman)
telah ditemukan dan diserahkan pihak keluarga Novel
kepada Polri serta beberapa orang juga telah
memberikan kesaksian. Namun, dengan alat bukti dan kesaksian yang sebenarnya (menurut Novel dan publik)
lebih dari cukup itu, tetap
saja Polri mengalami kesulitan untuk mengungkap kasusnya.
Dalam beberapa kesempatan,
Novel mengaku, ia
mendapat informasi bahwa
seorang perwira tinggi (jenderal) Polri yang masih aktif terlibat dalam teror
dan penyerangan terhadap dirinya. Informasi tersebut,
menurut Novel, diperoleh dari sumber yang sangat terpercaya. Keterlibatan sang jenderal polisi membuat Novel sangat meragukan kasus teror dan
penyerangan terhadap dirinya akan ditangani (secara hukum) dengan serius dan benar oleh Polri sehingga ia sangat berharap kepada Presiden Jokowi untuk membentuk tim gabungan pencari fakta yang
melibatkan berbagai unsur dan kalangan independen guna mengungkap dan menuntaskan kasus yang menimpa dirinya.
Dengan mengingat integritas
dan prestasi tinggi yang dimiliki Novel dalam pemberantasan korupsi selama ini, publik tampaknya
sangat mempercayai pernyataan Novel di atas.
Novel Baswedan oleh publik Indonesia dikenal sebagai polisi penyidik andal yang
memilik komitmen dan keseriusan tinggi dalam melakukan tugas pemberantasan
korupsi. Kepercayaan
dan respek publik yang tinggi terhadap Novel menyebabkan publik menjadikan
pernyataan novel di atas sebagai tolok ukur untuk menilai Polri dalam menangani
dan menuntaskan kasus ini.
Tanggung
Jawab Presiden
Kasus Novel bukanlah
semata-mata menjadi tanggung jawab Polri, melainkan juga tanggung jawab Jokowi
selaku presiden yang membawahkan, mengoordinasi, dan mengomandani Polri. Kita tahu, dalam struktur pemerintahan
presidensial, presiden tidak hanya mengepalai para menteri, TNI, dan Kejaksaan
Agung, tetapi juga Polri. Oleh sebab itu, setelah penanganan oleh Polri
sepertinya jalan di tempat, kini desakan untuk segera mengungkap kasus tersebut
mengerucut ke pemimpin pemerintahan tertinggi di negeri ini: Presiden Joko
Widodo.
Kritik, dorongan,
teriakan, dan bahkan cibiran publik yang diekspresikan melalui berbagai diskusi,
talk show, demonstrasi, dan juga
ungkapan-ungkapan di berbagai media sosial tak kunjung mampu membuat Polri
menghasilkan kemajuan signifikan dalam melakukan pengusutan. Sepertinya ada
ganjalan besar dan kuat di dalam tubuh internal Polri sehingga institusi ini mengalami
kesulitan atau kendala serius dalam mengungkap kasus Novel. Lama dan berlarut-larutnya
penanganan kasus ini oleh Polri di tengah tersedianya barang bukti dan
kesaksian yang cukup menunjukkan besarnya kesulitan dan kendala itu sehingga
diperlukan kepedulian dan inisiatif Jokowi selaku presiden RI.
Terlepas dari cara
atau strategi yang akan diambil, Jokowi wajib memberikan perhatian serius dan
mengambil tindakan konkret untuk menuntaskan kasus Novel. Setidaknya terdapat
dua cara yang dapat dilakukan mantan gubernur DKI Jakarta itu dalam mengungkap
kasus tersebut. Pertama, jika Jokowi memandang
Polri masih mampu menyelesaikannya, (untuk kesekian kalinya) ia wajib
memberikan instruksi kepada Kapolri (Jenderal Tito Karnavian) untuk segera
menuntaskan kasus itu. Kedua, jika ia menganggap Polri sudah
tidak mampu lagi menyelesaikannya dengan profesional dan objektif, di sisi satu
ia harus memberikan sanksi kepada jajaran Polri dan di sisi lain ia harus
segera membentuk tim gabungan pencari fakta independen.
Instruksi Jokowi
kepada Polri melalui Kapolri adalah kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar
lagi. Kasus Novel bukanlah kasus kecil dan sepele. Secara pidana, derajat kriminalitasnya
sebenarnya tidaklah terlalu berat, tetapi dari perspektif penegakan hukum bobotnya
sangatlah besar dan krusial karena menyangkut masa depan upaya pemberantasan
korupsi yang di Indonesia sudah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Jokowi bertanggung
jawab untuk menyelesaikan kasus itu melalui Kapolri dan jajarannya karena
sebagai presiden ia bertugas dan berkewajiban menyelesaikan persoalan-persoalan
hukum yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (terutama
kasus-kasus besar).
Secara
konstitusional dan moral, Jokowi berkewajiban menyelesaikan kasus hukum Novel,
tetapi secara struktural dan operasional ia tidak harus melakukannya langsung
dengan tangannya sendiri, melainkan melalui bawahannya yang membidangi masalah
keamanan dan hukum, yakni Kapolri beserta jajarannya. Itulah sebabnya,
diperlukan instruksi Jokowi kepada Kapolri sebagai implementasi dari
pelaksanaan tugas, tanggung jawab, dan kewajibannya dalam mengatasi masalah
hukum dan keamanan nasional.
Bentuk instruksi Jokowi kepada Kapolri adalah perintah tegas dan lugas untuk bekerja
sebaik-baiknya mengungkap kasus teror dan penyerangan terhadap Novel serta
menangkap dalang dan pelaku yang sesungguhnya tanpa rekayasa. Agar lebih terukur dan jelas targetnya, Jokowi juga harus memberi batas waktu (deadline) kepada Kapolri dalam
mengungkap kasus itu –
apalagi kasusnya terjadi sejak tujuh bulan silam. Jika sampai batas waktu yang
ditentukan, Polri tidak mampu melaksanakan tugas pengusutan dan pengungkapan
kasus Novel, maka sebagai bentuk pertanggungjawaban presiden kepada rakyat
(sebagai pemegang kedaulatan negara), Jokowi harus memberikan sanksi yang
tegas, jelas, dan konkret kepada Kapolri beserta jajarannya.
Instruksi merupakan perintah kepada bawahan untuk
menjalankan tugas, tanggung jawab, dan kewajiban sebagaimana mestinya.
Instruksi atasan kepada bawahan merupakan kelaziman dan bahkan menjadi
kewajiban seorang pemimpin jika bawahannya tidak mampu menjalankan tugas dan
pekerjaannya dengan baik. Instruksi menjadi bagian tak terpisahkan dari
mekanisme kepemimpinan dan manajerial organisasi, termasuk organisasi besar
yang disebut negara dan pemerintahan. Tanpa instruksi, organisasi mustahil
dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan prestasi yang tinggi.
Instruksi Berbeda dengan Intervensi
Instruksi berbeda sekali
dengan intervensi, satu hal yang
sangat sering disalahartikan publik dalam menilai hubungan pemimpin dan bawahan
dalam pemerintahan. Secara substansial,
instruksi adalah perintah untuk melakukan tugas atau pekerjaan dengan semestinya
guna mendapatkan hasil yang baik berdasarkan standar organisasi, sedangkan
intervensi adalah mencampuri dan mengarahkan atau mengendalikan pelaksanaan
tugas dan pekerjaan bawahan agar diperoleh hasil yang sesuai dengan kehendak
dan kepentingannya (sang atasan). Terkait dengan penanganan kasus Novel, selama
perintah Jokowi kepada Kapolri tidak diarahkan untuk membuahkan hasil penyelidikan
dan penyidikan sesuai dengan selera dan kepentingan sempit diri presiden, maka
perintah itu merupakan murni instruksi yang sudah semestinya diberikan oleh
Jokowi.
Namun, jika seluruh
mekanisme instruksi yang diberikan Jokowi tidak kuasa membuat Polri mampu
mengungkap dan menuntaskan kasus Novel, maka tak terhindarkan lagi, Jokowi
harus membentuk tim gabungan pencari fakta independen (TGPFI). Sambil tetap
memberikan evaluasi yang diikuti sanksi kepada jajaran Polri karena tidak mampu
menjalankan tugas penegakan hukum dalam kasus Novel, Presiden Jokowi membetuk
TGPFI yang beranggotakan tokoh-tokoh dan ahli-ahli independen yang
berintegritas dan berkomitmen tinggi dalam penegakan hukum. Hal ini merupakan
bentuk pertanggungjawaban Jokowi selaku presiden kepada rakyat dalam upaya
penegakan hukum. Sanksi kepada Polri dilakukan untuk memulihkan dan
mengembalikan Polri sebagai institusi penegak hukum, penjaga keamanan dan
ketertiban, serta pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Adapun
pembentukan TGPFI itu sendiri merupakan langkah darurat untuk menegakkan hukum setelah
Polri tidak mampu melakukannya
dengan baik dan semestinya. Allahu a’lam bissawaab.