Apakah ‘pendapat’ selalu memiliki
harga atau nilai yang tinggi dan bermanfaat sehingga perlu ada kebebasan
mengemukakan pendapat? Apa dan bagaimana kriteria untuk menentukan bahwa suatu
pendapat dikatakan objektif atau subjektif? Sebelum hal itu dijelaskan lebih
jauh, marilah kita perhatikan contoh berikut ini.
Empat orang remaja –– bernama Andi, Mira, Joko, dan Yuni –– dihadapkan
pada sebuah gambar seekor harimau betina. Kepada mereka berempat kemudian
diajukan sebuah pertanyaan, “Bagaimana pendapat Anda mengenai binatang ini?”
Keempatnya masing-masing memberikan jawaban sebagai berikut.
- Andi: “Binatang ini tergolong vertebrata karena bertulang belakang.”
- Mira: “Binatang ini memiliki bulu loreng-loreng yang indah.”
- Joko: “Binatang ini termasuk mamalia dan tampaknya sekarang sedang hamil.”
- Yuni: “Binatang ini buas dan berbahaya; karena itu, aku tak menyukainya.”
Jawaban atau pendapat siapakah yang benar? Siapa
yang memberikan pendapatnya secara objektif dan subjektif? Mengapa pula sebuah
objek yang sama bisa ditanggapi dengan pendapat yang berbeda-beda?
Jawaban Andi, Mira, Joko, dan Yuni benar, tetapi
sebagian bersifat subjektif. Pendapat Andi bahwa binatang itu termasuk vertebrata
sepenuhnya benar dan objektif (sesuai dengan fakta) karena harimau memang binatang
bertulang belakang (vertebrata). Pendapat Andi tidak dapat dibantah atau disanggah.
Namun, jika ada pendapat lain yang berbeda dan benar –– misalnya, harimau itu
binatang karnivora (pemakan daging) –– Andi juga tidak diperbolehkan membantah
dan menolak.
Pendapat Mira bahwa harimau itu berbulu
loreng-loreng juga benar, tetapi pernyataannya bahwa loreng-loreng itu indah
adalah pendapat yang agak subjektif karena loreng-loreng tidak selalu indah.
Bagi Mira, loreng-loreng bisa saja terlihat indah, tetapi bagi orang lain dapat
terlihat biasa-biasa saja. Manakala Yuni, misalnya, berpendapat bahwa
loreng-loreng itu menggelikan, Mira tidak dibenarkan mencemoohnya.
Pendapat Joko bahwa harimau itu termasuk mamalia
juga benar karena harimau memang binatang menyusui. Namun, pernyataannya bahwa
harimau itu sedang hamil, jelas pendapat yang subjektif. Harimau itu memang
berjenis kelamin betina, tetapi apakah ia sedang hamil atau tidak, tentu harus
dipastikan lebih dahulu. Jika, misalnya, Mira menyatakan bahwa kehamilan si
harimau perlu diuji lebih dahulu, Joko tidak diperbolehkan membantah atau
menolaknya.
Adapun pendapat Yuni bahwa harimau itu binatang
buas dan berbahaya juga benar, tetapi bahwa ia tidak menyukainya itu merupakan
pendapat pribadi yang subjektif. Orang lain dapat saja justru menyukai kebuasan
binatang harimau. Jika, misalnya, Andi menyatakan bahwa kebuasan harimau justru
menarik untuk objek penelitian, Yuni tak dibenarkan untuk melarang atau
mencelanya.
Demikianlah, terhadap sebuah objek atau
permasalahan, selain bisa beragam dan berbeda-beda, pendapat juga bisa bersifat
objektif dan subjektif. Keberagaman, objektivitas, dan subjektivitas pendapat
bisa disebabkan oleh perbedaan pengalaman, wawasan, dan sudut pandang. Akibat
perbedaan pengetahuan dan cara pandang, pendapat terhadap suatu objek atau
persoalan dapat mengalami perbedaan atau bahkan pertentangan.
Adapun objektifitas dan subjektivitas pendapat,
selain ditentukan oleh pengalaman, wawasan, dan cara pandang, juga umumnya
ditentukan oleh kepentingan dan kedewasaan (kematangan bersikap). Oleh karena
kepentingan tertentu, seseorang dapat saja bersikeras dengan pendapatnya ––
walaupun pendapatnya salah dan
menyesatkan –– sehingga pendapatnya menjadi sangat subjektif. Akan tetapi,
seseorang yang memiliki kematangan bersikap (dewasa), akan berusaha
mengeluarkan pendapat yang sesuai dengan fakta –– biarpun pendapatnya justru
kurang menguntungkan kepentingannya –– sehingga pendapatnya akan tetap objektif.
Perbedaan, objektivitas, dan subjektivitas
pendapat sebenarnya merupakan hal yang wajar. Di dalam demokrasi, perbedaan dan
subjektivitas pendapat menjadi hal yang biasa. Orang tidak dilarang memiliki
pendapat yang unik, berbeda, dan subjektif selama didukung dengan alasan atau
argumentasi yang baik dan masuk akal.
Pendapat yang berbeda (dengan pendapat umum)
serta pada mulanya tampak bersifat subjektif dapat berubah menjadi objektif dan
benar jika didasarkan pada fakta yang tersembunyi –– fakta yang sepintas tidak
terlihat oleh mata umum. Misalnya, ketika pada Abad Pertengahan dahulu Gallileo
Galilei menyatakan bahwa bumi berputar mengelingi matahari karena matahari
merupakan pusat tatasurya, pendapat itu jelas terasa unik, subjektif, serta
bahkan dianggap aneh, gila, dan membahayakan karena saat itu hampir semua orang
(yang dipelopori oleh kalangan gereja) menganggap dan sangat yakin justru
mataharilah yang berputar mengelilingi bumi. Namun, keunikan serta
“subjektivitas” dan “keanehan” pendapat Gallileo itu ternyata justru kemudian
terbukti benar sehingga pendapatnya secara mutlak berbalik menjadi objektif,
sementara pendapat umum (yang menyatakan bahwa matahari berputar mengelilingi
bumi) yang semula seolah-olah objektif dan benar justru berubah menjadi
subjektif dan salah.
Namun, bagaimanapun juga, dalam suasana kebebasan
berpendapat sudah mendapatkan jaminan hukum yang pasti, kita dianjurkan untuk
tetap berusaha objektif dalam mengeluarkan pendapat. Dalam persoalan apa pun,
kita harus senantiasa berusaha objektif dalam memberikan pendapat, termasuk
jika isi pendapat itu kurang menguntungkan kepentingan kita. Sampaikan
kebenaran walaupun terasa pahit, demikian sebuah kata-kata bijak memberikan
anjuran untuk menunjukkan bahwa kebenaran atau objektivitas itu mempunyai
kedudukan yang terhormat dan mulia daripada sekadar kepentingan pribadi dan
kelompok.
No comments:
Post a Comment