Wednesday, 21 December 2016

Subjektivitas dan Objektiviras Pendapat

       Apakah ‘pendapat’ selalu memiliki harga atau nilai yang tinggi dan bermanfaat sehingga perlu ada kebebasan mengemukakan pendapat? Apa dan bagaimana kriteria untuk menentukan bahwa suatu pendapat dikatakan objektif atau subjektif? Sebelum hal itu dijelaskan lebih jauh, marilah kita perhatikan contoh berikut ini.

       Empat orang remaja –– bernama Andi, Mira, Joko, dan Yuni –– dihadapkan pada sebuah gambar seekor harimau betina. Kepada mereka berempat kemudian diajukan sebuah pertanyaan, “Bagaimana pendapat Anda mengenai binatang ini?” Keempatnya masing-masing memberikan jawaban sebagai berikut.
  1. Andi: “Binatang ini tergolong vertebrata karena bertulang belakang.”
  2. Mira: “Binatang ini memiliki bulu loreng-loreng yang indah.”
  3. Joko: “Binatang ini termasuk mamalia dan tampaknya sekarang sedang hamil.”
  4. Yuni: “Binatang ini buas dan berbahaya; karena itu, aku tak menyukainya.”

       Jawaban atau pendapat siapakah yang benar? Siapa yang memberikan pendapatnya secara objektif dan subjektif? Mengapa pula sebuah objek yang sama bisa ditanggapi dengan pendapat yang berbeda-beda?

       Jawaban Andi, Mira, Joko, dan Yuni benar, tetapi sebagian bersifat subjektif. Pendapat Andi bahwa binatang itu termasuk vertebrata sepenuhnya benar dan objektif (sesuai dengan fakta) karena harimau memang binatang bertulang belakang (vertebrata). Pendapat Andi tidak dapat dibantah atau disanggah. Namun, jika ada pendapat lain yang berbeda dan benar –– misalnya, harimau itu binatang karnivora (pemakan daging) –– Andi juga tidak diperbolehkan membantah dan menolak.

       Pendapat Mira bahwa harimau itu berbulu loreng-loreng juga benar, tetapi pernyataannya bahwa loreng-loreng itu indah adalah pendapat yang agak subjektif karena loreng-loreng tidak selalu indah. Bagi Mira, loreng-loreng bisa saja terlihat indah, tetapi bagi orang lain dapat terlihat biasa-biasa saja. Manakala Yuni, misalnya, berpendapat bahwa loreng-loreng itu menggelikan, Mira tidak dibenarkan mencemoohnya.

       Pendapat Joko bahwa harimau itu termasuk mamalia juga benar karena harimau memang binatang menyusui. Namun, pernyataannya bahwa harimau itu sedang hamil, jelas pendapat yang subjektif. Harimau itu memang berjenis kelamin betina, tetapi apakah ia sedang hamil atau tidak, tentu harus dipastikan lebih dahulu. Jika, misalnya, Mira menyatakan bahwa kehamilan si harimau perlu diuji lebih dahulu, Joko tidak diperbolehkan membantah atau menolaknya.

       Adapun pendapat Yuni bahwa harimau itu binatang buas dan berbahaya juga benar, tetapi bahwa ia tidak menyukainya itu merupakan pendapat pribadi yang subjektif. Orang lain dapat saja justru menyukai kebuasan binatang harimau. Jika, misalnya, Andi menyatakan bahwa kebuasan harimau justru menarik untuk objek penelitian, Yuni tak dibenarkan untuk melarang atau mencelanya.

       Demikianlah, terhadap sebuah objek atau permasalahan, selain bisa beragam dan berbeda-beda, pendapat juga bisa bersifat objektif dan subjektif. Keberagaman, objektivitas, dan subjektivitas pendapat bisa disebabkan oleh perbedaan pengalaman, wawasan, dan sudut pandang. Akibat perbedaan pengetahuan dan cara pandang, pendapat terhadap suatu objek atau persoalan dapat mengalami perbedaan atau bahkan pertentangan.

       Adapun objektifitas dan subjektivitas pendapat, selain ditentukan oleh pengalaman, wawasan, dan cara pandang, juga umumnya ditentukan oleh kepentingan dan kedewasaan (kematangan bersikap). Oleh karena kepentingan tertentu, seseorang dapat saja bersikeras dengan pendapatnya –– walaupun  pendapatnya salah dan menyesatkan –– sehingga pendapatnya menjadi sangat subjektif. Akan tetapi, seseorang yang memiliki kematangan bersikap (dewasa), akan berusaha mengeluarkan pendapat yang sesuai dengan fakta –– biarpun pendapatnya justru kurang menguntungkan kepentingannya –– sehingga pendapatnya akan tetap objektif.

       Perbedaan, objektivitas, dan subjektivitas pendapat sebenarnya merupakan hal yang wajar. Di dalam demokrasi, perbedaan dan subjektivitas pendapat menjadi hal yang biasa. Orang tidak dilarang memiliki pendapat yang unik, berbeda, dan subjektif selama didukung dengan alasan atau argumentasi yang baik dan masuk akal.

       Pendapat yang berbeda (dengan pendapat umum) serta pada mulanya tampak bersifat subjektif dapat berubah menjadi objektif dan benar jika didasarkan pada fakta yang tersembunyi –– fakta yang sepintas tidak terlihat oleh mata umum. Misalnya, ketika pada Abad Pertengahan dahulu Gallileo Galilei menyatakan bahwa bumi berputar mengelingi matahari karena matahari merupakan pusat tatasurya, pendapat itu jelas terasa unik, subjektif, serta bahkan dianggap aneh, gila, dan membahayakan karena saat itu hampir semua orang (yang dipelopori oleh kalangan gereja) menganggap dan sangat yakin justru mataharilah yang berputar mengelilingi bumi. Namun, keunikan serta “subjektivitas” dan “keanehan” pendapat Gallileo itu ternyata justru kemudian terbukti benar sehingga pendapatnya secara mutlak berbalik menjadi objektif, sementara pendapat umum (yang menyatakan bahwa matahari berputar mengelilingi bumi) yang semula seolah-olah objektif dan benar justru berubah menjadi subjektif dan salah.


       Namun, bagaimanapun juga, dalam suasana kebebasan berpendapat sudah mendapatkan jaminan hukum yang pasti, kita dianjurkan untuk tetap berusaha objektif dalam mengeluarkan pendapat. Dalam persoalan apa pun, kita harus senantiasa berusaha objektif dalam memberikan pendapat, termasuk jika isi pendapat itu kurang menguntungkan kepentingan kita. Sampaikan kebenaran walaupun terasa pahit, demikian sebuah kata-kata bijak memberikan anjuran untuk menunjukkan bahwa kebenaran atau objektivitas itu mempunyai kedudukan yang terhormat dan mulia daripada sekadar kepentingan pribadi dan kelompok.

No comments:

Post a Comment