Saturday 31 December 2016

Sepak Bola Terancam Kehilangan Daya Tariknya

Lebih dari sekadar olahraga, sepak bola dapat dikatakan sebagai entertainment yang memberi hiburan bagi miliaran penduduk Bumi. Sepak bola tidak hanya menyehatkan secara fisik sebagai salah satu cabang olahraga, melainkan juga menyehatkan secara psikologis sebagai hiburan. Bahkan, dalam beberapa kasus konflik, sepak bola turut berjasa mendamaikan (walaupun bersifat sementara) pihak-pihak yang terlibat pertikaian dan peperangan. Beberapa turnamen Piala Dunia terakhir berhasil membuat kelompok-kelompok yang terlibat perang saudara di beberapa negara menghentikan aktivitas pertempurannya: demi menyaksikan Piala Dunia (World Cup) yang hanya digelar empat tahun sekali itu mereka membuat kesepakatan genjatan senjata.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini sepak bola menunjukkan gejala penurunan kualitas sebagai permainan olahraga. Di tengah naiknya omzet penjualan tiket pertandingan, meningkatnya pendapatan klub-klub profesional, dan gencarnya tayangan langsung pertandingan liga-liga Eropa di televisi, permainan yang ditampilkan di atas lapangan secara umum justru terlihat kurang menarik. Di antara bergulirnya kompetisi yang bertaburkan bintang-bintang berbakat besar dan impresif (Messi, Ronaldo, Neymar, Bale, Greizman, Silva, Ibrahimovic, Hazard, Lukaku, Robben, Ribery,dan sebagainya), justru pertandingan-pertandingan itu sendiri secara keseluruhan dan kolektif mengalami penurunan daya tarik.
Secara individual, mungkin saja kita sesekali dapat menyaksikan aksi-aksi memukau dari Messi, Ronaldo, Neymar, Ibrahimovic, Hazard, atau Robben, tetapi secara tim, setidaknya dalam lima tahun terakhir ini, kita lebih banyak disuguhi permainan yang menjemukan dan tidak enak ditonton. Saat ini kita sudah sangat jarang melihat permainan sepak bola ofensif yang atraktif dan menghibur secara tim. Meski menjuarai Piala Eropa 2016, Ronaldo bersama Portugal tidak menunjukkan permainan yang memukau sebagai layaknya sang juara, demikian juga ketika ia bersama Real Madrid menjuarai Liga Champion 2016. Terlihat jelas, faktor keberuntunganlah yang lebih dominan membuat dia bersama timnya menjadi juara.
Messi bersama Argentina sampai sejauh ini juga tidak atau belum memperlihatkan permainan menarik yang produktif, demikian juga dengan Neymar bersama Brasil.  Messi dan Neymar bersama Barcelona pada awalnya justru mampu menunjukkan permainan yang lebih menarik dan produktif, tetapi makin lama justru makin kering, membosankan, dan improduktif. Barcelona yang sebelumnya perkasa dan memperlhatkan diri sebagai klub yang paling atraktif dan menarik di dunia, bahkan gagal mengatasi Atletico Madrid sebelum mampu menyentuh Real Madrid (yang akhirnya menjadi juara) di Liga Champion 2016.
Real Madrid terakhir mampu melewati dan meninggalkan Barcelona di Liga Champion 2016, tetapi secara tim mereka sebenarnya masih berada di bawah Barcelona. Setiap kali keduanya bertemu dalam lima tahun terakhir, baik di liga domestik (La Liga) maupun di Liga Champion, baik di Santiago Bernabeu (kandang Madrid) maupun di Nou Camp (kandang Barcelona), statistik permainan hampir selalu menempatkan Barcelona pada keunggulan ball position (penguasaan bola/permainan) yang mutlak, di samping keunggulan head to head secara agregat dan skor. Real Madrid sesekali memanangkan pertandingan, tetapi kemenangannya tidak pernah ditentukan melalui permainan yang memukau; kemenanganya lebih ditentukan strategi dan keberuntungan.
Sementara itu, Jerman yang menjuarai Piala Dunia 2014, dari segi permainan tim juga tidaklah mengesankan. Kemenangan besar mereka atas tuan rumah, Brasil (7-1), dominan ditentukan oleh kebodohan dan kekonyolan Brasil sendiri, yang bermain penuh kecerobohan dan kepanikan. Kemenangan Jerman atas Argentina di final juga jauh dari permainan istiimewa. Jerman dalam sepuluh tahun terakhir belum mampu menyamai level permainan seperti yang diperlihatkan bintang-bintang masa lalu mereka pada era 1970-an dan 1980-an.
Brasil dan Argentina, sesuai dengan tradisi bagus mereka pada masa lalu, diharapkan penggemar sepak bola sedunia dapat memperlihatkan permainan yang impresif. Namun, ternyata sama saja. Brasil pada era Neymar sekarang secara prestasi dan level permainan masih jauh di bawah capaian Brasil pada era Ronaldo (era akhir 1990-an hingga awal 2000-an) dan Romario (era awal 1990-an), apalagi dibandingkan dengan era Zico-Socrates-Falcao (1980-an) dan Pele-Garincha-Jairzinho (1960-an dan 1970-an). Brasil era Pele, Garincha, dan Jairzinho memperlihatkan diri sebagai tim yang tak tertandingi oleh tim mana pun di dunia dan terhebat sepanjang sejarah sepak bola dunia hingga saat ini, dengan puncaknya menjadi juara Piala Dunia 1970 melalui permaianan berakselerasi dan berteknik tinggi yang atraktif, indah, dan produktif yang menjadikan Piala Dunia 1970 disebut-sebut sebagai Piala Dunia terbaik sepajang masa. Brasil era Zico, Socrates, dan Falcao memang tidak pernah menjuarai Piala Dunia, tetapi permaianan teknik tinggi dan indah mereka sungguh menakjubkan dan menghibur penggemar sepak bola di seluruh dunia. Piala Dunia 1982 dan 1986 menjadi hidup, semarak, dan memikat berkat beautiful football yang mereka peragakan.
Dengan permainan individualnya yang brilian, Diego Maradona membawa permainan Argentina menjadi tangguh dan produktif dalam Piala Dunia 1986. Secara tim Argentina tampil normal saja, tetapi berkat teknik tinggi dan kejeniusan permainan Maradona, Argentina menjelma menjadi tim berdeterminasi tinggi yang sulit dibendung. Bersama Valdano dan Burruchaga, Maradona akhirnya membawa Argentina menjuarai Piala Dunia 1986 serta menjadikan Argentina sebagai tim yang paling tangguh selama turnamen. Namun, seiring menyurutnya Maradona, Argentina hampir tidak pernah lagi tampil mengesankan dan produktif. Sesekali saja mereka bermain bagus pada era yang berbeda melalui sentuhan Redondo dan Messi, tetapi tetap saja belum mampu menyamai kehebatan era Maradona.
Uruguay sempat menjadi juara Piala Dunia 1930 dan 1950, tetapi akibat terbatasnya dokumentasi, gaya dan level permainan mereka tidak dapat diidentifikasi dan dideskripsikan dengan akurat. Setelah era dua Piala Dunia itu, Uruguay hampir tidak pernah dikenal sebagai tim Amerika Latin yang bermain bagus dan berprestasi menonjol, selain permainan defensif dan keras menjurus kasar yang mereka peragakan pada dekade 1980-an. Mereka sempat bermain ofensif dan cukup bagus dalam Piala Dunia 2014, walaupun itu belum cukup untuk menjadikannya sebagai juara. Mimpi mereka untuk mengulang sukses tahun 1930 dan 1950 rasanya sangatlah sulit terwujud karena permainan mereka saat ini terlalu biasa dan defensif.
Dari daratan Eropa, gaya total football yang menakjubkan dari Belanda era Cruyff-Neeskens (1970-an) dan era Gullit-Basten-Rijkaard (akhir 1980-an) belum mampu disamai oleh para juniornya. Belanda yang pernah begitu ditakuti sekaligus dikagumi, sekarang ini agak terpuruk dan cenderung menjadi tim mediocre yang pragmatis. Demikian juga dengan Jerman era Beckenbauer-Mueller (1970-an) masih belum dapat disamai oleh para junior mereka. Jerman era Rummeniegge-Schummacer (1980-an) dan Matthaeus-Klinsman (1990-an) masih menunjukkan permainan yang cukup menarik dan produktif, tetapi setelah itu para junior mereka perlahan-lahan mengalami penurunan hingga kembali mengalami sedikit kenaikan saat mereka menjuarai Piala Dunia 2014.
Italia empat kali menjadi juara Piala Dunia (1934, 1938, 1982, dan 2006), tetapi dua gelar yang terakhir justru diraih dengan permainan defensif yang tidak menarik. Permanan mereka hampir selalu defensif. Mereka mewakili gaya bertahan cattenaccio  yang cenderung negatif dan lebih mementingkan hasil darpada permainan menarik yang enak ditonton. Inggris, setelah menjuarai Piala Dunia 1966, sempat menunjukkan permainan ofensif dengan teknik tinggi pada Piala Eropa 1996, tetapi setelah itu berangsur-angsur surut dan hanya menampilkan permainan dengan kualitas rata-rata.
Prancis muncul sebagai perkecualian dari daratan Eropa. Pada periode-periode tertentu mereka tampil dengan sepak bola indah hingga mendapat julukan Brasilnya Eropa. Dengan trio Platini-Tigana-Giresse, Prancis memperagakan sepak bola menyerang yang indah pada dekade 1980-an hingga menjadi juara Piala Eropa 1984. Mereka masih cukup menawan dalam Piala Dunia 1986. Namun, saat mereka menjuarai Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000, penampilan mereka sebenarnya justru tidak seindah dan semenarik era Platini-Tigana-Giresse. Satu-satunya yang membuat penggemar sepak bola terhibur adalah permainan bintang mereka, Zinedine Zidane. Ia mirip Maradona bagi Argrentina: permainan individualnya yang luar biasa mampu mengangkat permainan tim secara keseluruhan. Namun, Zidane kini telah pensiun dan Prancis tidak lagi memiliki penggantinya yang sepadan.
Denmark mengikuti jejak Prancis sebagai kekuatan Eropa yang mengusung sepak bola indah ala Brasil; mereka juga mendapat julukan Brasilnya Eropa. Dengan trio Olsen-Laudrup-Elkjaer, mereka tampil mengagumkan pada Piala Eropa 1984 dan Piala Dunia 1986 dengan permainan ofensif berteknik dan berdeterminasi tinggi. Mereka gagal menjadi juara akibat tidak memiliki mental bertanding yang kuat dan stabil. Mereka kemudian mampu menjadi juara Piala Eropa 1992, tetapi permainan mereka tidak lagi semenawan era 1980-an.
Hungaria tampil menggemparkan dengan permainan superior pada Piala Dunia 1954. Lawan-lawannya mereka libas dengan skor telak (rata-rata dengan selisih tiga-empat gol). Mereka tidak menjadi juara hanya karena sial, tetapi berkat permaianannya yang menakjubkan, mereka mendapat julukan “The Wonder Team”. Dan seperti kekalahan mereka yang aneh saat melawan Jerman di final, sejak berakhirnya turnamen tahun 1954 itu hingga saat ini mereka tak pernah lagi mampu melahirkan tim yang bagus dan berprestasi.
Di tengah kering dan sepinya permainan apik pada awal 2000-an, Spanyol muncul menjadi kekuatan yang menjanjikan. Melalui Xavi-Iniesta-Alonso-Basquet, mereka bermain sangat ofensif dan dominan dengan gaya tiki-taka yang rapi, cepat, dan memikat. Dengan sangat meyakinkan dan mengagumkan mereka sukses menjuarai Piala Eropa 2008, Piala Dunia 2010, dan Piala Eropa 2012. Namun, memasuki dasawarsa kedua awal 2000-an mereka mulai kekurangan generasi penerus yang sepadan. Seiring dengan mulai menuanya Xavi, Alonso, dan Iniesta, penampilan mereka juga mulai menurun. Mereka tampil buruk dalam Piala Dunia 2014 dan Piala Eropa 2016 sehingga gagal mempertahankan mahkota juara.
Kini, sepeninggal Spanyol, belum terlihat lagi kekuatan baru maupun lama yang mampu tampil dengan teknik dan gaya yang menawan. Kekuatan-kekuatan tradisonal lama seperti Brasil, Argentina, dan Uruguay dari Amerika Latin serta Jerman, Italia, Prancis, Inggris, Belanda, dan Denmark dari Eropa belum mampu tampil kembali dengan level dan daya tarik yang menyamai atau lebih tinggi dari penampilan masa lalu mereka. Tim-tim seperti Portugal, Ceko, Kroasia, Belgia, dan Turki dari Eropa serta Cile, Kolombia, dan Meksiko dari Amerika Latin hanya sesekali mengejutkan, tetapi belum mampu menembus level permainan tingkat tinggi yang layak disebut “menakjubkan”.
Di tingkat klub, hanya Barcelona yang paling konsisten dengan permainan menarik, tetapi akhir-akhir ini mereka juga sering kedodoran dan tampil buruk. Real Madrid, Atletico Madrid, Bayern Munchen, Juventus, Manchester City, Chelsea, Arsenal, dan Liverpool, walaupun sering mendominasi, umumnya tampil pragmatis saja. Mereka lebih mengejar keunggulan ball position dan skor ketimbang permainan menyerang berteknik dan berakselerasi tinggi yang memikat.
Kapankah masa-masa kering dan senyap ini akan berakhir? Para penggemar sepak bola yang tak pernah menyaksikan (atau membaca lewat referensi) permainan sepak bola masa lalu (terutama era 1970-an dan 1980-an) barangkali tidak akan pernah merindukan datangnya permainan sepak bola yang ofensif dan cantik karena apa yang mereka saksikan saat ini, menurut hemat mereka, sudah cukup menarik. Hal ini karena mereka tidak memiliki pembanding. Namun, mereka yang pernah menyaksikan Brasil dengan Pele, Garrincha, dan Zico-nya, Argentina dengan Maradona-nya, Jerman dengan Beckenbauer dan Muller-nya, Belanda dengan Cruyff dan Gullit-nya, Inggris dengan Bobby Moore-nya, atau Prancis dengan Platini dan Zidane-nya, kemungkinan besar akan merindukan lahirnya kembali tim dan bintang dengan permainan yang berbeda dan lebih baik dari yang saat ini ada.
Jika kemudian dikatakan bahwa sepak bola masa kini terancam kehilangan daya tariknya, barangkali tidaklah berlebihan. Di liga-liga domestik banyak negara (termasuk di Eropa dan Amerika Latin) hingga dalam turnamen-turnamen besar resmi semacam Piala Dunia dan Piala Eropa, permainan yang ditampilkan oleh tim peserta umumnya miskin kreativitas. Filosofi “pertahanan terbaik adalah menyerang” sehingga melahirkan sepak bola ofensif yang penuh daya pikat sudah ditinggalkan oleh sebagian besar peserta kompetisi liga dan turnamen-turnamen besar.
Namun, ada benarnya juga, bahwa seperti halnya musim yang kadang tidak menentu, permainan sepak bola  pun mengenal dan mengalami pasang surut. Ada masanya musim kompetisi dan turnamen penuh dengan permainan bertahan yang membosankan dan menjengkelkan, ada masanya juga kompetisi dan turnamen dipenuhi permainan menyerang dan cantik yang memukau, serta ada pula masa-masa kompetisi dan turnamen yang diwarnai permainan defensif yang buruk sekaligus permaianan ofensif yang indah dan produktif. Oleh sebab itu, kita boleh optimis bahwa suatu saat nanti akan lahir kembali pemain-pemain bertalenta besar yang akan membawa sepak bola pada permainan menyerang yang atraktif dan enak ditonton.


Kendatipun diangkat dari realitas di lapangan hijau, kita berharap bahwa pesimisme sepak bola terancam kehilangan daya tariknya mudah-mudahan tidak menjadi kenyataan. Jika hal itu menjadi kenyataan, kita akan kehilangan salah satu sisi penting dari kehidupan kita karena sepak bola selain sebagai olahraga yang menyehatkan, juga hiburan jiwa yang dapat mendatangkan kebahagiaan. Kita berharap, apa yang kita saksikan saat ini di lapangan hanya sebuah musim yang bersifat sementara, dan jika musim baru lain tiba, sepak bola dengan gaya lain yang lebih menarik akan hadir juga di sana. 

No comments:

Post a Comment